Pernah mendengar atau melihat foto hutan bambu yang indah dan instagramable di Kyoto? Nah jika Anda berkunjung ke Kyoto, jangan lupa untuk mengunjungi tempat yang bernama Arashimaya Bamboo Grove.
Sebenarnya kalau kita suka bepergian ke daerah-daerah pedesaan di Indonesia, tempat-tempat seperti ini banyak sekali.
Namun, karena tempat ini menjadi salah satu tempat yang direkomendasi untuk dikunjungi saat kita liburan ke Kyoto, tak ada salahnya jika kita juga mengunjunginya.
Kami berkunjung ke tempat ini setelah kami mengunjungi Fushimi Inari pada pagi hari. Setelah menghabiskan sekitar dua jam di Fushimi Inari kami langsung naik kereta JR Nara line kembali ke Kyoto dan pindah ke JR Sagano line yang akan membawa kami ke stasiun kereta Sagaarashiyama.Â
Saat tiba di Arashiyama matahari sudah memancarkan panasnya, padahal belum jam 12 siang. Panas sekali dan kulit ini terasa perih.
Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai Arashiyama Bamboo Grove. Kami dengan PD mengikuti rombongan wisatawan yang berjalan di depan kami dengan asumsi mereka akan Bamboo Grove. Wah 'bule' yang menjadi pemandu para wisatawan tersebut sejak di kereta sudah bercerita banyak tentang Jepang dan masyarakatnya.
Saat itu saya sempat berpikir apakah informasi yang diberikannya benar? Hal ini karena saya merasa bahwa apa yang dikatakannya tidak tepat dengan apa yang saya alami; tapi saya hanyalah pelancong yang hanya berada di sana untuk beberapa hari saja ... mungkin dia sudah lama di sana jadi dia tahu banyak tentang masyarakat di sana ... kebaikan dan keburukannya.
Awalnya saya terus mengikuti pemandu dan rombongannya, tetapi teman saya mengatakan bahwa kami sebaiknya berbelok ke kanan dan tidak berjalan lurus mengikuti mereka karena arah yang mereka ambil tidak menuju Bamboo Grove.
Setelah mengamati banyak wisatawan yang juga berbelok ke kanan dan tidak ke arah yang diambil pemandu tersebut, maka saya pun berbelok ke kanan. Di kiri kanan kami tidak ada pohon jadi panas sekali.
Topi yang saya kenakan tidak mampu melindungi saya dari panas yang menyengat kaki dan lengan saya. Seharusnya saya memakai payung, tapi ya sudahlah ... saya pun harus berjalan cepat.
Akhirnya kami tiba di ujung jalan. Di situ ada sebuah gerbang menuju sebuah kuil. Kami pun memasuki gerbang tersebut dan setelah berjalan beberapa meter kami tiba di depan Tenryu-ji Temple. Untuk bisa masuk ke dalam kuil kami perlu membeli tiket. Kami sempat bingung karena ada dua macam tiket.
Kami pun bertanya kepada penjaga yang ada di sana dalam bahasa Inggris dan tarzan. Rupanya kita bisa membeli tiket terusan untuk kuil dan taman atau hanya membeli tiket untuk masuk ke taman saja.
Dari taman kita bisa langsung menuju Bamboo Grove. Jika kita hanya ingin ke Bamboo Grove saja tanpa melewati taman, kita tidak perlu membayar, tapi kita harus keluar ke gerbang dan berjalan cukup jauh di bawah terik matahari untuk mencapai Bamboo Grove tersebut. Akhirnya kami putuskan untuk membeli tiket masuk ke taman saja.
Taman yang ada di luar kuil ini cukup indah. Ada danau kecil dengan latar belakang bukit dan pepohonan. Bunga-bunga yang tumbuh pun beraneka warna. Banyak orang berfoto dengan latar belakang bunga-bunga tersebut. Taman yang berada di samping dan belakang kuil Tenryu-ji ternyata cukup luas. Kita bisa berjalan menaiki anak tangga menuju ke atas.
Awalnya saya pikir hutan bambu terletak di dalam taman tersebut, tetapi ternyata saya salah. Rupanya kita harus keluar dari taman tersebut terlebih dahulu. Informasi ini saya dapatkan dari seorang pemandu yang saya jumpai dua hari sebelumnya ketika mengunjungi Ainokura dua. Kami sempat 'ngobrol' sejenak dan dia yang menunjukkan arah menuju Bamboo Grove tersebut.Â
Ketika tiba di hutan bambu kita disuguhi pemandangan yang menyejukkan. Pohon-pohon bambu tumbuh berderet-deret secara teratur di kanan kiri kami. Pohon-pohon yang menjulang tinggi di kanan kiri kami seolah-olah menyatu di bagian atasnya sehingga jika kita amati dari kejauhan terlihat semacam canopy.
Kawasan bambu tersebut terkesan basah dan sejuk. Pengunjung yang berada di sana cukup banyak. Semakin siang, semakin banyak wisatawan yang mengunjungi termpat ini.
Oleh karena itu jika kita ingin mengambil foto tanpa ada orang lain di belakang kita, jadi agak susah. Sebaiknya memang datang pada pagi hari, pasti lebih nyaman!
Setelah puas mengagumi keindahan hutan bambu tersebut kami pun memutuskan untuk kembali karena hari sudah semakin siang dan jumlah pengunjung pun semakin banyak.
Kami berjalan kembali ke setasiun sambil mencari restoran untuk makan siang. Di dekat stasiun ternyata ada tempat makan di dalam gedung dan di luar. Saya memilih untuk makan di restoran yang ada di dalam gedung, sementara teman saya lebih memilih untuk makan di luar. Jadilah kami berpisah sejenak.
Saat saya masuk ke dalam gedung saya mendengar denting piano yang dimainkan oleh seorang laki-laki. Rupanya piano tersebut memang disediakan di sana dan siapa pun yang ingin memainkannya boleh memainkannya.
Sambil menunggu makanan yang saya pesan, saya mendengarkan alunan suara piano yang dimainkan oleh salah satu pengunjung restoran. Tidak lama menunggu, makanan yang saya pesan datang. Setelah selesai makan, saya pun keluar untuk menemui teman saya yang ada di luar.
Hari itu panas sekali dan ketika teman saya mengatakan ada chestnut ice cream, saya pun segera memesannya. Rasanya tidak begitu manis dan kita bisa merasakan chestnut-nya yang cukup kuat. Setelah itu kami sepakat untuk kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak. Namun, ketika tiba di Kyoto station, kami melihat ada sebuah acara yang sedang digelar di lantai atas. Kami pun penasaran dan segera naik ke lantai atas.
Ternyata memang sedang ada acara. Ada suguhan nyanyian, tarian, dll. Kami menonton dari rooftop karena penasaran ingin tahu di sana ada apa. Dari rooftop kita bisa melihat pemandangan kota Kyoto, dan Kyoto Tower telihat dengan jelas. Setelah puas, kami kemudian kembali ke hotel.Â
Kami sempat tidur sebentar dan sekitar jam 4 sore kami pergi ke distrik Gion. Kami naik bus ke kawasan Gion. Saya penasaran dengan tempat ini karena foto-foto yang saya lihat sangat unik dan bagus. Namun, saat tiba di sana ternyata tidak sama seperti yang ada di foto. Memang di kiri kanan jalan terdapat 'tea houses' dan restoran yang masih tutup saat itu. Di setiap sudut jalan ada peringatan larangan untuk mengambil foto, tapi nampaknya para wisatawan tidak peduli (saya pun ikut mengambil foto walau agak ragu-ragu dan tidak mengambil banyak foto di tempat ini).
Rupanya daerah tersebut adalah daerah pemukiman dan tentunya mereka tidak nyaman jika rumah mereka difoto. Selain itu hal ini juga akan mengganggu jika para pengunjung mengambil foto di jalan, apalagi sampai ke tengah jalan. Ini tentu saja akan menghalangi kendaraan milik penghuni yang keluar masuk kawasan tersebut.
Di kawasan ini kami berjalan terus sepanjang jalan hingga ujung jalan. Di situ ada halaman luas dan kami menemukan sebuah kuil yang bernama Kennin-ji temple.
Saat kami tiba di sana sudah pukul 5 sore dan kuil itu baru saja menutup pintu pintu masuknya. Namun kami masih boleh berkeliling kuil dan melihat-lihat dari luar. Kayu-kayu yang digunakan begitu kokoh, pintunya besar dan atapnya juga melengkung indah.Â
Dari kuil kami menyusuri jalan-jalan kecil yang ada di sana. Semua tutup dan tidak ada satu geisha pun yang nampak. Namun ketika kami tiba di satu jalan kami melihat ada kerumunan orang dan sebuah taksi. Ketika saya mendekat ternyata ada tiga orang geisha yang keluar dari salah satu rumah dan nampaknya mereka akan pergi ke suatu tempat.
Sayang saya tidak sempat mengambil gambar mereka. Beberapa pengunjung yang ada di sana beruntung bisa mendapatkan foto ketiga geisha tersebut.
Setelah mereka berlalu dengan menaiki taksi, kami masih terus berjalan di jalan-jalan kecil di kawasan tersebut. Tea houses yang ada di kawasan itu belum buka, namun kami bisa mendengar ada kegiatan di dalamnya. Kami sempat juga menjumpai sebuah kuil lagi yang namanya saya lupa.
Setelah lelah berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di kawasan tersebut, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Malam itu kami makan di salah satu restoran yang ada di Kyoto station.
Di restoran ini kami harus memesan sendiri makanan yang kami inginkan dari mesin yang disediakan. Tidak sulit karena ada pilihan bahasa Inggris di situ.
Selain itu kita juga dapat menggunakan kartu ICOCA untuk membayarnya ... jadi jika kita tidak memiliki uang tunai, kartu ini sangat membantu (tapi harus ada isinya ya ... kalau tidak ada, ya sama aja boong 😀).
Selesai makan kami masih melihat-lihat barang-barang yang ada di toko-toko di stasiun tersebut. Lama-lama lelah juga, kami pun segera kembali ke hotel untuk membersihkan diri, merencanakan perjalanan keesokan harinya dan tentu saja tidur.
***
gmt030823
sumber foto: milik pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H