Seperti yang sudah saya ceritakan di bagian dua tulisan ini, pada hari kedua di Sumba kami menginap di Morinda Villa dan Resto di Waingapu. Lokasinya sekitar 15 menit dari pusat kota Waingapu. Tempatnya tenang dan masing-masing villa memiliki teras dengan pemandangan ke arah bukit atau sungai. Kami mendapatkan villa yang menghadap ke arah sungai. Pada pagi hari pemandangannya indah sekali, apalagi saat matahari mulai terbit.
Kami terbiasa bangun pagi karena harus berada di kantor pada pagi hari, sehingga ketika sedang berlibur pun kebiasaan tersebut terbawa. Oleh karena itu pada pagi hari kami sudah bangun dan kami gunakan kesempatan itu untuk menikmati keindahan alam di sekitar penginapan. Awalnya kami ingin ikut trekking atau naik perahu di sungai, tapi keinginan itu kami urungkan. Sebagai gantinya kami gunakan untuk menunggu matahari terbit dan berjalan-jalan menyusuri sungai serta melihat-lihat perkampungan yang ada di dekat tempat penginapan. Kami sempat bertemu beberapa penduduk setempat dan ngobrol sejenak. Mereka dengan ramah menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dan terkadang kami bercanda juga karena apalah arti hidup ini kalau tidak disertai canda tawa :)  Kesempatan-kesempatan seperti ini yang menjadikan perjalanan menjadi sesuatu yang memorable. Selain itu interaksi dengan mereka membantu kita mempelajari kebiasaan dan budaya di masyarakat tersebut.
Seperti biasa setelah puas menjelajah di sekitar penginapan kami mandi lalu sarapan karena perjalanan hari ini cukup jauh dan akan memakan waktu cukup lama. Selesai sarapan, Alfons yang sudah berada di sana segera memasukkan barang-barang kami ke dalam mobil karena kami akan pindah hotel lagi. Setelah semuanya masuk mobil, perjalanan menuju Purukambera pun dimulai.
Kami menikmati pemandangan savannah yang menakjubkan. Setiap kami melihat perbukitan kami selalu takjub. Kata-kata seperti 'wow', 'gila', 'amazing' tak henti-henti keluar dari mulut kami. Benar-benar indah. Terkadang kami melihat kuda liar  atau sapi sedang merumput. Pada hari itu tidak banyak jumlahnya, tapi pemandangan tersebut selalu membuat kami berdecak kagum. Tidak mau kalah dengan orang-orang yang pernah mengunjungi Sumba dan berfoto di sana, kami pun tidak lupa mengabadikan momen-momen indah tersebut. Di bawah terik matahari kami berpose dengan berbagai gaya. Genit, cuek, lebay, pecicilan ... semuanya ada. Akhirnya karena panas matahari semakin menyengat kami segera menyelesaikan sesi foto tersebut dan melanjutkan perjalanan menuju air terjun Tanggedu. Jalan yang kami lalui berkelok-kelok dengan pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan.
Sebelum sampai di Tanggedu kami menemukan pemandangan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kami pun turun kembali dan mulai berfoto-foto lagi padahal panas matahari sudah semakin menyengat. Inilah keuntungan pergi dalam grup yang sangat kecil karena kami bisa berhenti di mana saja dan kapan saja. Setelah puas berfoto, kami segera menuju Tanggedu dan ternyata tidak begitu jauh dari tempat tersebut. Sesampai di kawasan Tanggedu, beberapa ojek sudah berjejer untuk menawarkan jasa pengantaran sampai ke titik terakhir sebelum kita turun ke bawah ke arah air terjun. Namun kami memilih untuk berjalan saja karena kami masih kuat  dan sudah biasa jalan kaki. Nah, perjalanan menuju tempat parkir ojek sebelum tangga turun ini agak menyakitkan karena kami harus berjalan (trekking) di padang gersang di bawah terik matahari. Jaraknya tidak jauh tapi panasnya itu yang membuat kami lelah. Dari parkiran ojek kami harus menuruni anak tangga menuju air terjun. Sebenarnya waktu tempuh yang diperlukan dari tempat parkir ke air terjun hanya sekitar 25-30 menit saja, tentu saja tergantung pada kecepatan kita berjalan, namun terik matahari yang membuat perjalanan terasa seolah sangat lama.
Sebelum mencapai air terjun kita bisa mendengar deburan air, dan sesampai di tangga terakhir kita bisa melihat kolam air berwarna hijau tosca. Di bagian kiri bisa kita lihat air terjun yang cukup besar namun tidak terlalu tinggi. Di bagian lain kita dapat juga melihat beberapa air terjun kecil. Air terjun ini bertingkat-tingkat. Â Indah sekali karena airnya yang berwarna hijau tosca. Setelah beberapa saat memandang padang savannah dan diterpa panas matahari nan terik, pemandangan air terjun Tanggedu benar-benar memberi kesegaran. Rasanya segar sekali saat kita bisa menyentuh airnya yang dingin. Selain itu tebing-tebingnya dengan relief-reliefnya sangat indah dipandang. Jika Anda pernah ke green canyon di Pangandaran, tebing-tebingnya mirip sekali tapi Tanggedu lebih menawan dan indah.Â
Pengunjung yang berada di air terjun tersebut cukup banyak karena hari itu adalah hari Minggu, tapi untungnya tidak terlalu ramai sehingga kami masih bisa menikmati keindahan alam tersebut dengan tenang tanpa gangguan.
Sekitar satu jam kami berada di sana, kami lalu kembali naik menuju parkiran. Matahari semakin terik memancar, tapi kami jalani saja semuanya dengan ceria. Awalnya kami akan makan siang di parkiran, sebelum melanjutkan perjalanan ke Bukit Wairinding. Namun, kami memutuskan untuk makan siang di pantai yang letaknya tidak jauh dari lokasi air terjun. Di sepanjang perjalanan kami menyaksikan beberapa padang savannah dengan beberapa kuda, sapi dan kambing yang berkeliaran. Sesampai di pantai kami mencari tempat yang teduh agar kami dapat terlindung dari panas matahari. Kami pun menikmati makan siang kami dengan lahap.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju bukit Wairinding. Seperti perjalanan sebelumnya, di kiri kanan kami terbentang savannah luas. Kadang hanya ada beberapa pohon yang terlihat di situ, kadang kita juga bisa melihat banyak kuda sedang merumput, bahkan ada pula yang berteduh di bawah pepohonan yang jumlahnya tidak banyak. Ada pula segerombolan sapi atau kambing yang sedang rebahan sambil makan rumput. Untuk mengusir rasa kantuk, kami terus menerus bercanda di dalam mobil. Ada saja yang kami bicarakan dan mengundang tawa. Perjalanan yang memakan waktu lama ini terasa cepat karena candaan kami.
Pada jam 5 sore kami tiba di bukit Wairinding. Saat turun dari mobil udaranya cukup sejuk. Enak sekali. Kami mulai menapaki jalan setapak menaiki bukit. Di sini sekelompok anak mulai mendekati kami dengan membawa kuda mereka. Mereka menawarkan kuda-kuda mereka untuk kami tunggangi atau sekedar berfoto bersamanya. Satu anak perempuan terus menempel saya. Dia menawarkan jasa untuk mengambil gambar saya dengan bayaran serelanya. Dia ceritakan tentang jarak yang harus dia tempuh untuk mencapai sekolahnya, apa pekerjaan orang tuanya dan banyak lagi. Walaupun sudah saya tolak, dia tetap mengikuti saya. Sudah tentu hal ini membuat saya merasa iba padanya. Pada akhirnya sebelum kami meninggalkan bukit Wairinding, saya minta dia untuk mengabadkan gambar kami.
Pemandangan di bukit Wairinding ini indah sekali. Kita bisa melihat bukit-bukit dan lereng-lerengnya dengan jelas. Tak henti-henti decak kagum meluncur dari mulut kami. Karena matahari terbenam sekitar jam 6, maka sambil menunggu, kami menikmati pemandangan yang memesona yang ada di hadapan. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu datang juga.Pemandangan yang disajikan sangat indah. Semua itu masih tersimpan di dalam memori yang lebih indah daripada jepretan kamera.
Hari mulai gelap dan kami pun meninggalkan bukit Wairinding dengan kenangan indah menuju hotel Panindita di Waingapu. Sebelum sampai ke Waingapu kami berhenti untuk makan malam. Kami berhenti di sebuah restoran dan ketika kami tiba di sana ada sekitar 20 anak sedang bernyanyi di restoran tersebut. Mereka menyanyikan lagu pujian. Suara mereka indah sekali. Rupanya anak-anak tersebut terdiri dari anak-anak SMP dan SMA yang dibawa ke sana oleh pasangan Korea yang sudah tinggal di Sumba selama dua tahun. Anak-anak ini diasuh oleh pasangan tersebut. Â Sebelumnya mereka tinggal di Bandung selama 10 tahun, tetapi Pak Choi terobsesi untuk pergi ke Sumba dan membantu anak-anak yang kekurangan di sana. Kami kagum dengan usaha mereka. Mereka benar-benar menunjukkan rasa cinta mereka terhadap anak-anak itu. Mulia sekali mereka, saya salut pada mereka.Â
Kebetulan salah satu staf Pak Choi dan ibu Lee baru saja kembali dari pulau Nias dan dia membawakan duku. Ibu Lee membagikan duku kepada kami, disangkanya kami tidak tahu dan belum pernah melihat duku. Waktu saya katakan 'duku' dia heran dan berkata 'oh sudah tahu duku ya ...'. Rupanya anak-anak asuhnya belum pernah melihat dan mencoba duku, demikian juga Alfons pemandu kami. Jadi itu pertama kali mereka mencoba duku dan nampaknya mereka suka karena memang dukunya enak dan manis.
Setelah mereka pulang, kami masih tinggal di restoran tersebut dan tak lama kemudian ada 'live music'. Kebetulan sekali lagu-lagu yang dinyanyikan tidak asing bagi kami, jadi kami memutuskan untuk tinggal lebih lama dan ikut serta bersenandung. Bahkan kami pun menari . Karena kami duduk di luar (out door), kami bebas menari sepuasnya. Sementara pengunjung yang lain hanya duduk manis sambil menikmati makanan mereka. Alfons sampai malu melihat tingkah kami. Menurutnya ini kali pertama dia membawa tamu yang tidak punya malu seperti kami. Ketika kami tepuk tangan saat satu lagu selesai dinyanyikan dia kelihatan malu, dia mengatakan kalau hal tersebut tidak pernah terjadi di Sumba. Aduh ... itu adalah bentuk apresiasi kami terhadap penyanyi yang sudah melantunkan lagu dengan baik. Dia bahkan menyanyikan beberapa lagu permintaan kami. Tapi kami tidak peduli :)
Mengingat hari sudah semakin malam, akhirnya kami putuskan untuk kembali ke kota untuk check in di hotel. Kami benar-benar perlu membersihkan diri. Kami juga perlu beristirahat. Esok hari kami masih akan melakukan perjalanan panjang lagi. Perjalanan selanjutnya akan saya ceritakan di bagian lain.
gmt 22/7/22
foto-foto: koleksi pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI