Berita di media ibarat jendela bagi mereka untuk melihat kejadian yang terjadi di luar. Di sini, literasi media diperlukan sebagai jendela pengetahuan untuk melihat secara jernih berbagai informasi yang diproduksi ke media. Buckingham (2001), beragumen bahwa literasi media digunakan untuk menyiapkan mereka yang muda dari sebaran informasi di media. Jadi melalui literasi media setiap "young citizen" dapat menjadi konsumen media yang berdaya hidup di era disrupsi.
Menjadikan literasi media sebagai preferensi bagi warganegara muda adalah langkah penting yang mesti diupayakan. Sebab Shrum (2010), melalui teori subliminalnya menekankan dampak media dapat ditelusuri dari teori pesan. Pesan atau stimulus yang diserap oleh persepsi dan alam otak bawah sadar yang diterima melalui medium gambar yang diulang-ulang akan menimbulkan dampak yang efektif. Pesan atau stimulus ini cepat melintas sebelum seseorang dapat memprosesnya lalu perlahan-lahan mempengaruhi dan mengubah pikiran sadar manusia.
BERSELANCAR DI ERA DISRUPSI
Kedasaran hidup dari wargangera muda telah mengubah gaya interaksi dan penyerapan informasi di era disrupsi. Peningkatan kemampuan beradaptasi pada perubahan yang sementara berlangsung merupakan upaya yang dilakukan secara terus menerus. Sebab mereka tidak ingin terbawa arus perubahan. Â Pemenuhan kebutuhan informasi dan gaya interaksi warga negara muda telah bergerak mengikuti kecanggihan teknologi. Kondisi ini ditandai dengan penggunaan telepon seluler. Awalnya alat ini hanya mempunyai fitur suara atau teks. Namun sekarang telah dilengkapi fitur suara, teks, dan gambar yang dapat dilakukan dalam satu aktivitas sekaligus. Fungsi telepon seluler telah berubah dari alat komunikasi menjadi kebutuhan utama mereka sebagaimana halnya makan dan minum.
Memanfaat kecanggihan ini, setiap wargangera muda dapat mengakses internet. Penyerapan informasi terkait isu-isu kewaganegaraan dapat diperoleh lewat media sosial; facebook, twitter, dan instagram. Membaca informasi terbaru pada situs online; Kompasiana, Detik.com, dan situs lain yang dianggap memiliki kredibilitas. Mengirim tugas melalui gmail, mempelajari berbagai jurnal penelitian ilmiah melalui Google Cendekia, menonton khotbah atau ceramah rohani melalui Youtube, membeli barang melalui aplikasi Zalora atau Sorabel, menggunakan jasa Gojek dan Grab untuk mengantar barang. Sampai pada gaya interaksi baru yang dilakukan melalui video call dengan menggunakan aplikasi Zoom, WhatsApp, atau Messenger.
Fenomena ini disebut "disrupsi" oleh beberapa ahli, sebab telah terjadi perubahan besar yang bersifat mendasar dengan sangat cepat tanpa bisa ditahan lajunya (Hapsari, 2019: 152). Era disrupsi telah memberi banyak manfaat yang amat besar bagi warga negara muda sekaligus dampak negatif. Hasil riset menemukan beberapa persoalan. Kesatu, penyebaran informasi dan pengetahuan yang tidak tersaring dengan baik mengakibatkan hoaks terkait SARA dan politik, pornografi, dan jenis kekerasan lainnya dapat terjadi dengan menggunakan perangkat internet.
