“Karena Lana adalah temanku,” jawabku yakin.
“Teman?”
Robin seperti tersedak mendengarnya. Ah, ia tahu betul apa arti kata itu menurut versinya. Semua teman-teman yang dimilikinya dulu kini perlahan menjauh dan meningalkannya setelah keluarganya bangkrut dan jatuh miskin. Hanya BMW tua milik Ayahnya itu saja yang ngotot dipertahankannya untuk menjaga gengsinya, karena Robin benci naik angkutan umum dan ia tidak bergaul dengan orang-orang miskin. Aku pernah membaca di surat kabar perihal kebangkrutan perusahaan keluarga mereka beberapa waktu lalu. Setelah itu Ayahnya yang malang terkena stroke. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa dan menjadi pemurung. Seorang diri Robin berusaha menghidupi kedua orangtua dan adik-adiknya sekarang.
“Lalu kamu sendiri, sebenarnya apa yang kamu lakukan dengan Lana?” tanyaku ingin tahu.
“Hmm! Saya rasa saya hanya meminta sedikit bagian dari apa yang saya ketahui tentang bisnis sampingan Lana yang dilakukannya sejak kami pacaran waktu kuliah dulu.”
“Maksudmu kamu memeras Lana?”
“Tadinya saya meminta Lana untuk merubah kontrak tigapuluh persen atas klaim asuransimu menjadi empatpuluh persen. Saya pikir kamu pasti gak akan keberatan melakukannya demi Lana. Tapi Lana gak mau melakukan hal itu dan kami bertengkar. Saya butuh uang untuk membayar beberapa hal—tagihan-tagihan, kontrakan, dan juga perawatan Ayahku…”
[bersambung...]
Temanku Lana (01)
Temanku Lana (02)
Temanku Lana (03)
Temanku Lana (04)
Temanku Lana (05)
Temanku Lana (06)
Temanku Lana (07)
Temanku Lana (09 - Selesai)
>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI