Pendapat pertama: Dianjurkan untuk menghidupkannya secara berjama’ah di masjid. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih, Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir, dan lain-lain,
Pendapat kedua: Dianjurkan untuk menghidupkannya sendiri-sendiri. Makruh hukumnya bila shalat, berdoa, membacakan kisah-kisah, secara berjama’ah di masjid.
Ini pendapat Imam Al Auza’i dan juga pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab. Pendapat ini juga yang pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Ikhtiyarat, beliau berkata: “Sebagian salaf ada yang menghidupkannya dengan shalat malam. Namun, berkumpul di masjid mengerjakannya secara berjama’ah adalah bid’ah. Demikian juga shalatalfiyah”.
Kesimpulannya apa?
Mungkin itulah yang muncul dari pikiran anda setelah (mungkin) rada bingung berputar-putar pada beberapa pendapat ulama tadi.
Kesimpulannya berikut ini:
Berkata Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil: "Kesimpulannya, malam nishfu sya’ban memiliki keutamaan. Hal ini didasari oleh hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsar salaf. Boleh menghidupkan malam nishfu sya’ban secara sendirian tanpa berjama’ah. Sedangkan cara-cara yang selain itu, adalah bid’ah.Wallahu’alam. "
Mungkin anda bingung, mana hubungannya pembahasan ini dengan "wahabi" dalam judul?
Yang berkata terakhir itu (Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil) adalah seorang ulama Arab Saudi. Sedangkan sebagian orang ada yang menyebut ulama negeri tersebut sebagai ulama "wahabi ".
Berarti pernyataan bahwa "wahabi" membidah-bidahkan ibadah di malam nishfu Sya'ban adalah tidak sepenuhnya benar.
Sebab, ada pula ulama "wahabi" yang menyatakan bahwa itu bukan bid'ah.
Ya, memang ada yang menyatakan bid'ah. Tapi itu bukan hanya dari ulama "wahabi" saja, bahkan itu merupakan pendapat sebagian ulama salaf dahulu seperti Atha’ bin Abi Mulaikah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan murid-murid Imam Malik.
Jelas?