Kedua, dalam berinteraksi di media sosial, dimana wargangera muda sebagai pengguna media sosial seringkali memuja sekaligus menghujat, tanpa mengetahui kebenaran konteks informasi. Kesopansantunan dan hormat-menghormati sesama warga negara dalam berkomunikasi di media sosial sering diabaikan. Ketiga, munculnya gaya berkomunikasi baru di kalangan warga negara muda yang ditandai dengan penggunaan berbagai istilah dalam bahasa asing, misalnya, via medsos, selfie, zaman now, vc, googling, searching dan istilah lainnya. Berbagai istilah yang digunakan oleh generasi muda tentu menyulikan bahkan menghambat komunikasi dengan generasi yang lebih tua, sebab mereka sulit mencerna makna istilah-istilah itu. Keempat, intensitas warga negara muda dalam berinteraksi melalui perangkat internet semakin meningkat. Mereka lebih aktif berinteraksi dengan orang yang jauh, namun pasif dengan orang yang ada di depan mata. Jadi, internet mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Terhadap persoalan ini, mereka belum menyadari bahwa betapa pun canggihnya teknologi dan informasi yang muncul, kodrat manusia mesti tetap menjadi fundamen bagi penataan kehidupan sosial.
Era disrupsi memperlihatkan secara jelas tentang perubahan yang terjadi secara cepat, masif, dan berdampak besar. Gaya interaksi dengan menggunakan perangkat secara terus menerus adalah fakta yang harus diterima oleh seluruh warga negara. Disrupsi telah menghasilkan kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh serta bersifat destruktif dan kreatif. Dalam pandangan Christensen tentang disrupsi yang kemudian menjadi sangat populer adalah munculnya berbagai aplikasi teknologi informasi. Sementara Fukuyama (1999: 4), mengakui keuntungan atau manfaat yang timbul dari perubahan-perubahan teknologi, sehingga menjadi "masyarakat-informasi" (information society).
Pemanfaatan kecanggihan teknologi dan informasi secara bertanggungjawab untuk tujuan yang membangun adalah hal mutlak yang mesti dilakukan. Warga negara muda yang memiliki pikiran kritis sudah seharusnya mampu menatap perkembangan teknologi lebih cerdas. Fukuyama menjelaskan, warga negara yang dikondisikan oleh kekuatan informasi cenderung menghargai nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi, yaitu kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality). Terhadap kedua poin itu, diperlukan kesadaran bersama untuk membuka ruang kebebasan dan kesetaraan dalam berinteraksi maupun berkomunikasi menggunakan perangkat internet. Â
Lebih lanjut, Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption (2017), mengungkapkan bahwa disrupsi tidak hanya berkaitan dengan bisnis, investasi dan keuangan. Namun, berdampak banyak dalam bidang kehidupan seperti pemerintahan, politik, dunia hiburan, dan sosial. Dicontohkan dalam buku tersebut bahwa perubahan yang terjadi mulai dari hadirnya telegraf menjadi telepon kabel, kemudian berubah menjadi ponsel biasa dan berubah lagi menjadi smart phone yang telah dianggap sebagai kebutuhan primer manusia. Perubahan teknologi yang mengakibatkan apa yang disebut Joseph Schumpeter sebagai "creative destruction" di pasar, niscaya juga mendisrupsi relasi-relasi sosial. Selama IPTEK masih terus berkembang, maka selama itu pula disrupsi akan terjadi. Namun  dampak negatif disrupsi mesti diatasi. Fukuyama (1999: 137-139), berasumsi agar setiap warga negara menata kembali kehidupan sosial, maka perhatian perlu diarahkan kepada dua kapasitas manusiawi. Artinya kesadaran akan kodrat manusia dan kecenderungan manusia untuk mengorganisasi diri.
Apapun persoalannya, paling tidak lahirnya era disrupsi telah membantu kita untuk melihat dengan lebih tajam gelombang perubahan yang sedang melanda dunia dan masyarakat dan untuk menanggapi secara positif perubahan-perubahan tersebut. Walaupun disrupsi bukanlah segalanya (Robert, dalam Ohoitimur 2018: 166). Seperti halnya dengan postmodernisme, disrupsi terutama menjadi instrumen konseptual untuk memahami perubahan-perubahan yang sedang terjadi karena perkembangan teknologi informasi.