Sebelum Covid-19 merebak, bersama teman, saya pernah mengunjungi kota Seoul di tahun 2019. Kunjungan tahun 2023 ini sebenarnya tidak direncanakan secara matang. Berhubung liburan kali ini kami (teman saya dan saya) pergi ke Jepang, dan teman saya yang ini belum pernah ke Korea, dan saya berjanji untuk bertemu dengan mantan murid saya di sana, maka saya mengusulkan untuk sekalian mampir di Seoul. Selain itu jarak antara Jepang dan Seoul tidak jauh. Teman saya setuju dengan usul tersebut, jadilah kami mampir ke Seoul sebelum kembali ke Indonesia.
Kami berangkat dari Osaka menuju Seoul dengan penerbangan siang hari. Penerbangan hanya memakan waktu satu jam tiga puluh menit. Kami tiba di Incheon sekitar jam tiga sore dan hujan turun cukup deras di sana.
Kami berdua memilih untuk naik bus menuju Myeongdong dimana hotel kami berada. Sebenarnya naik subway lebih murah, tapi saya malas harus membawa-bawa koper dan harus pindah kereta di Seoul station dan jalannya cukup jauh. Kalau hanya membawa 'backpack' saja pasti saya akan memilih untuk naik subway. Ketika di dalam bus saya menghubungi mantan murid saya (orang Korea) dan merencanakan waktu dan tempat untuk bertemu pada malam hari itu.
Kami tiba di hotel sekitar jam 4:30 sore. Hujan masih turun dengan deras. Hotel yang kami tempati lokasinya dekat dari mana-mana, tapi kalau dibandingkan dengan hotel-hotel yang kami tempati di Jepang, kondisi dan kualitasnya jauh di bawah Jepang padahal harganya hampir sama.
Saya janjian dengan mantan murid saya jam 5:30 petang, untuk itu saya segera mandi dan bersiap-siap untuk menemuinya di Myeongdong station exit 5. Teman saya tidak ikut karena dia merasa tidak kenal dengan murid saya tersebut, jadi dia pergi lebih dulu untuk membeli sesuatu untuk makan malamnya.
Sebelum jam 5:30 saya keluar hotel dan hujan masih turun dengan deras. Ketika saya keluar dari hotel ada seseorang yang berdiri di hadapan saya. Rupanya dia mantan murid saya.
Dia sengaja menjemput saya di depan hotel karena dia berpikir bahwa saya tidak memiliki payung dan lebih baik dia menjemput saya daripada saya harus berjalan ke stasiun. Setelah melepas rindu kami pun segera menuju restoran kesukaan dia. Anak ini memang sangat baik dan perhatian sekali.Â
Dari cara dia memayungi saya saat berjalan ke restoran, saya bisa merasakan bahwa dia adalah a true gentleman. Saya salut dengannya, walaupun dia sudah terpapar dengan budaya barat, namun adat ketimurannya masih sangat kental.Â
Saat tiba di restoran, restorannya cukup ramai dan kami memesan Dakgalbi (kalau tidak salah namanya itu 😀). Kami pun ngobrol mengingat masa lalu dan bercerita tentang teman-teman seangkatannya. Seru sekali ... sampai kami lebih banyak ngobrolnya dari pada makannya.
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Murid saya sudah kelihatan lelah dan saya pun sudah mengantuk. Akhirnya kami berjalan menuju hotel saya.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, dia pun pulang di bawah rintik hujan yang masih turun. Saya pun kembali ke kamar, membersihkan diri dan langsung tidur.
Keesokan harinya kami sarapan di hotel karena memang disediakan sarapan. Wah sarapannya cukup bervariasi. Walaupun hotelnya tidak begitu bagus tapi mereka mencoba untuk menyajikan sarapan yang bervariatif. Lumayan.
Setelah sarapan kami langsung pergi untuk menjelajah. Tujuan pertama kami adalah istana Gyeongbokgung. Kami naik subway dan berhenti di Gyeongbokgung station.
Saya sempat kagum karena sekarang di setasiun ada petunjuk dalam bahasa Indonesia/Melayu. Wah mungkin karena semakin banyak wisatawan dari kedua negara ini yang berkunjung ke Seoul maka mereka memasukkan bahasa Indonesia/Melayu. Ketika saya berkunjung ke sana pada tahun 2019, petunjuknya masih dalam bahasa Korea dan Inggris saja.Â
Tiba di istana hari masih pagi dan belum banyak pengunjung. Kami bisa berfoto dengan leluasa. Nah teman saya kemudian ingin mengenakan Hanbok (baju tradisional Korea), jadi kami keluar dulu untuk mencari tempat penyewaan hanbok.Â
Sebenarnya saya enggan karena saya sudah pernah mencobanya ketika saya berkunjung ke sana sebelumnya. Ketika sudah di dekat tempat penyewaan dia mengurungkan niatnya dan mengatakan kalau dia akan mengenakannya ketika kami berkunjung ke Bukchon village setelah dari istana.
Yah... sudah kepalang berjalan jauh di bawah terik matahari, dengan berat hati terpaksalah saya menyewa Hanbok. Sudah kepalang sampai di tempat penyewaan.
Kami kembali lagi ke istana dan di sana sudah banyak pengunjung. Kalau saja tadi tidak menyewa Hanbok, mungkin kami sudah bisa berkeliling istana. Tapi sudahlah ... tak perlu disesali ... saya nikmati saja. Ketika 2019 saya ke istana ini pada sore hari dan menjelang tutup, saya tidak dapat melihat bagian-bagian istana tersebut.
Kali ini saya bisa berkeliling dan melihat-lihat kawasan istana itu secara lengkap. Rasanya seperti putri-putri atau dayang-dayang yang ada di film-film kerajaan Korea.
Berjalan mengenakan hanbok di halaman depan istana, di kebun atau di antara bangunan-bangunan yang ada di area istana ... rasanya bisa relate dengan film-film tersebut 😀.
Setelah puas berkeliling, saya segera kembali ke toko penyewaan untuk berganti baju. Badan ini sudah basah dengan keringat karena selain udaranya panas, baju tradisional itu juga panas bahannya.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju Bukchon village. Nah di sini kami mulai mengalami disorientasi.
Peta yang kami gunakan membawa kami berputar-putar. Saya merasa bahwa pada kunjungan pertama saya, sepertinya mudah sekali mendapatkan Bukchon village ini, tapi saat ini kenapa susah. Ketika itu saya berangkat dari Insadong, namun kali ini dari Gyeongbokgung.
Setelah berjalan cukup jauh dan bertanya di tourist infomation centre dan mendapatkan peta untuk wisatawan, kami akhirnya menemukan tempat yang kami cari.
Rupanya memang berbeda tempat ini dengan tempat yang saya kunjungi dulu. Bukchon village yang dulu saya kunjungi letaknya lebih dekat dengan Insadong.Â
Puas melihat-lihat rumah tradisional Korea, kami pun mencari stasiun kereta yang akan membawa kami ke Itaewon. Lagi-lagi kami sempat tidak tahu arah ketika akan menuju stasiun kereta dari Bukchon village. Tapi kami nekad saja berjalan mengikuti insting kami. Kami  memutuskan untuk makan siang dahulu karena memang sudah lapar.
Saat melewati sebuah restoran yang menyediakan samgyetang (soup ayam ginseng), kami setuju untuk makan di situ. Kami harus mengantre dulu karena nampaknya restoran ini cukup terkenal. Rupanya restoran ini mendapatkan micelin star (dua kali kalau tidak salah). Pantas ramai sekali.
Jadi samgyetang ini adalah soup ayam dimana ayamnya adalah ayam utuh (ayam kecil). Di dalam ayam dimasukkan beras ketan dan rempah-rempah termasuk ginseng yang kemudian direbus. Ayamnya empuk sekali dan enak sekali rasanya. Pantas mendapat Michelin star.
Kalau menurut saya, makanan ini lebih enak jika dimakan saat udara dingin (saat musim semi, gugur atau dingin), karena bada terasa hangat saat menyantap soup ini. Tapi kalau sedang lapar dan saat musim panas pun tak apalah makan makanan ini, yang penting dapat mencicipi makanan khas Korea.
Setelah makan kami mencari stasiun subway untuk pergi ke Itaewon. Teman saya ingin pergi ke masjid di Itaewon dan berdoa di sana. Ketika dia masuk ke dalam masjid, saya berjalan-jalan di kawasan sekitar masjid.
Di sana banyak terdapat toko-toko halal, tetapi jika kita berjalan lebih jauh, di sana terdapat bar, restoran dan bahkan gereja. Hampir tiga puluh menit saya berjalan-jalan, akhirnya saya kembali ke masjid dan menunggu teman saya di luar masjid (jalan masuk) karena tamu yang mengenakan celana pendek dilarang masuk. Akhirnya teman saya keluar dan kami berjalan-jalan di Itaewon market.Â
Saya mencari toko yang pernah saya kunjungi dulu tapi tidak menemukannya. Padahal toko itu menjual banyak makanan khas Korea.
Kami lalu memutuskan untuk kembali ke hotel karena sudah merasa lelah. Saya beristirahat sejenak dan kemudian pergi lagi ke Myeongdong Night Market untuk jajan.
Makanan yang dijajakan banyak sekali, tapi saya tidak mau 'lapar  mata'. Setelah membeli beberapa macam makanan, saya kembali ke hotel untuk menikmati makanan yang sudah saya beli, karena saya tidak suka dan merasa tidak nyaman jika makan sambil berjalan atau berdiri seperti orang-orang yang ada di pasar malam tersebut.
Setelah makan saya kemudian mandi dan tidur karena petualangan hari ini cukup melelahkan.
gmt 26/08/23
foto: dokumen pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI