Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Langit Jingga (06)

4 Agustus 2011   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu aku tak mengerti apa yang barusan diucapkan oleh profesor tua itu. Tetapi, keesokan harinya, ketika aku bertandang ke rumahnya, ia menjelaskan padaku sesuatu yang mencengangkan yang mungkin dapat menyelamatkan kisah cintaku…

***

Profesor Haris tinggal di sebuah rumah besar dengan halaman luas di sebuah lingkungan yang tenang. Aku tak menyangka sebelumnya ternyata profesor tua itu begitu kaya. Begitu menekan bel di muka pagar sebuah suara tegas menyapaku dan menanyakan siapa diriku lewat interkom yang menempel di dinding pagar. Kujawab kalau aku adalah pemuda yang menolong Profesor Haris kemarin. Suara itu lantas mengatakan kalau Profesor Haris memang telah menungguku, kemudian pintu pagar pun membuka secara otomatis.

Aku melangkah masuk ke dalam, kutinggalkan trukku di luar. Hamparan rumput hijau yang luas dan tertata rapi menyambutku di sepanjang jalan menuju serambi rumah. Seorang perempuan Jawa berusia separuh baya berdiri di depan pintu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pembantu di rumah itu. Rupanya dengannya-lah tadi aku berbicara di interkom. Tak ingin membuang waktu ia pun mempersilakanku masuk dan mengantarkanku melewati sebuah tangga yang menuju ke basement alias ruang bawah tanah. Di sanalah Profesor Haris tengah sibuk bekerja di depan komputernya.

Penilaian pertamaku, tempat itu luas, agak gelap, sekaligus berantakan. Di atas meja kerja sang profesor terdapat tumpukan kertas yang berantakan dan berisi gambar-gambar aneh disertai coretan rumus-rumus yang tak kumengerti. Beberapa dari tumpukan kertas itu sepertinya berakhir di sebuah keranjang sampah yang menggunung di sudut ruangan. Tulisan di badan keranjang sampah itu, di atas kertas putih yang menempel, jelas mengatakan: BEBERAPA IDE TIDAK BOLEH LANGSUNG DIBUANG, sehingga wajarlah, menurutku, bila tak ada yang berani membersihkannya selain si empunya sendiri. Lanjut, pengamatanku menemukan sebuah lemari tinggi seukuran lemari pakaian di sudut lain ruangan. Lemari itu seluruhnya terbuat dari kaca yang tebal—hal ini mengingatkanku pada boks telepon umum zaman dulu. Hanya saja di atas lemari itu terdapat rangkaian kabel-kabel sebesar lengan yang merayap ke langit-langit ruangan yang gelap, kemudian menurun dan berakhir di sebuah saklar bertegangan tinggi. Bekerja di tempat pengap seperti ini, wajar saja membuat Profesor Haris tak sempat menyisir rambutnya selama bertahun-tahun, gumamku dalam hati.

“Maaf, Tuan,” si pembantu wanita menghampiri majikannya, “Tamu yang Tuan tunggu sudah datang.”

“Ah, baiklah. Terima kasih. Kamu boleh pergi,” sang tuan rumah memutar kursinya dan tersenyum menyambutku. “Selamat datang, Anak Muda—ah, maafkan saya, siapa namamu kemarin?”

“Langit,” sahutku.

“Ya! Baik sekali kamu mau datang ke laboratorium sederhana saya ini, Langit.”

“Jadi itu fungsi mug bertuah Kakek kemarin?” Aku melirik sebuah mug yang kutemukan dari si pemuda berandalan kemarin berisi setengah cairan kental hitam yang hangat di atas meja kerja sang professor, mengejek.

“Kopi, ah, tentu saja! Ini adalah mug favorit saya yang senantiasa menemani saya bekerja. Mug ini merupakan hadiah dari almarhumah istri saya—oh ya, itu cerita lain lagi. Tapi, kamu pasti bertanya-tanya, yang membuatnya lebih spesial lagi adalah mug ini merupakan satu-satunya benda di tempat ini yang telah berhasil berkelana menembus waktu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun