Bulan Mei 2016, Pertamina kembali memperoleh penghargaan sebagai “The Most Powerfull Energy Company in Asia”. Penghargaan yang diterima oleh Corporate Secretary Pertamina, Wisnuntoro ini diperoleh dari Nikkei BP yang mrlibatkan 13.000 responden di 13 negara dengan melibatkan 1446 merek global. Terpilihnya Pertamina semakin memperkokoh posisinya sebagai perusahaan anak bangsa dalam pengelolaan migas untuk menunjang ketahanan nasional. Penghargaan ini melengkapi penghargaan sebelumnya sebagai best of Asia, Icon on Corporate Governance yang diberikan oleh Corporate Governance Asia. Bahkan pada tahun sebelumnya Pertamina juga mendapat penghargaan Fortune Global 500 dari Majalah Forbes
Berbagai penghargaan yang diterima Pertamina bisa membuktikan bahwa pada dasarnya sebagai perusahaan negara, sistem manajemen dan tata kelola migas Pertamina sudah dikelola secara sistematis. Tetapi pertanyaan yang kemudian sering muncul, kenapa Pertamina sepeti kesulitan untuk mendapatkan pengakuan di negeri sendiri. Banyaknya blok-blok migas yang masih dikuasai asing menjadi bukti sahih ada yang salah dengan pengambilan kebijakan migas di Indonesia
Data yang dikeluarkan SKK Migas menunjukkan dari 10 perusahaan pengeksplorasi minyak di Indonesia yang dikuasai asing, mereka bisa memproduksi 556.437 barel per hari, bandingkan dengan Pertamina yang hanya bisa memproduksi 113.152 barel per hari. Artinya produksi minyak yang dikuasai oleh perusahaan asing 4 kali lipat dari Pertamina, padahal konsumsi minyak di Indonesia per hari bisa menghabiskan 1,5 juta barel. Tentunya impian masyarakat Indonesia agar Pertamina bisa ber-swasembada mencukupi kebutuhan minyak di Indonesia semakin jauh dari kenyataan
Belum lagi “penguapan” pengelolaan migas di Indonesia, menurut data Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia, nilai transaksi hulu minyak yang diproduksi Indonesia berkisar 850 bph atau senilai 1,6 trilliun. Jika diakumulasikan per tahun bernilai 387,6 Trilliun. Nilai impor Indonesia mencapai 506.000 bph dengan nilai transaksi 230,7 trilliun
Nilai transaksi yang begitu besar tersebut tentunya menjadi bisnis yang menggiurkan bagi mafia migas. Pemecahan kebijakan menjadi salah satu jalan untuk mencari keuntungan. Kita tentunya ingat tentang kasus korupsi yang terjadi di Petral (PT Pertamina Energy Trading, anak perusahaan Pertamina yang mengurusi penjualan minyak) pada akhir tahun 2015. KPK sudah mengeluarkan Sprindik karena sudah menemukan indikasi ketidakefisienan rantai suplai berupa mahalnya harga 'crude' dan produk yang dipengaruhi kebijakan Petral dalam proses pengadaan dan pengaturan tender Migas, kerugian negara mencapai 18 milliar dollar AS pertahun
Pertamina juga pernah terlibat konflik dengan PGN (Perusahaan Gas Negara) terkait kebijakan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mewajibkan pemberlakuan kebijakan akses terbuka penggunaan jaringan pipa gas, jelas PGN pun meradang karena selama ini mereka menguasai 80% jalur distribusi gas, Pertamina dituduh ingin menyerobot pangsa pasar lewat kebijakan ini, padahal PGN maupun Pertamina adalah BUMN yang seharusnya bisa berkolaborasi untuk kemakmuran masyarakat, tetapi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah malah membuat mereka berseteru
Prioritaskan Akuisisi Blok Oleh Pertamina
Untuk menggenjot produksi minyak Pertamina agar bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, diperlukan tambahan pengelolaan blok minyak baru. Karena itu pada tahun 2018 rencananya Pertamina akan mengincar 4 wilayah blok Migas yang sudah habis masa kontraknya, yaitu Blok Ogan Komering, East Kalimantan, Tuban dan Sanga-Sanga. Jika ditotal, kapasitas produksi migas di 4 blok minyak tersebut mencapai 64.000 bph. Khusus untuk blok East Kalimantan dan Sanga-Sanga bahkan mempunyai letak geografis yang menguntungkan karena terintegrasi dengan blok Mahakam
Tentunya pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus mendukung kebijakan ini, karena menurut pasal 28 PP No.35 tahun 2004. Pertamina mendapat hak istimewa untuk mengajukan permohonan kontrak kepada menteri ESDM dibandingkan dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Lainnya. Disamping mempunyai landasan UU, pemerintah juga harus berkomitmen memberantas mafia migas tahun 2018, sehingga ke 4 blok tersebut benar-benar bisa dikelola oleh Pertamina dan hasilnya harus selalu dapat dipertanggungjawabkan ke publik, jangan sampai kasus perpanjangan kontrak ‘diam-diam' Freeport terulang kembali. Semua elemen masyarakat bisa mengawasi proses akuisisi tersebut. Jikalau ke 4 blok migas tersebut bisa dikuasai, tentu Stamina Pertamina akan terus menyala dan harapan untuk menguasai blok migas yang masih dicaplok asing akan segera terealisasi
Strategi dan Inovasi
Sebagai perusahaan negara, ada beberapa hal yang harus kita perjuangkan agar Pertamina bisa menjadi raksasa industri migas. Pertama, kembalikan semua pengelolaan yang berkaitan dengan minyak bumi dan gas kepada Pertamina, tidak boleh ada lagi perusahaan negara lainnya yang bisa mengelola minyak bumi dan gas, hal ini untuk meminimalisir konflik antar perusahaan plat merah. Kedua, Pertamina juga harus berinovasi untuk melakukan penelitian menemukan alternatif-alternatif baru sumber energi, dewasa ini sumber energi alternatif seperti Shale Oil dan Shale Gas sudah menjadi primadona baru bahan bakar untuk menggantikan minyak bumi yang cadangannya diprediksi akan semakin menipis di masa depan. Ketiga, dukungan penuh dari pemerintah untuk memberantas mafia migas.
Dengan beberapa langkah yang kongkret, masyarakat Indonesia sangat berharap bahwa Pertamina bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Alangkah naifnya jika kita menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya migas tetapi untuk mencukupi kebutuhannya masih harus mengimpor dari negara lain. Harapan untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri tentunya harus kita sandarkan pada Pertamina dengan dukungan semua masyarakat Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H