Mohon tunggu...
Genoveva Tersiandini
Genoveva Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - penggemar wisata dan kuliner

Pensiunan pengajar di sebuah sekolah internasional.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan ke Sumba (part 4): Menjelajah Bukit Hiliwuku, Aair Terjun Waimarang dan Menanti Matahari Tenggelam di Pantai Walakiri

23 Juli 2022   15:45 Diperbarui: 23 Juli 2022   15:53 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuda milik warga di sekitar hotel Padadita

Hari ini adalah hari terakhir kami di Sumba. Esok pagi kami harus kembali ke Jakarta. Acara hari ini masih sepadat hari-hari sebelumnya. Seperti biasa saya sudah terbangun pada jam 5 pagi. Saya coba menghubungi teman di kamar lain yang ternyata sudah bangun juga. Pagi itu kami berdua ingin berjalan-jalan di sepanjang pantai di dekat hotel. 

Kami pun menuju pantai yang letaknya di belakang hotel ... tapi ternyata pantai itu pantai yang ditumbuhi mangrove, jadi kami urungkan niat berjalan-jalan di pantai. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel. Pokoknya kami ikuti saja kemana kaki ini membawa kami. Akhirnya kami sampai di pantai dan bisa mendapatkan sisa-sisa sunrise. Tetap indah.

Kuda milik warga di sekitar hotel Padadita
Kuda milik warga di sekitar hotel Padadita

Selepas berkeliling di sekitar hotel kami kembali ke kamar masing-masing untuk mandi lalu kemudian sarapan karena hari ini kami masih harus mengunjungi beberapa tempat lagi sebelum akhirnya kembali ke Jakarta di pagi hari.

Setelah sarapan kami menunggu Alfons yang sedang mengisi BBM. Rupa-rupanya mereka harus mengantri untuk mendapatkan BBM. Jam 8:30 Alfons tiba dan kami segera berangkat menuju Bukit Hiliwuku. Seperti sebelumnya pemandangan yang kami dapatkan adalah bukit-bukit gersang namun indah. Karena sebelumnya kami sudah melihat bukit-bukit semacam itu, mata kami menjadi terbiasa. Kata-kata kagum yang hari sebelumnya meluncur bertubi-tubi dari mulut kami tidak lagi keluar. Pagi itu yang keluar dari mulut kami hanyalah celotahan dan canda tawa. Namun rasa kagum itu tetap ada di dalam hati kami.

Satu jam kami habiskan dalam perjalanan. Akhirnya kami tiba di sebuah warung (yang masih tutup). Kami pun turun dan mulai menapaki bukit-bukit gersang tersebut di bawah siraman panas matahari. Tentu saja kami gunakan kesempatan tersebut untuk bergaya dan berfoto. 

Matahari semakin tinggi dan panasnya pun semakin menyengat. Sesi foto kami akhiri dan kami kembali ke warung yang sudah buka. Kopi Sumba pun dipesan dan kami pun mulai berbincang-bincang dengan 'mama' pemilik warung. Saya tertarik dengan kalung khas Sumba yang dikenakannya. Rupanya itu kalung warisan sehingga ketika mau saya beli tidak diberikan. Harganya pun lumayan mahal. Menurut Alfons kalau mau beli bisa cari di penggadaian dan dijamin kalungnya asli bukan abal-abal.

Bukit Hiliwuku
Bukit Hiliwuku

Pemandangan di Bukit Hiliwuku
Pemandangan di Bukit Hiliwuku

Sesi foto di Bukit Hiliwuku
Sesi foto di Bukit Hiliwuku

Setelah puas berbincang dengan 'mama' pemilik warung kami melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya kami mencari kamar kecil dulu dan kami mampir di sebuah sekolah. Ketika kami tiba di sana, sekolah yang hanya memiliki 36 murid itu kosong. Hanya ada satu guru dan satu tenaga TU di sana. Kemana murid-muridnya? Rupanya mereka sedang mengambil air di sumur. Daerah ini memang susah air, jadi mereka harus mengambil air di tempat yang cukup jauh. 

Dari sekolah, kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun Waimarang. Sama seperti sebelumnya, pemandangan yang dapat kita nikmati adalah bukit-bukit gersang namun menawan. Sesampai di parkiran air terjun, kami langsung berganti pakaian karena kami ingin bermain air di air terjun. Perjalanan dari parkiran menuju air terjun sekitar 30 menit (trekking), medannya mudah karena jalannya menurun dan ada bonus di sana sini. Nah kalau sudah menurun begini maka perjalanan kembali ke parkiran yang harus dipikirkan karena akan menanjak tajam. 

Air terjun ini dikelilingi tebing. Kolamnya berwarna hijau tosca dan tidak dalam. Air terjunnya tidak tinggi tapi tetap bagus dan airnya dingin. Secara pribadi saya merasa air terjun ini biasa saja apalagi jika dibandingkan dengan air terjun Tanggedu yang kami kunjungi hari sebelumnya. Tapi tetap saja indah. Di sini kita bisa mencebur dan berenang di kolam. Saat berenang di kolam, kami merasa bahwa curahan air terjun semakin kecil, tidak sederas saat kami pertama kali nyemplung. Heran juga, entah apa penyebabnya. Setelah puas berenang dan berfoto-foto, kami pun akhirnya naik. Lumayan juga naiknya karena hampir sebagian trek menanjak terus.

Air terjun Waimarang
Air terjun Waimarang

Tebing di kiri kanan air terjun Waimarang
Tebing di kiri kanan air terjun Waimarang

Menikmati berenang di air terjun Waimarang
Menikmati berenang di air terjun Waimarang

Air berwarna hijau tosca yang segar dan dingin
Air berwarna hijau tosca yang segar dan dingin

Tiba di parkiran kami langsung mandi dan kemudian makan siang. Di sana kita juga bisa membeli kelapa muda. Setelah makan perjalanan kami lanjutkan menuju pantai Walakiri. Di tempat ini ada pohon mangrove yang sering dijadikan spot foto saat matahari terbenam. 

Saat turun dari mobil, kami mendengar musik di kejauhan. Badan ini langsung bergoyang.Tidak jauh dari tempat kami memarkir mobil, kami melihat ada sekelompok orang sedang menari dalam lingkaran. Tanpa sungkan kami pun menuju ke sana dan bergabung dengan mereka. What a trip. Menari bersama dengan penduduk lokal dan pengunjung lain, istimewa sekali rasanya.

Salah seorang teman segera mengajak kami pergi ke pantai sebelum pantai menjadi ramai saat matahari terbenam. Kami pun segera menuju pantai dan sesi foto pun dimulai. Kami beruntung karena belum banyak orang yang berkumpul di sana sehingga pantai seolah milik kami karena kami bebas mengambil gambar tanpa ada 'kebocoran'. Suasana sunset di sana indah sekali. Namun, menurut teman yang pernah ke sana tahun 2016, jumlah pohon mangrove yang biasa digunakan untuk berfoto semakin berkurang. Sekarang tinggal tersisa dua atau tiga saja. Kalau memang benar, sayang sekali. Seharusnya pohon-pohon tersebut dirawat dengan baik.

Pohon mangrove di pantai Walakiri
Pohon mangrove di pantai Walakiri

Tak pernah mati gaya
Tak pernah mati gaya

keindahan pantai saat sunset
keindahan pantai saat sunset

sendiri ...
sendiri ...

Setelah puas menikmati sunset kami kembali ke kota Waingapu untuk membeli oleh-oleh, kemudian makan malam di pelabuhan. Jam 9 malam kami kembali ke hotel untuk beristirahat karena keesokan harinya kami harus terbang pada jam 6:30. 

Sumba memberi kesan mendalam pada kami bertiga. Sampai saat ini (saat menulis tulisan ini) saya masih belum bisa move on dari Sumba. Terlalu banyak kenangan indah yang ditorehkan Sumba pada kami. Keramahan penduduk yang kami jumpai,  kegembiraan anak-anak Sumba saat mendapatkan biskuit yang tidak seberapa nilainya, kegilaan-kegilaan kami selama perjalanan, pemandangan indah yang kami lihat di sepanjang perjalanan, pengetahuan baru yang kami dapatkan dan tentu saja kebaikan dan kesabaran pemandu kami yang membawa kami berkeliling Sumba. Jika memungkinkan saya ingin kembali ke sana.

gmt 23/7/22

foto-foto: koleksi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun