Mohon tunggu...
Grant Gloria
Grant Gloria Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis untuk berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Mimosa pudica

22 November 2017   21:31 Diperbarui: 22 November 2017   22:05 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Mimosa pudica. Ingat, ya, dengan huruf p kecil, karena namaku adalah nama Latin. Arti namaku adalah bunga putri malu. Tapi tentu saja sebenarnya aku ini bukanlah tanaman pemalu seperti yang kalian pikirkan. Aku tidak sepemalu itu, kok! Aku malah sangat percaya diri.

Lihatlah diriku. Warnaku kuning. Tidak seperti bunga putri malu lainnya yang berwarna merah jambu. Aku beda. Dan juga, di sekitarku hanya ada bunga semak-semak yang berwarna putih dan daun-daun hijau yang kecil-kecil.  Tak menarik, menurutku. Karena itu, boleh kan aku berbangga diri karena aku lebih berwarna?

Saat ini aku berdiam tak jauh dari sebuah tiang listrik dan sebuah tiang telepon. Di sebelah kedua tiang itu ada jalan yang cukup lebar. Aku dan teman-teman semak-semakku tumbuh di sekitar kedua tiang tersebut.

"Hai teman-teman, kalian sudah dengar gosip terbaru belum?" tanya Acacia concinna, si rumput akasia.

"Gosip apa?" tanya Eclipta prostrata, si rumput urang-aring.

"Di tempat kita tumbuh saat ini akan dibuat jalan baru!" seru Acacia.

"Yang benar? Bukankah di sebelah sana sudah ada jalan? Kenapa harus dibuat jalan lagi?" tanya Eclipta.

"Jangan bohong kamu, Acacia! Gosip dari mana itu!" hardikku.

"Aku dengar dari Pak RT beberapa malam yang lalu. Saat itu kalian mungkin sudah tidur. Jadi kalian tidak mendengar percakapan antara Pak RT dan Pak Satpam. Mereka bilang, jalan yang sekarang terlalu sempit. Jadi akan dibuat jalan baru sehingga kendaraan bisa leluasa lewat," jelas Acacia.

"Huh? Yang benar saja! Jalan yang ada sekarang sudah cukup lebar untuk dilalui kendaraan!" dengusku, kesal.

"Itu karena ada kasus beberapa waktu yang lalu. Kalian tahu, kan tentang kecelakaan mobil yang menabrak tiang listrik? Di dekat kita ada tiang listrik dan tiang telepon. Pak RT khawatir kejadian yang sama akan terjadi di sini. Makanya akan dibuat jalan baru," ujar Acacia.

"Oh, tidak! Bagaimana nasib kita nanti? Jika benar demikian, kita pasti akan digusur!" keluh Eclipta.

"Hei, hei! Itu tidak akan terjadi! Kenapa mereka harus menyingkirkan kita? Apa mereka tidak tahu kegunaan kita? Di antara semua, aku yang paling cantik! Dengan adanya diriku di sekitar sini, lingkungan menjadi lebih asri, kan? Lalu kamu, Eclipta! Kamu urang-aring yang banyak manfaatnya. Ibu-ibu sering mengambil batangmu untuk mempercantik diri. Dan kamu, Acacia, kamu berguna untuk pembuatan sampo tradisional. Apa mereka punya alasan yang lebih masuk akal untuk menyingkirkan kita?" tanyaku.

"Tapi... kita tidak bisa melawan manusia....," keluh Eclipta lagi. Kali ini ia terisak. Lalu menangis tersedu-sedu.

Malamnya, aku tidak bisa tidur karena memikirkan nasib yang akan menimpaku dan teman-temanku. Eclipta benar. Namun, aku tetap yakin jalan baru tidak akan jadi dibuat. Mereka tidak bisa semena-mena seperti itu! Tidak boleh!

Keesokan paginya, kulihat seorang pria membawa tas ransel besar dan sebuah besi yang panjang. Ia lalu mengeluarkan sepotong besi tajam dari dalam ranselnya. Kemudian ada alat lain seperti motor penggerak.

"Oh, tidak! Penebas rumput!!" jerit Acacia.

"Ah, matilah kita!!" Eclipta ikut menjerit.

"Tidak! Tidak mungkin! Orang itu tidak akan menebas kita! Pasti ia bekerja di rumah penduduk sekitar sini!" seruku.

Tak lama kemudian orang itu menyalakan mesin yang dibawanya di punggung. Suara berderum terdengar. Gesekan antara besi pemotong dan tanaman-tanaman mulai terdengar. Sungguh memekakkan telinga. 

"Tidak! Kau tidak boleh menyingkirkanku!!!" teriakku.

Namun apa daya... Mesin pemotong rumput menebas tubuhku. Serpihan tubuhku berjatuhan di tanah. Begitupula dengan teman-temanku yang lain. Mesin itu menebas apapun tanpa ampun. Tak peduli dengan teriakan-teriakan kami. Habislah semua. Rata dengan tanah.

* * *

"Hei, kamu yang menyingkirkanku.... Ingatlah bahwa nanti aku akan kembali lagi. Akan ada lebih banyak Mimosa pudica di sekitar sini. Aku janji...."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun