Mohon tunggu...
Ervan Yuhenda
Ervan Yuhenda Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Berani Beropini Santun Mengkritisi, Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jenjang Karir yang Tak Terlihat

4 Juni 2024   04:01 Diperbarui: 4 Juni 2024   04:48 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dokumentasi Pribadi)

Di sebuah perusahaan teknologi besar yang terletak di jantung kota, terdapat seorang karyawan bernama Arif. Selama lima belas tahun, Arif telah berdedikasi penuh pada perusahaan tersebut. Ia mengawali karirnya sebagai analis data junior dan, seiring waktu, menjadi salah satu ahli yang paling dihormati dalam timnya. Namun, meskipun kerja keras, Arif merasa seolah-olah karirnya terhenti. Setiap kali ada pembicaraan tentang promosi, namanya selalu terlewatkan.

Arif adalah seorang yang rajin dan selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya. Ia sering menghabiskan waktu di luar jam kerja untuk belajar keterampilan baru dan memperdalam pengetahuannya di bidang analisis data. Namun, semua usaha itu seolah-olah tidak berarti tanpa adanya pengakuan formal dari perusahaan. Sementara itu, ia melihat banyak karyawan baru yang datang dan dalam waktu singkat langsung mendapatkan promosi.

Suatu hari, perusahaan merekrut seorang manajer proyek baru bernama Dinda. Ia baru lulus dari universitas ternama dengan segudang prestasi akademis. Kurang dari setahun setelah bergabung, Dinda mendapatkan promosi menjadi manajer senior, sebuah posisi yang Arif dan beberapa rekannya idamkan sejak lama. Hal ini memicu ketidakpuasan di kalangan karyawan lama, terutama Arif.

Di meja makan siang kantor, percakapan karyawan sering kali dipenuhi dengan rasa frustrasi. Mereka merasa upaya mereka selama bertahun-tahun tidak dihargai. "Apa gunanya kerja keras kalau yang baru datang saja bisa langsung naik pangkat?" keluh Sinta, rekan kerja Arif yang juga merasa tidak puas.

Arif hanya bisa mengangguk setuju. Ia merasakan hal yang sama, tetapi selalu mencoba untuk menahan diri agar tidak terlalu larut dalam kekecewaan. Namun, semakin lama, rasa frustrasi itu semakin sulit diabaikan. Ia mulai merasa bahwa loyalitas dan pengabdiannya pada perusahaan hanya berakhir dengan kekecewaan.

Suasana kerja di kantor semakin hari semakin tegang. Karyawan yang biasanya bekerja sama dengan harmonis mulai saling bersaing secara tidak sehat. Mereka saling curiga dan menghindari berbagi informasi yang penting. Suasana kerja yang negatif ini jelas berdampak pada produktivitas. Banyak proyek yang tertunda dan hasil kerja yang tidak memuaskan.


Arif sendiri merasa berada di persimpangan jalan. Ia mencintai pekerjaannya dan timnya, tetapi ketidakadilan ini mulai mengikis motivasinya. Ia mulai mempertimbangkan untuk mencari peluang di tempat lain. Namun, sebelum membuat keputusan besar, Arif memutuskan untuk berbicara dengan HRD perusahaan.

"Saya ingin tahu, apa sebenarnya kriteria untuk promosi di sini?" tanya Arif dengan nada serius saat bertemu dengan kepala HRD, Bu Tania. Pertemuan itu diadakan di ruang kantor yang sepi, jauh dari pandangan rekan kerja lainnya. Arif berharap bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Bu Tania, yang sudah mengenal Arif cukup lama, menatapnya dengan penuh pengertian. "Arif, saya paham perasaanmu. Kami memang harus lebih transparan mengenai kebijakan promosi. Kami akan mengevaluasi kembali sistem ini agar lebih adil dan terbuka." Namun, kata-kata Bu Tania tidak segera mengubah situasi. Arif masih merasakan kekosongan dan ketidakpuasan. Ia mulai mencari tahu bagaimana perusahaan lain menangani jenjang karir dan menemukan banyak inspirasi. Salah satu perusahaan bahkan memiliki program mentorship yang kuat dan jalur karir yang jelas bagi setiap karyawan.

Di saat yang bersamaan, ketidakpuasan Arif dan rekan-rekannya mulai mempengaruhi kehidupan sosial di perusahaan. Karyawan yang biasanya bekerja sama dengan harmonis mulai saling bersaing secara tidak sehat. Suasana kerja menjadi tegang dan produktivitas menurun. Arif menyadari bahwa masalah ini tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga pada keseluruhan dinamika tim.

Melihat situasi yang semakin memburuk, Bu Tania mengambil langkah drastis. Ia mengadakan rapat umum dan mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan jenjang karir perusahaan. "Mulai sekarang, kami akan menerapkan sistem evaluasi kinerja yang transparan dan berbasis prestasi. Kami juga akan memperkenalkan program pengembangan keterampilan dan mentorship untuk semua karyawan," jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun