Mohon tunggu...
Yakob Godlif Malatuny
Yakob Godlif Malatuny Mohon Tunggu... Dosen - Kata-kata lisan terbang bersama angin, sementara tulisan abadi.***

Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kandang Pikiran

20 Juli 2019   16:13 Diperbarui: 20 Juli 2019   16:18 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.techrepublic.com 

Kampus adalah kandang pikiran sivitas akademika, yang tak bisa dikandangkan. Sebab, pikiran itu liar dan tak bisa dibelenggu oleh siapa pun. Kampus memerdekakan warganya untuk mengucapkan pikiran. Bila memasuki kawasan kampus, kita akan menjumpai sivitas akademika yang terus-menerus bergerak menumbuhkembangkan tradisi berpikir secara kritis dan ilmiah.

Begitu pentingnya kampus, sehingga masa perang dunia sekali pun, lumbung ilmu, seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne, tak disentuh serangan militer. Karena, pasti kehidupan kampus akan mengalami kematian dan sivitas akademika mengalami kemunduran pikiran bila kampus disentuh serangan militer.

Dalam pandangan Yudi Latif kehilangan terbesar sebuah bangsa bukanlah kehilangan orang besar atau kemerosotan nilai tukar dan defisit neraca perdagangan, melainkan kemunduran pikiran. Dan kampus sebagai organ yang bertanggungjawab dalam menjaga pikiran sebuah bangsa termasuk stok pikiran kritis dan ilmiah seluruh sivitas akademika agar tidak mengalami kemuduran.

Sebab, sivitas akademika nampak dari kebugaran gagasan dan mindset, sehingga terobosan-terobosan yang disodorkan kepada pemangku kepentingan kerap dipakai sebagai rujukan untuk memecahkan problem kekinian yang mengemuka di masyarakat.

Itulah sebabnya pemegang otoritas kampus memaksa warganya untuk menimba ilmu di ruang-ruang kuliah dengan berbagai metode dan meramu berbagai kegiatan yang-membangun pandangan warganya-menjadi kritis dan ilmiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kampus dikenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang terdidik yang kritis dan ilmiah.

Tak heran bila, semasa musim pemilu politisi jarang memasuki kawasan kampus. Lebih banyak kandidat dan tim sukses menyisir suara di kampung balik bukit ketimbang harus beradu program dan berdebat di kampus yang dikenal kritis, itulah yang dikatakan Karim Suryadi dalam buku Menak Senayan.

Padahal politik Indonesia akan tumbuh di dalam kondisi akal sehat bila para politisi beradu program dan berdebat di kampus. Sebab sivitas akademika akan menggunakan berbagai fakta, data, konsep, generalisasi dan teori untuk mengukur dan mengoreksi berbagai program yang didesain oleh politisi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.

Situasi zaman kini telah berubah, para politisi hendaknya merespon problem masyarakat kekinian yang kian kompleks dengan meminta rujukan penyelesaian dari kampus. Tentu sivitas akademika akan menggunakan daya pikir yang kritis dan ilmiah untuk menawarkan solusi bagi mereka untuk menuntaskan beragam problem di masyarakat. Bukankah dalam sejarah perkembangan peradaban, perubahan sosial akibat fenomena yang muncul selalu dipelopori oleh mereka yang berasal dari kampus?

Perlu digarisbawahi, reformasi politik Indonesia juga lahir dari kesadaran sivitas akademika. Lebih-lebih, berbagai perubahan yang terjadi di berbagai belahan bumi dan lompatan teknologi komunikasi melalui dunia internet juga dipelopori oleh anak-anak terpelajar yang bergelimang dalam lingkungan kampus. Semua itu terjadi atas berkat daya kritis dan analisis persoalan yang sangat dalam dari mereka.

Merawat Pikiran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun