Sukses Itu Pilihan
      "Siapa yang ingin sukses?" Satu pertanyaan itu sering dilontarkan dalam kehidupan sehari-hari. Entah di sekolah, di rumah, di kantor, dan lain sebaginya. Kebanyakan orang yang ditanya, pasti menjawab: "Saya ingin sukses." Pertanyaan selanjutnya adalah, "Apa yang kamu lakukan untuk mencapai kesuksesan tersebut?" Ketika pertanyaan ini dilontarkan, orang-orang sudah mulai mengerutkan dahi. Banyak yang bisa jawab, tapi enggak sedikit yang bingung.
      Menurut saya, sukses itu sebuah pilihan yang berimplikasi. Artinya, ketika seseorang memilih hidup untuk sukses, ada sesuatu yang harus dikorbankan dan dikerjakan. Sukses bukan masalah slogan semata, melainkan suatu aksi dan tindakan nyata. Kita kenal beberapa orang sukses di Indonesia, misalkan Pak Joko Widodo. Beliau bisa sukses menjadi Presiden RI saat ini, karena beliau tau apa yang harus dilakukan dengan pilihan dan keputusannya. Beliau tidak hanya berbicara tentang pilihan, harapan, dan keinginan semata, tetapi beliau juga mengupayakan agar bisa merealisasikan semuanya. Beliau bergabung dengan partai politik, menambah relasi, melakukan "blusukan", menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Andaikata Bapak Joko Widodo hanya berkata: "Saya ingin sukses," tetapi beliau tidak pernah melakukan apa yang menjadi pilihannya, tentu tak pernah ada seorang Presiden RI yang bernama Joko Widodo.
      Dua pertanyaan itulah yang perlu direfleksikan kepada setiap orang yang menginginkan kesuksesan. Tentunya kesuksesesan dalam bidangnya masing-masing. Yang menjadi mahasiswa sukses belajar, guru sukses mengajar, olah ragawan sukses dengan lomba, pemerintah sukses mempin rakyat, dan lain-lain.
      Terkadang permasalahan dilapangan adalah "Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kok masih gagal?" dan biasanya dari pertanyaan tersebut menimbulkan pernyataan lain semisal: "Kayaknya saya enggak bakalan bisa sukses. Saya menyerah dan bla..bla..bla..." Hal itulah yang sering terjadi bagi orang-orang yang mungkin baru mencoba dan gagal. Sebenarnya, yang perlu dilakukan oleh orang-orang yang gagal hanyalah satu. Mencoba dan terus mencoba. Dalam sejarah populer tentunya setiap orang tahu seseorang penemu lampu pijar yaitu Thomas Alfa Edison. Dalam setiap percobaan, dia selalu gagal membuat lampu pijar. Banyak orang-orang disekitar yang mengatakan bahwa apa yang dia lakukan merupakan sesuatu yang imposible, utopis, dan mengada-ada, namun hebatnya dia terus mencoba. Gagal satu kali, dia terus mencoba, gagal dua kali, dia terus mencoba dan sampai ratusan kali gagal, dia terus mencoba. Suatu kali ada kerabat yang mengatakan, sebaiknya percobaan dihentikan saja karena sudah berkali-kali gagal, dan tidak umum, serta tidak masuk akal untuk saat itu. Beberapa sindirin, tidak membuat dia patah semangat, karena dia  punya prinsip GueBeda. Setelah berkali-kali mencoba akhirnya Thomas Alfa Edison baru berhasil setelah percobaan ke 1001. Betapa lamanya dia berusaha. Bukan hanya harian, mingguan, atau bulanan dia mencoba, tetapi bertahun-tahun lamanya dia mencoba sesuatu yang tidak masuk akal. Bayangkan jika saat itu Thomas Alfa Edison menyerah dan menghentikan percobaannya, mungkin saat ini setiap malam orang masih sibuk menyalakan obor, lampu minyak, dan lain sebagainya.
      Thomas Alfa Edison hanyalah salah satu contoh orang sukses yang tidak kenal kata menyerah. Masih banyak lagi pejuang yang tak kenal lelah untuk menggapai kesuksesan,  walaupun dia dihantam dengan berbagai macam kesulitan. Mereka tak menyerah, karena menyerah bukanlah pilihan. Seperti kata mutiara berikut:
"Pejuang sejati, gagal sepuluh kali, bangkitnya sebelas kali."
      Live is Try
      Sejak kecil, hidup saya dipenuhi dengan ragam dinamika yang apabila tidak dihadapi dengan kesabaran, pastinya akan membawa kepada keputus asaan. Pada saat umur 2 bulan, ayah meninggal karena ditabrak truk. Semenjak itu saya hidup bersama ibu di Jakarta. Saat itu saya belum begitu faham akan pentingnya kehilangan dan kehadiran seorang ayah. Hanya saja banyak orang-orang sekitar yang merasa iba. Suka duka saya lalui dengan ibu tanpa kehadiran seorang ayah, hal itu hanya berjalan sampai dengan umur 4 tahun karena saya harus pindah ke Banjarnegara bersama kakek dan nenek. Waktu itu saya tidak tau alasa mengapa saya harus pindah dari Jakarta ke Banjarnegara, yang jelas saya merasa berbeda dengan teman-teman lain. Mereka bisa hidup secara alami dengan orang tua, sedangkan saya tidak. Awal hidup di Banjarenegara saya merasa sedih teringat degan ibu dan bertanya-tanya kenapa saya tidak bisa tinggal lagi dengan beliau? Belakangan baru tahu alasan beliau menitipkan saya kepada kekek dan nenek karena permasalahan ekonomi.
      Saya mencoba dan terus mencoba menjalani hidup ini dengan kesabaran  diusia yang relativ dini. Saya kuat, saya bisa, walaupun saya berbeda. Itu prinsip yang saya pegang dari kecil.
      Lulus SD saat itu umur saya sekitar 12 tahun, saya berhijrah ke kota Yogyakarta untuk menuntut ilmu di sebuah Sekolah Boarding School. Tinggal di asrama, bersama kawan dari seluruh Indonesia, punya karakter beragam, ada yang kasar, ada yang lembut, dan ada pula yang arogan. Hal ini membuat saya mengalami Culture Shock, sedih, murung, dan stress. Saya belum terbiasa hidup jauh dengan kakek dan nenek, saya juga belum bisa menerima ragam karakter teman-teman di asrama. Intinya, saya belum bisa beradaptasi disini.  saya terus mencoba agar bisa beradaptasi dan pada akhirnya saya bisa lulus sampai SMA. Di sekolah berjenjang SMP sampai SMA, sehingga siswa dikatakan benar-benar lulus apabila sudah menamatkan pembelajaran selama 6 tahun.