Waktu terus berjalan, dan Andi akhirnya menerima kabar baik. Ia diterima di sebuah sekolah penerbangan di kota dan mendapatkan beasiswa sebagian. Meskipun demikian, biaya yang harus dikeluarkan masih cukup besar. Dengan tabungan yang sedikit dan bantuan dari beberapa tetangga yang baik hati, Andi akhirnya bisa pergi ke kota untuk mengejar mimpinya.
Di kota, Andi harus beradaptasi dengan kehidupan yang jauh berbeda dari desa. Ia tinggal di asrama sekolah penerbangan bersama siswa-siswa lain dari berbagai daerah. Setiap hari, ia belajar teori penerbangan, navigasi, meteorologi, dan banyak hal lainnya yang diperlukan untuk menjadi pilot. Selain itu, ia juga menjalani pelatihan fisik yang ketat untuk memastikan bahwa ia dalam kondisi terbaik untuk menghadapi tantangan di udara.
Meskipun lingkungan yang baru dan materi pelajaran yang sulit, Andi tidak pernah mengeluh. Ia selalu menjadi yang pertama datang ke kelas dan yang terakhir meninggalkan ruang simulasi. Ketekunan dan dedikasinya mulai menarik perhatian para instruktur. Mereka melihat potensi besar dalam diri Andi, dan beberapa di antaranya bahkan memberinya tambahan bimbingan di luar jam pelajaran.
Salah satu instruktur yang paling berpengaruh bagi Andi adalah Kapten Rudi, seorang pilot veteran yang telah terbang selama puluhan tahun. Kapten Rudi melihat semangat dan tekad dalam diri Andi yang mengingatkannya pada dirinya sendiri ketika masih muda. Ia sering mengajak Andi berdiskusi tentang pengalaman terbangnya dan memberikan nasihat berharga tentang dunia penerbangan.
"Menjadi pilot bukan hanya tentang bisa mengendalikan pesawat, Andi," kata Kapten Rudi suatu hari. "Ini tentang tanggung jawab besar. Di tanganmu ada banyak nyawa, dan kamu harus siap menghadapi situasi apa pun dengan tenang dan profesional."
Kata-kata Kapten Rudi selalu diingat Andi. Ia berusaha keras untuk tidak hanya menguasai teknik penerbangan, tetapi juga mengembangkan sikap yang matang dan profesional. Ketika akhirnya tiba saatnya untuk penerbangan simulasi pertamanya, Andi merasa siap. Meski gugup.
Waktu berlalu, dan hari yang dinanti-nantikan Andi akhirnya tiba, penerbangan solo pertamanya. Ini adalah ujian penting bagi setiap calon pilot, di mana mereka harus menerbangkan pesawat seorang diri tanpa bantuan instruktur. Pagi itu, Andi mengenakan seragam pilotnya dengan bangga dan menuju ke hanggar dengan hati berdebar.
Di hanggar, sebuah pesawat kecil Cessna 172 sudah menunggu. Andi melakukan pemeriksaan pra-penerbangan dengan teliti, memastikan bahwa semua sistem pesawat berfungsi dengan baik. Setelah mendapatkan izin dari menara pengawas, ia masuk ke dalam kokpit dan mulai menjalankan prosedur lepas landas.
Ketika pesawat mulai meluncur di landasan, Andi merasakan campuran antara kegembiraan dan kecemasan. Namun, ketika roda pesawat terangkat dari tanah dan ia mulai terbang, semua kecemasan hilang. Ia merasakan sensasi kebebasan yang luar biasa, seperti burung yang terbang di angkasa. Andi memandang ke bawah, melihat kota yang semakin mengecil dan langit yang luas terbentang di depannya. Itu adalah momen yang tak terlupakan, momen yang selalu ia impikan sejak kecil.
Setelah beberapa menit terbang mengitari area latihan, Andi kembali mendarat dengan mulus. Ketika ia keluar dari pesawat, para instruktur dan teman-teman sekelasnya menyambutnya dengan tepuk tangan. Kapten Rudi memberikan pujian khusus untuk Andi, mengakui keterampilan dan ketenangannya selama penerbangan.
"Selamat, Andi. Kamu sudah melakukan yang luar biasa," kata Kapten Rudi dengan senyum bangga.