Hari kedua di Sumba kami bangun agak siang karena perjalanan baru akan dimulai pada pukul 8 pagi. Setelah packing kami sarapan dulu di hotel sambil menunggu Alfons datang menjemput.Â
Rupanya Alfons tiba agak terlambat karena dia harus mengantri BBM terlebih dahulu. Nampaknya membeli BBM di sana tidak mudah seperti di pulau-pulau besar yang ada di Indonesia. Akhirnya pemandu kami tiba pada jam 8:30 dan barang-barang yang kami bawa segera dimasukkan ke dalam mobil. Perjalanan kami mulai kembali. Hari ini kami akan menempuh perjalanan yang cukup panjang.
Tujuan pertama kami adalah mengunjungi pantai Mandorak, masih di Sumba Barat Daya. Jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel. Ketika tiba di sana, dari parkiran saya melihat ada semburan dari celah-celah karang. Awalnya saya pikir ada air mancur atau gas atau semacamnya. Ketika saya tanyakan kepada pemandu kami, dia mengatakan bahwa itu adalah ombak.Â
Tentu saja hal itu menarik perhatian saya dan saya langsung jalan menuju semburan air itu. Rupanya ombak yang menghempas di karang masuk ke dalam karang, karena ada tekanan yang besar maka dia keluar dari celah tersebut seperti air mancur.Â
Jika ombaknya besar maka semburannya semakin besar, tapi jika kecil maka ombak yang keluar hanya buih-buih air saja. Suaranya pun keras. Sesuatu yang baru untuk saya.
Ketika sedang menunggu ombak datang untuk diabadikan, muncullah beberapa anak. Ada yang menempel terus dengan kata-kata yang diulang-ulang.Â
Seorang anak perempuan Sumba yang selalu mendekati saya mengatakan "Bunda cantik, nanti bunda saya ambil foto. Nanti bisa panorama dan nanti kalau foto bunda angkat dagu sedikit lalu pegang kacamata. Bunda bisa kasih saya serelanya, kalau tidak kasih juga tidak apa. Nanti kami juga bisa menyanyi".Â
Kata-kata itu dia ulang terus, dan jujur bosan juga saya mendengarnya. Rupanya anak lain pun mengatakan hal yang sama kepada teman-teman saya yang lain.Â
Jadi ada anak yang menawarkan jasa memotret, ada juga yang menawarkan kelapa muda. Rupanya mereka berbagi peran. Kasihan juga sebetulnya tapi jika kita biasakan memberi mereka uang, itu pun tidak baik untuk mereka. Mereka akan tumbuh sebagai peminta-minta nantinya.
Cukup lama saya menunggu semburan ombak besar datang. Â Namun setelah menunggu 5 menit belum juga saya dapatkan semburan besar yang bisa saya abadikan. Akhirnya saya pun berjalan menuju pantai. Pantainya kecil tapi indah sekali. Airnya berwarna hijau tosca dan pasirnya putih. Cantik sekali dan masih bersih.Â
Tentu saja kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto di pantai ini. Setelah puas bermain air di pantai, kami berpindah tempat. Agak naik sedikit ada sebuah rumah adat yang cukup besar.Â
Dari situ kita juga bisa melihat pemandangan laut. Sedikit menjorok ke laut kita bisa berjalan di bebatuan karang dan kita bisa melihat pantai Walaikeri dari situ dengan airnya yang hijau tosca dan pasir putihnya. Keren pokoknya.
Selama foto-foto, kami selalu diikuti oleh anak-anak yang mendekati kami sejak kami tiba. Saat sedang foto-foto di rumah adat, mereka tiba-tiba duduk bergerombol dan mulai menyanyikan lagu sekolah Minggu. Ketika kami kembali ke tempat parkir, mereka pun mengikuti kami dan langsung duduk berjejer. Rupanya ini sudah menjadi ritual bagi mereka karena mereka mengharapkan pemberian dari para pengunjung.Â
Biskuit dan permen yang sudah kami sediakan kami bagikan kepada mereka. Terenyuh juga hati ini melihat mereka dengan lahap menyantap pemberian kami yang tidak seberapa itu.Â
Ada rasa menyesal kenapa kami tidak membeli roti yang bisa mengenyangkan mereka. Sedih rasanya melihat pemandangan seperti ini apalagi jika kita lihat anak-anak di kota-kota besar sering tidak menghargai makanan yang diberikan pada mereka.Â
Setelah berpamitan pada anak-anak tersebut, perjalanan kami lanjutkan menuju Weekuri Lagoon (Danau Asin Weekuri). Jarak dari pantai tidak jauh sehingga kami cepat tiba di tempat tersebut. Ketika kami melihat danau tersebut, kami tak henti-hentinya berdecak kagum melihat pemandangan yang ada di hadapan kami. Indah sekali. Air berwarna hijau tosca membuat kami ingin mencebur di kolam tersebut.Â
Beberapa orang kami lihat sudah berenang di danau tersebut. Hal ini membuat kami tergerak untuk segera berganti pakaian dan kemudian ikut berenang. Airnya asin dan dingin. Arusnya cukup deras jadi kami harus berhati-hati. Di bagian agak ke tengah banyak terdapat bulu babi.Â
Saya tidak lama berenang di danau tersebut karena airnya asin, sehingga saya putuskan untuk segera naik. Karena di daerah tersebut susah air, maka setiap orang hanya disediakan satu ember air tawar  dengan harga sepuluh ribu rupiahnuntuk membilas badan. Alhasil, badan masih terasa lengket dan bau amis.
Dari Weekuri perjalanan kami lanjutkan ke desa adat Praijing di Sumba Barat. Perjalanan memakan waktu kurang lebih satu jam lebih. Ketika tiba di Praijing kami rasakan udaranya lebih sejuk.Â
Kami harus berjalan dari parkiran ke desa adat tersebut dan jalannya cukup menanjak. Sesampainya di desa adat tersebut, kami menaiki beberapa anak tangga untuk melihat keindahan desa adat dari atas. Indah sekali.Â
Di sana kami ditawari untuk mencoba baju adat. Kami pun kemudian mencoba mengenakan baju adat Sumba, lengkap dengan aksesoris kepala dan gelang. Tentu saja kami gunakan kesempatan ini untuk mengambil gambar sebanyak mungkin karena kami tidak tahu kapan kami bisa berkunjung lagi ke Sumba.Â
Setelah puas berfoto dengan latar belakang rumah adat yang berada di bawah, dengan masih menggunakan baju adat, kami mengunjungi desa di bagian atas.Â
Di situ kami mengunjungi salah satu rumah. Dinding teras rumah tersebut dihiasi tanduk kerbau yang jumlahnya mencapai 23 buah dan banyak taring babi. Hiasan ini menunjukkan status dari penghuni rumah tersebut. Saya pun berbincang dengan salah satu penghuni rumah yang ternyata bekerja sebagai seorang guru, Meri namanya.Â
Dia seorang sarjana dari sebuah universitas di Bali. Dia manawari saya melihat-lihat bagian dalam rumah. Di bagian bawah rumah terdapat ruangan terbuka tempat menyimpan peralatan upacara dan juga terdapat kandang babi.
Kami sempat membeli beberapa cenderamata khas Sumba di rumah itu. Kami juga berkesempatan untuk bertemu dengan anggota keluarga lainnya.Â
Kami sempat ngobrol ngalor ngidul tentang 'belis' atau mahar yang biasa diserahkan oleh pihak lelaki pada pihak perempuan saat menikah. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan kami harus segera meninggalkan desa tersebut dan menuju Waingapu. Jarak yang harus kami tempuh masih jauh.
Untuk menuju Waingapu, kami berkendara melalui Sumba Tengah yang ternyata masih hijau, terdapat hutan dan subur. Menurut pemandu kami, di daerah tersebut air mudah ditemukan, tidak seperti di Sumba Barat Daya yang kesulitan mendapatkan air dan cukup gersang dan kering. Setelah beberapa jam berkendara, sampailah kami di Waingapu.Â
Sebelum ke hotel kami berhenti dulu di sebuah restoran (namanya saya lupa) dimana Pak Jokowi juga pernah ke sana saat mengunjungi Sumba beberapa waktu lalu.Â
Setelah makan kami langsung menuju hotel yang letaknya sekitar 15 menit dari kota Waingapu. Malam itu kami menginap di Hotel Morinda Waingapu. Udara di lingkungan hotel tersebut sejuk dan villa yang kami tempati mengarah ke sungai.Â
Karena sudah malam kami belum bisa menikmati keadaan alam di sekitar hotel tersebut, namun kami yakin pemandangannya pasti indah. Mengingat kami tiba di tempat itu sudah malam, maka kami segera membersikan diri dan kemudian beristirahat karena keesokan harinya kami akan mengunjungi tempat-tempat lain yang terletak di Sumba Timur.
gmt 21/07/22
foto-foto koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H