“Kamu salah kalau beranggapan kalau gak ada orang di dunia ini yang peduli padamu… Saya peduli! Saya sayang kamu, Jingga! Saya tahu kita belum lama kenal, saya tahu mungkin saya gak sepantasnya mengatakan ini padamu… tapi, sa-saya rasa… saya gak bisa hidup tanpamu! Saya telah berkelana menjelajah waktu dan itu hanya untuk melihatmu tetap hidup…” Langit melangkah perlahan menghampiriku, matanya awas mengamati setiap inchi gerakanku.
“Sekarang, tolong, kemarilah! Kemarilah, Jingga! Demi Tuhan, menjauhlah dari pagar pembatas itu…”
“Apa itu benar? Ka-kamu dari masa depan...” tanyaku tak percaya, tak mengerti, juga kaget. “Jangan mendekat!”
“Baik! Ya, saya dari masa depan.” Langit berdiri diam sejenak, tapi tak lantas menyerah begitu saja. Sebisa mungkin ia tetap berusaha menggeserkan langkahnya sedikit demi sedikit untuk lebih mendekatiku. “Dan di masa depan duniaku seperti terbalik tanpamu…”
“He-hei… kamu gak sedang membodohiku ‘kan?”
“Tentu saja, mana berani saya melakukannya! Lihat, saya gak memakai helm ‘kan? Saya takut dijitak sama kamu…” Ia tersenyum hambar. “Bukankah saya sudah pernah bilang kalau saya akan ada untukmu? Kamu ingat, 'Just call my name and I'll be there' adalah lagu yang saya nyanyikan untukmu. Saya bersedia menjadi tong sampahmu, Jingga…” Kalah, karena melihat ketulusannya aku akhirnya membiarkan Langit menghampiriku sepenuhnya dan seketika ia langsung memelukku erat sekali, seolah tak akan melepaskanku lagi.
[bersambung…]
Kisah Langit Jingga (01)
Kisah Langit Jingga (02)
Kisah Langit Jingga (03)
Kisah Langit Jingga (04)
Kisah Langit Jingga (05)
Kisah Langit Jingga (06)
Kisah Langit Jingga (07)
Kisah Langit Jingga (08)
Kisah Langit Jingga (10 - Selesai)
>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H