"Aku ingin terbang," katamu.
"Nanti saja, ya. Tidak bisa sekarang," kataku.Â
"Kenapa? Apa karena aku sakit? Apa karena ada PPKM?" cecarmu.Â
"Eh... bukan begitu... maksudku...." Entah kenapa aku tak sanggup mengiyakan saja alasan yang kamu ungkapkan sendiri. Aku tak tega.
"Tuh, benar, kan! Karena aku kena Covid-19. Karena PPKM juga. Karena sekarang sedang masa pandemi. Aagh! Aku bosan!" teriakmu.
Lalu air matamu mulai menetes. Satu per satu. Kemudian jadi banyak. Hingga membuatku panik.
"Aduh.... Jangan menangis. Nanti sakitmu bertambah parah," pintaku sambil meraih tisu yang ada di atas meja. Sayangnya tanganku menyenggol barang-barang lain yang ada di atas meja. Tisu jatuh. Begitu pula dengan beberapa barang lainnya. Akhirnya aku malah sibuk membereskan barang-barang yang jatuh tersebut.
Tangismu bertambah keras, membuatku bingung harus bagaimana.
"Pokoknya aku mau terbang!!" teriakmu di sela isak tangis.
"Iya, iya. Pokoknya sembuh dulu ya," kataku, berusaha menenangkanmu. "Tolong jangan menangis lagi. Kalau sakitmu bertambah parah, kamu harus menginap di rumah sakit. Di sana aku tidak bisa ikut menjagamu. Kamu bakal sendirian. Sudah ya... berhenti menangisnya," bujukku.
"Aku ingin terbang. Terbang ke tempat yang indah. Ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Aku ingin sekali segera terbebas dari sakit ini. Aku ingin penyakit ini lenyap dari muka bumi," gumammu, masih terisak.
"Baiklah, kamu boleh terbang kalau sudah sembuh. Oke?" kataku sambil mengelap air matamu.
Namun... tiba-tiba sesak napasmu kambuh. Kau megap-megap. Aku mencari sesuatu di atas meja. Minyak kayu putih? Apa lagi? Seandainya kami punya tabung oksigen. Seandainya kami punya oksimeter. Semua tidak ada. Apa yang kami punya? Sepertinya tidak ada yang berguna! Aku kesal! Di saat itu aku berharap bisa terbang untuk mendapatkan pertolongan. Sungguh aku panik dan tak dapat berpikir. Apa yang harus aku lakukan??Â
Ah! Iya! Teknik pernapasan!
Kupapah tubuhmu. Menegakkannya sedikit. Kuambil beberapa bantal untuk mengganjal punggungmu. Lalu aku memintamu menarik napas.Â
Tapi... tidak berhasil!
Segera kuambil ponselku dan menelepon ambulans. Mobil datang tak lama kemudian. Tapi kondisimu sudah tak karuan. Ah, apa sebutannya. Aku ikut sesak.Â
'Tolong sembuhkan dia!' pintaku pada Yang Maha Kuasa.Â
"Aku ingin terbang," katamu sekali lagi. Terbata-bata. Wajahmu terlihat begitu pucat.Â
"Iya... kamu boleh terbang," jawabku sambil menangis.
Dan setelah itu, kamu benar-benar terbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H