Mohon tunggu...
Ervan Yuhenda
Ervan Yuhenda Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Berani Beropini Santun Mengkritisi, Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jendela yang Tertutup

24 Agustus 2024   02:12 Diperbarui: 4 September 2024   17:42 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:Koleksi Dok Pribadi)

Langit di luar kamar Sarah sudah mulai gelap ketika dia menutup jendela kamarnya dengan perlahan. Angin malam yang dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela yang setengah terbuka. Suara gemerisik daun di luar membuatnya merasa gelisah. Jendela itu selalu tertutup setiap malam, seolah ada sesuatu yang ingin dihindarinya.

Sarah adalah seorang gadis berusia 27 tahun yang tinggal sendirian di sebuah apartemen kecil di pusat kota. Hidupnya penuh dengan rutinitas yang monoton, bangun pagi, bekerja sebagai editor di sebuah penerbit kecil, pulang, makan malam, dan tidur. Namun, ada satu hal yang membuat hidupnya berbeda dari orang lain. Dia takut pada malam.

Bukan malam dalam arti kegelapan atau kesunyian, tetapi pada makna yang lebih dalam. Malam bagi Sarah adalah waktu di mana pikirannya mulai berkelana ke tempat-tempat yang tidak ingin dia kunjungi. Masa lalu yang penuh dengan trauma dan kesedihan selalu menghantuinya setiap kali matahari terbenam.

Di malam yang kelam itu, Sarah duduk di dekat jendela, memandangi kegelapan di luar. Dia ingat bagaimana jendela ini pernah menjadi saksi bisu dari momen-momen penting dalam hidupnya. Di sinilah dia pertama kali melihat cinta pertamanya, di sinilah dia menyaksikan perpisahan yang menyakitkan, dan di sinilah dia bersembunyi dari dunia ketika semuanya terasa terlalu berat.

Sarah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi pikirannya terus berlari kembali ke masa kecilnya. Ibunya yang kasar, ayahnya yang selalu absen, dan bagaimana dia sering merasa sendirian meskipun berada di tengah-tengah keluarga. Kenangan itu membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.

Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Sarah memutuskan untuk menghadapi ketakutannya. Dia membuka jendela dengan lebar dan membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi dia merasa hidup. Dia menutup matanya dan membayangkan dirinya sebagai anak kecil yang berdiri di bawah sinar bulan, bebas dari segala beban.

Ketika dia membuka matanya, Sarah merasa ada yang berubah dalam dirinya. Ketakutan yang selama ini mengikatnya perlahan-lahan mulai menghilang. Dia menyadari bahwa jendela itu bukanlah penghalang, melainkan pintu menuju kebebasan. Kebebasan untuk menerima masa lalunya, dan kebebasan untuk menjalani hidup tanpa bayang-bayang ketakutan.

Malam itu, Sarah tidur dengan jendela yang terbuka lebar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa damai. Angin malam yang biasanya menakutkan kini terasa seperti pelukan hangat yang menenangkan. Dia tahu, perjalanan menuju penyembuhan masih panjang, tetapi langkah pertama telah dia ambil.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Pagi datang dengan sinar matahari yang hangat dan suara burung berkicau di luar jendela. Sarah merasa ada perubahan yang signifikan dalam dirinya. Setiap malam, dia mulai membuka jendela sedikit lebih lebar, membiarkan udara malam masuk dan menghapus bayang-bayang ketakutan yang selama ini menghantui.

Rutinitas hariannya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia menjalani hidup. Dia mulai menikmati hal-hal kecil yang sebelumnya dia abaikan. Aroma kopi pagi yang menyegarkan, senyum ramah dari penjaga toko roti di sudut jalan, dan cahaya matahari yang menembus celah-celah daun pohon di taman kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun