Selain ibadah, korupsi pun dilakukan secara berjamaah alias bersama-sama oleh para wakil rakyat yang terhormat. Penting untuk digarisbawahi bahwa kerusakan terhebat Indonesia akibat kegagalan pembangunan yang berlangsung selama puluhan tahun sesungguhnya bukanlah sumber daya alam yang habis dan rusak, melainkan kerusakan manusianya oleh korupsi.
Slogan "badai pasti berlalu" merupakan angin surga yang masih jauh asap dari panggang, mengingat Indonesia hari-hari ini masih berkutat dalam kubangan krisis berkepanjangan dan terus menerus melakukan perlawanan terhadap perilaku korup yang dilakukan oleh pejabat negara.
Korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi (abuse of public official for privata profit) (Eigen, 1997; Bardhan, 1997). Defenisi ini lebih tertuju pada korupsi yang terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan atau jabatan-jabatan publik. Terdapat juga definisi yang mencoba membidik sektor swasta, yaitu penyalahgunaan tanggung jawab yang diterima demi keuntungan pribadi (abuse of entrusted power for private profit) (Eigen, 1977).
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat dilihat bahwa tanggung jawab sebagai salah satu esensi dari terbangunnya warga masyarakat yang sehat telah dilecehkan (Darmawan dkk, 2008). Lebih luas, korupsi dipahami sebagai penyakit moral, sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang menghancurkan bangsa. Jika dibiarkan tumbuh atau tidak dikendalikan melalui strategi yang sistemik, korupsi dapat menjadi sistematik dan sistemik sehingga sulit untuk diberantas.
Banyak gerakan antikorupsi di dunia yang hanya menambah daftar panjang kegagalan daripada yang berhasil. Korupsi juga dapat muncul begitu saja dalam negara yang sehat sekalipun. Pemandangan yang sama ini kita alami di Indonesia sejak beberapa rezim pemerintahan yang lalu sampai sekarang (Darmawan dkk, 2008).
Pada masa Orde Baru tindak pidana korupsi dilakukan oleh para pejabat negara di tingkat pusat. Namun seiring dengan kebijakan otonomi daerah, gejala desentralisasi perilaku korupsi pun merebak, sehingga sebagai akibatnya kita menyaksikan korupsi menjadi sistemik.
Teten Masduki, eks Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) menguraikan, korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara di pusat, tetapi juga banyak dilakukan oleh pejabat atau raja-raja kecil di tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai kelurahan. Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan, karena selain menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bangkit dari krisis multidimensi, juga menyebabkan rendahnya apresisasi dunia internasional terhadap bangsa Indonesia.
Berbagai apresiasi berskala internasional masih memosisikan Negara Indonesia sebagai negara korup. Dalam survei yang dilakukan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 96 (dari 180 negara di dunia) pada Indeks Persepsi Korupsi 2017. Skor yang diperoleh Indonesia dalam daftar indeks tersebut adalah 37, masih sama seperti skor yang didapat Indonesia di tahun sebelumnya. Fenomena korupsi di Indonesia masih demikian memprihatinkan menyebabkan pemerintah terus memerangi korupsi.
Indonesia hari-hari ini dililit rentetan kasus korupsi secara berjamaah. Contoh buruk ini dipertontonkan oleh para wakil rakyat. Sebelumnya, terdapat 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara dijerat KPK. Di Padang, Sumatera Barat, 37 anggota DPRD terungkap memanipulasi anggaran. Beberapa hari lalu sebanyak 41 anggota DPRD Kota Malang ditetapkan KPK sebagai tersangka baru dari kasus dugaan suap APBD Perubahan Kota Malang tahun 2015. Tak hanya di daerah, DPR RI juga tak luput dari kasus korupsi secara berjamaah.
Memang benar kata Teten Masduki (2008), bahwa tindak pidana korupsi bukan hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga dilakukan secara kolektif. Tindak pidana korupsi bukan hanya dilakukan secara sporadik, tetapi juga dilakukan secara sistematik oleh struktur politik yang korup. Sungguh ironi, para anggota dewan yang terhormat melakukan tindakan keji. Alih-alih, main mata soal urusan anggaran menyeret mereka menjadi pasien KPK.
Penghianatan Terhadap Rakyat
Rezim terus berganti, korupsi tak pernah pergi. Para wakil rakyat secara gotong royong membajak uang rakyat. Sangat disayangkan, rakyat melimpahkan kekuasaan kepada mereka untuk mengurus uang rakyat demi memajukan kesejahteraan umum malahan berbalik meraup keuntungan demi kemakmuran pribadi dan sanak-famili.
Korupsi adalah penghianatan terhadap rakyat. Hak rakyat dibajak oleh sekelompok politisi yang tamak. Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan mimpi indah "memajukan kesejahteraan umum" bagi seluruh rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, bila wakil rakyat sendiri masih bermental korup?
Sangat sulit di negeri yang dirundung pilu ini mewujudkan mimpi indah dimaksud. Bahkan seribu kali ganti presiden pun kita tetap "jauh dari kata sejahtera" bila wakil rakyat masih "mengeruh uang rakyat". Janji-janji manis dari mereka kepada rakyat selama musim kampanye lekas menjelma menjadi pil pahit yang ditelan oleh rakyat. Tampil merakyat hanya pencitraan palsu yang berhasil mengelabui mata rakyat. Bisa jadi, rakyat akan mengubur kepercayaan terhadap wakil rakyat.
Wakil rakyat mesti sadar, bangkit, dan lekas mengubur "mental korup" yang hanya menyengsarakan seluruh rakyat. Sangat menarik untuk memperhatikan iklan layanan masyarakat. Bangkit adalah senang, senang melihat orang lain senang dan sedih melihat orang lain sedih. Bangkit adalah malu, malu karena minta melulu. Bangkit adalah takut, takut melakukan korupsi atau mengambil hak orang lain.
Iklan layanan masyarakat ini merupakan bagian dari promosi sosial kepada publik mengenai makna kebangkitan yang modern, serta memberikan pencerahan terhadap pentingnya melakukan perlawanan terhadap tindak pidana korupsi di Tanah Air.
Lebih lanjut, mengutip pesan-singkat yang tebal makna-dari Maham kepada putranya Moonja dalam film India bergenre action yang berjudul Mahenjo Daro bahwa, jika kau ingin menanam kebun bunga yang indah, maka kau harus menebang pohon. Dengan demikian, jika kita ingin "memajukan kesejahteraan umum" maka "mental korup" para wakil rakyat harus dibumihanguskan.
Menyudahi tulisan ini saya berpesan kepada para pembaca yang terhormat dan mulia bahwa, bila para wakil rakyat secara gotong royong mengeruh uang rakyat, maka rakyat, Presiden, KPK, dan lembaga terkait secara gotong royong memerangi mereka yang korup. Periksa, tangkap, adili, dan cebloskan para koruptor ke penjara. Memaafkan koruptor adalah urusan Tuhan, namun mencebloskan koruptor ke penjara adalah urusan kita bersama.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H