Mohon tunggu...
Khusnul Imanuddin
Khusnul Imanuddin Mohon Tunggu... Researcher -

#Aktivis HMI #Mahasiswa #Dewan Komisaris Digital Development (Digidev) #Koordinator Korwil MP-BPJS Jateng & DIY #Pecinta One Piece, Fairy Tail, Buku, Kopi, Nongkrong dan Begadang #Researcher #Pujangga #Gamers

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adagium (Sinetron) Pendidikan Indonesia

4 Juli 2016   17:25 Diperbarui: 4 Juli 2016   18:41 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat Perjanjian SMPN 6 Mataram

Hampir semua remaja mengetahui popularitas sinetron Ganteng Ganteng Serigala (GGS) dan Anak Jalanan (AJ), walaupun genrenya adalah sinetron remaja tetapi kesamaan dari dua sinetron tersebut seringkali mengambil setting di sekolah dengan porsi terbesar aktornya bermain sebagai siswa. Stigma siswa di sinetron tersebut lebih ditonjolkan pada adegan perkelahian, percintaan bahkan fiksi akan sangat mempegaruhi perkembagan mental generasi muda Indonesia.

Bahkan sosok guru yang ditamilkan di sinetron tersebut juga lebih banyak mengurusi masalah pribadi murid-muridnya daripada pelajaran di sekolah. Waktu penayangannya pun hampir setiap hari dan menggunakan jam prime time (18.00-22.00) padahal waktu tersebut adalah waktu yang paling efektif digunakan untuk pelajaran, sehingga tidak mengherankan jikalau doktrinasi dua sinetron tersebut sangat mempengaruhi mental siswa sekarang menjadi cengeng dan tidak berani menghadapi tekanan. Tidak ada pesan positif yang bisa kita ambil dari tayangan sinetron tersebut, jauh berbeda dengan zaman saya sekolah yang disuguhi Si Doel Anak Sekolah.

Walaupun permasalahan yang membelenggu pak Sambudi sudah berakhir dengan damai, tetapi fenomena tersebut hanyalah ujung dari gunung es, karena masih banyak persoalan pendidikan lainnya yang siap meledak di permukaaan. Dan bagi saya tindakan pencegahan pelaporan guru kepada pihak kepolisian untuk mencegah terulangnya kasus pak Sambudi, seperti yang diterapkan oleh SMP 6 mataram dalam bentuk surat perjanjian antara pihak sekolah dan orang tua jika sampai diberlakukan, makin menjauhkan esensi pendidikan yang dirintis oleh Ki hajar Dewantara, karena bagaimanapun juga hukuman diberlakukan untuk mendidik siswa yang bersalah, tetapi tentunya kita semua sepakat bahwa peraturan tersebut adalah bentuk pelegalan kekerasan yang akan dilakukan guru terhadap siswanya. Tentunya kita semua maisih berharap bahwa hakikat sekolah adalah sistem untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan tempat untuk melakukan kekerasan fisik semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun