“Maksudmu?”
“Tentu saja karena wanita gak harus kencing berdiri. Hahahaha!”
Kau memasang wajah sengit.
“Eh, gak lucu, ya? Ah, maafkan saya… saya hanya… saya hanya, kamu tahu, saya hanya berusaha untuk menutupi malu…”—menghela nafas panjang—“Oh, God!” Ia menutupi wajahnya yang memerah dengan sebelah tangannya, tersenyum kecut. “Oh ya, nama saya Randi!” Tiba-tiba ia memberanikan diri dan merasa inilah saatnya untuk mengulurkan tangan dan mengajakmu berkenalan.
Meski agak terkejut, tapi kau menyambut uluran tangannya dengan gembira. “Saya Dhira,” sahutmu. Kalian berjabatan tangan erat dan lama, seolah masing-masing memang telah lama menginginkan hal itu, dan saling menatap. Lama…
Bus yang kalian tunggu akhirnya datang. Kalian dan semua orang yang ada di halte itu menaikinya.
“Lucu ya, kita sudah sering bertemu di tempat itu tapi baru kali ini kita berkenalan.”
“Ya. Dan yang lucunya lagi, berkenalannya pun harus dimulai dengan insiden ‘sarang-burung-yang-terbuka’ itu. Hahahaha…”
Di atas bus yang berjalan, di bangku nomor dua dari deretan belakang kalian melanjutkan perbincangan kalian. Kalian berbicara tentang banyak hal; tentang pekerjaan masing-masing (tak diragukan lagi kantor kalian terletak di daerah perkantoran yang sama), tentang latar belakang singkat masing-masing, dan tentang-tentang yang lainnya… Yah, singkatnya kalian merasa saling cocok dan nyambung satu sama lain. Lalu berlanjut dengan saling menukar nomor handphone dan saling berjanji untuk bertemu lagi pada saat makan siang.
Benih-benih cinta di hati kalian kian tumbuh…
Beberapa hari setelahnya, di akhir pekan, lewat ajakan di obrolan telepon, kalian mulai berkencan. Dan banyak lagi kencan-kencan lainnya setelahnya.