“Kamu sudah bangun, Bu?” tanya Ayah tanpa menoleh ke belakang. Sekarang Ibu tahu Ayah sendirilah yang membuat kopi itu. Kebiasaan Ayah memang suka ngopi di pagi hari. “Cepat buatkan aku sarapan! Aku kelaparan,” pintanya.
Ibu tercenung. Setengah sadar, di antara kantuknya, ia masih dihinggapi perasaan ngeri mengingat kejadian semalam. Ia menanti dengan penuh minat Ayah berbalik dan hendak melihat matanya.
Mata hitam itu… mata yang mengerikan! batin Ibu. Apa semalam itu benar-benar Ayah…?
“Bu?” Ayah telah selesai menyisir. Ia telah mandi dan berpakaian rapi. Ia berbalik sekarang, dan…
“Ibu kenapa bengong sih?” Ayah menatap Ibu. Ibu menelan ludah dan perlahan wajahnya berubah cerah. Kedua mata Ayah ternyata telah kembali seperti semula. Mata yang hangat dan senantiasa menatapnya penuh cinta, seperti ketika pertama kali mereka berjumpa dulu. Dari mata itu Ibu tahu akan kesungguhan cinta Ayah saat menghadap orangtuanya. Dari mata itu pula Ibu tahu kalau Ayah-lah orang yang akan menjadi suaminya, tempatnya bersandar membesarkan anak-anaknya.
Ayah mengerlingkan sebelah matanya, tersenyum lembut. Menggoda Ibu. Seketika membuat muka Ibu bersemu merah.
“Eh, iya—” Ibu gelagapan. “Oh ya, tapi bagaimana Ayah bisa keluar kamar?” tanyanya.
“Oh, itu… Ayah memanjat keluar dari jendela dan masuk lewat jendela dapur. Ibu ini bagaimana sih, masa’ suami sendiri dikunci di dalam kamar?”
“Ayah tidak ingat?” Dahi Ibu mengernyit.
[bersambung...]
Manusia Ulat Bulu (01)
Manusia Ulat Bulu (02)
Manusia Ulat Bulu (03)
Manusia Ulat Bulu (05)
Manusia Ulat Bulu (06)
Manusia Ulat Bulu (07 - Selesai)