Bukanlah fenome yang baru, politik pecah belah ini sudah ada zaman kolonial, silahkan baca sejarahnya. Mungkin sedikit berbeda dari sekarang di mana politik pecah belah ini dimainkan bukan dari kolonial melainkan dari oknum penguasa yang mengatas namakan nasionalis.Â
Kita ketahui bersama bahwa ketidak akuran kelompok nasionalis sesungguhnya bukan kemauan sendiri, melainkan ada permainan busuk yang terselip di balik agenda - agenda organisasi yang tanpa kita sadari dapat memecahkan.
Buktinya pada kongres GMNI Â ke XX di Ambon kelompok - kelompok ini berhasil mencapai keinginan hawa nafsunya. Ini bukan soal GMNI si-A atau GMNI si-B, kita terlalu sempit terjebak di situ.Â
Kedua GMNI ini tidak bersalah hanya saja sangat disayangkan kita mudah menjual ideology mengatas namakan Marhaenisme untuk melukai tubuh organisasi.Â
Apakah perjuangan kita yang mulia ini hanya sebatas pangku kekuasaan politik ? Itu namanya ceroboh dan tidak melambangkan bagwa kita adalah seorang organisatoris yang baik.
Sebagai kader yang memiliki jati diri nasionalis sejati, sudah saatnya kita menyadari hal ini dan keluar dari keangkuhan kita, untuk menata kembali keterpurukan ini.Â
Bung Karno dengan kemampuan kharismatiknya menyatukan nusantara dan menitipkannya untuk kita anak cucunya. Seperti halnya yang dilakukan para founding father kita di GMNI kala itu ke tiga pimpinan besar dari 3 organisasi besar, mau melebur menjadi satu dan sekarang kita kenal dengan GMNI.
Apa yang dilakukan founding father kita mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan. Lantas kita hari ini meghancurkan semuanya. Kita tidak mampu menjaga warisan para pendahulu kita, tapi bangga dengan kebodohan kita.Â
Kita tidak mempunyai kekuatan analasis sistem politik yang kuat dalam membangun kejayaan organisasi, hal inilah yang menjadi masalah sehingga menjobloskan kita pada jurang kehancuran.
Di era ekosistem baru ini dapat kita lihat arus digitalisasi semakin berkembang biak, kita sebagai kader nasionalis harus mampu membidik ini sebagai suatu peluang bukan ancaman.Â
Lingkungan pergaulan tanpa batas cenderung membuat kita khawatir, sehingga tidak memiliki kapasitas lebih untuk mengorbitkan kader sebagai pemikir pejuang yang produkit melainkan kita malah mencetak kader hanya sebagai pengikut yang konsumtif  dan pragmatis.
Pelajaran politik harus kita dalami untuk mencapai apa yang di sebut bung karno dalam pidato satu juni yaitu "political independence", dengan demikian akan menjadi kekuatan kita untuk mencapai merdeka, GmnI jaya, Marhaen menang, jika tidak itu hanya menjadi slogan atau wacana liar yang kita kumandangkan hanya pada kegiatan-kegiatan serimonial organisasi.
Kita harus mampu memiliki ketajaman pisau analisis yang berasaskan marhaenime sehingganya kita mampu melahirkan gagasan-gasan produktif dalam meningkatkan kesiapan kapasitas kita menyambut era berganti.Â
Di sisi lain kita juga harus mampu menelisik realitas yang tergabung dalam sudut pandang bebeda dan menjadikannya suatu keseimbangan untuk terus mendayung bahtera GMNI ini agar tidak tenggelam.
Ini tugas kita bersama dalam menata, dan memperbaiki organisasi agar lebih baik ke depannya secara dinamis. Dialektika kita harus bertumpuh pada kemanusiaan sehingga tidak memicu kontraversi sudut pandang melainkan saling mengapresiasi dan memupuk semangat gotong royong sebagai tajuk utama dalam menciptakan lingkungan organisasi yang haromnis.Â
Tulisan saya ini berangkat dari refleksi dan kritik dalam membangun peradaban GMNI ke puncak ke-emasannya. Terus terang bahwa apa yang kita alami harus menjadi pelajaran penting, tapi tidak melehmakan kita sebagai insan pejuang dalam melakukan penyelaman mencari mutiara - mutiara revolusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H