Kata orang bijak, hubungan jarak jauh bisa berhasil asal ada komunikasi. "Yang penting ada komitmen dari kedua belah pihak; yakin bahwa hubungannya akan berjalan dengan baik, langgeng, dan aman-aman saja," katanya. Kata siapa? Kata Sang Bijaksana yang entah siapa itu.
Itulah yang mendasari hubunganku denganmu empat tahun yang lalu. Aku masih ingat pertemuan kita pertama kalinya. Waktu itu kita bertemu di sebuah pertemuan organisasi. Setelah bercerita panjang lebar, ternyata kamu adalah kakaknya teman seangkatan di kuliahku. Lalu kamu meminta nomor ponselku. Obrolan kitapun berlanjut hingga akhirnya kita jadian.
"Kamu mau kan jadi pacarku?" tanyamu di malam itu. Kamu spesial datang ke kotaku hanya untuk bertemu denganku, mengajakku makan malam, dan menyatakan perasaanmu. Padahal jarak tempat tinggalmu beratus kilometer jauhnya.
"Iya, Bang," jawabku sambil tersipu malu. Tentu saja aku tak menolakmu karena bagiku kau adalah pria yang baik. Walaupun kamu jadi anak kost di pulau seberang sana, kamu sangat telaten. Pernah suatu kali kamu membuatkanku masakan saat aku sakit. Waktu itu kamu masih tinggal di kota yang sama denganku dan kita belum jadian. Ketekunanmu membuatku luluh.
Ada perasaan sedih saat mengetahui kau dipindah-tugaskan ke kota seberang. Aku tak berharap kau bisa menjadi kekasihku karena kau tinggal di tempat yang jauh. Kupikir kau akan menemukan seseorang di sana dan melupakan aku. Ternyata dugaanku salah. Kau malah mengunjungiku dan mengambil cuti kerja. Siapa yang tega menolak kalau begitu?
"Janji, ya, kita akan saling menghubungi," katamu. Aku mengiyakan dengan anggukan kepala.
"Abang juga jangan bosan menghubungiku," kataku. Kaupun mengangguk-angguk tanda setuju.
Dua bulan berlalu, hubungan kita lancar-lancar saja. Kita saling berkirim foto; foto apapun mulai dari foto pemandangan, foto makanan, sampai foto wajah bangun tidur. Kadang-kadang kamu meneleponku menggunakan fitur video call. Komunikasi yang intens tidak membuatku merasa 'sendiri'. Istilah romantisnya: 'Walau tak ada kamu di sampingku, kamu akan selalu di hatiku.'
Memasuki bulan keenam, hubungan kita terasa hambar. Kamu sering sekali mengabaikan pesan dan teleponku. Alasanmu bejibun mulai dari tak ada pulsa, tak ada kuota, wifi macet, sampai sibuk urusan kantor. Apa dayaku yang masih kuliah saat itu? Aku ingin mengunjungimu namun rasanya sungkan untuk meminta uang pada orangtuaku. Â Aku hanya berharap apa yang kau katakan itu benar.Â
Teknologi yang canggih membuat informasi mudah didapat. Suatu ketika, aku iseng membuka akun media sosialku. Padahal biasanya aku sangat jarang masuk ke akun tersebut. Dari akun media sosialku, aku bisa melihat kau saling berkirim komentar dengan seorang perempuan. Perempuan itu memberi tanda suka di setiap status dan gambar yang kamu bagikan. Lalu, setelah aku mengecek akun perempuan itu, kamu juga melakukan hal yang sama dengan akunnya. Terselip kata-kata romantis dan panggilan sayang di kolom komentar kalian. Aku tak kenal siapa perempuan itu. Dari yang kulihat di bagian informasi akunnya, ia bukan berasal dari kotaku maupun kotamu.
Sakit rasanya hati ini. Aku kesal dan marah. Aku termakan api cemburu. Tanpa pikir panjang lagi, aku memutuskan hubungan kita melalui pesan singkat. Aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu. Karenanya kublokir nomor ponsel dan akun media sosialmu supaya kau tak lagi menghubungiku.
Kamu tak pernah mengunjungiku sekalipun sejak kita putus. Juga tak ada telepon darimu yang menggunakan nomor ponsel temanmu. Diam-diam aku merasa kecewa. Mungkin kamu sudah bersama perempuan itu. Tapi... Aku tak mau tahu. Aku tak ingin kepo dengan mengecek akun media sosial kalian. Segala hal tentangmu bukan urusanku lagi.
Empat tahun berlalu. Suatu ketika, aku mendapat undangan pernikahan dari teman seangkatanku. Dia adikmu. Aku tak begitu akrab dengannya. Tapi entah mengapa ia mengundangku. Karena sudah diundang, mau tak mau aku hadir di pesta pernikahannya dengan mengajak seorang teman, Nadia, yang juga seangkatan denganku. Kuharap kau sangat sibuk sebagai panitia di pesta itu hingga kita tidak bertemu. Namun takdir berkata lain.
"Lis, bukannya itu mantanmu?" tanya Nadia, temanku.
"Eh, apa?" jawabku, pura-pura tak kedengaran.
"Itu lho!" katanya lagi sambil menunjuk dirimu. Nadia tiba-tiba saja menghampirimu, mengobrol sebentar denganmu lalu menarik lenganmu, membawamu kepadaku.
"Kamu nggak lupa sama Bang Petrus, kan?" tanya Nadia sambil menyuruhmu berjabat tangan denganmu.
"Hai, Lis!" katamu sambil menjabat tanganku.
"Oh... Iya. Hai! Apa kabarmu, Bang?" tanyaku dengan canggung.
"Kabarku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" tanyamu. Kau melemparkan seulas semyuman padaku.
"Aku juga baik," jawabku.
"Eh, Lis, tahu nggak, Bang Petrus masih single, lho!" ujar Nadia dengan bersemangat. Entah apa maksud kawanku yang satu ini. Yang pasti kulihat wajahmu bersemu merah. Ada senyum yang dikulum dan kau sedikit tertunduk.
Aku menatap wajahmu, namun tak berani menatapmu lekat-lekat. Entah mengapa aku merasa wajahku panas. Apakah karena kita lama tak bertemu? Apakah karena perasaan itu masih ada? Jujur aku menyesali kelakuanku dulu yang kekanak-kanakan. Aku menyesal karena dulu aku sangat emosian dan cemburuan. Aku menyesal tidak meminta penjelasan darimu. Sungguh... Aku sangat menyesalinya.
Setelah itu kau pamit untuk berkumpul bersama keluargamu. Tak lama kemudian kulihat kau sibuk dengan kameramu. Sementara itu, Nadia asyik berceloteh tentang status jomblomu. Namun aku tak menggubrisnya karena aku sibuk memperhatikan gerak-gerikmu.
Malam hari sebelum tidur, aku membuka blokiran nomor ponselmu. Lalu aku masuk ke akun media sosialku untuk mencari namamu. Kulihat bagian informasi tentangmu. Single. Dan, tak ada nama perempuan itu di setiap gambar maupun statusmu. Beberapa temanmu berkomentar di fotomu dan mendoakanmu supaya cepat dapat jodoh. Melihat itu, akupun memberanikan diri mengirimkan pesan untukmu.Â
"Hai, Bang. Apakah kau baik-baik saja? Kulihat penampilanmu berubah. Kapan kamu pulang ke kost-anmu?" begitu tulisku.
Kau membalas pesanku keesokan sorenya. "Ya aku baik-baik saja. Masa, sih penampilanku berubah? Kayaknya biasa-biasa saja. Maaf baru membalas pesanmu. Aku baru saja tiba di kost. Rasanya capek sekali."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Baguslah sudah sampai di sana dengan selamat. Istirahatlah, Bang," tulisku lagi.
Jadi... Bisakah aku berharap kembali? Bolehkah aku berharap kita akan bersatu kembali? Satu senyuman... Satu jabat tangan... Kau sukses gagalkan move-on empat tahunku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H