Waktu keluar berita kalau Badak Hitam yang berasal dari Africa telah punah beberapa saat yang lalu, teman sekamar saya/koki pribadi/teman senasib selama di Jerman - Rachel betul-betul merasa devastated. Saya ingat dia bilang "aku tuh bingung mau gimana. Kayaknya kita gak bisa apa-apa buat lindungin mereka".
Sekitar satu minggu kemudian, saya dan Reika melakukan oral exam pelajaran Enviromental Communication berupa presentasi dari studi kasus Southeast Asia Haze 2015. Bencana kebakaran hutan yang tercatat paling parah sepanjang sejarah dunia yang disebabkan oleh palm oil companies yang berdomisili di Indonesia.
Sebelum masuk ruang ujian, saya mengirim Whatsapp ke Papa untuk menanyakan akhir dari kasus tersebut. Waktu membaca balasannya, saya dan Reika seperti kesambar petir disiang bolong. Gimana dong? kalau kita bilang kejadian sesungguhnya ke Professor kami dihadapan satu kelas, kalau ada usaha 'suap' untuk menutup kasus tersebut, kami tidak tahu lagi bagaimana Ibu Pertiwi  kami di lihat di mata orang-orang barat ini.. Kami berdua memutuskan menyembunyikan fakta kecil tersebut sampai akhir presentasi.
Pada kesimpulan, lecturer kami yang betul-betul kami idolakan, tersenyum tulus dan berkata "That's a great idea!! I hope you can put all of the things that you learned here back in your home country". Saat itu rasanya kaya kesayat. Bagian mana dari mahasiswa biasa, bisa punya power untuk mengubah negara yang pemerintahnya juga bermain dalam perusakan hutan negaranya sendiri? believe me, sampai saat ini kami masih bertanya-tanya.
Salah satu teman program Erasmus kami, ia berasal dari negara yang kalau dibandingkan budayanya dengan Indonesia mungkin bisa 11:12 kali yaa. Dalam cerita teman saya ini, ia mengatakan benar adanya kalau dunia itu tidak pernah adil. Kaya-miskin, kuat-lemah, dan yang ia lihat dari panggung politik negaranya yang jauh daripada bersih. Pokoknya ya sudah hukum alam kalau yang kurang beruntung itu dikendalikan hidupnya oleh yang punya uang.Â
Yang membuat saya agak shock adalah pendapatnya setelah itu. Kalau kita mau keadilan untuk mereka, kita harus berkuasa. Lebih besar dari yang kaya, dengan begitu, kita bisa mengobrak abrik mereka yang suka buat orang jadi susah.
Menurut saya, ada dua tipe orang yang melihat power dengan cara yang berbeda.
Orang pertama akan berkata "the best way to take control over a people and control them utterly is to take a little of their freedom at a time",
sementara ada orang kedua yang bisa berkata "i always knew i'd never be the next queen, because i lead from the heart not the head".
Orang pertama berhasil memimpin jutaan massa untuk mendukung ideologinya, orang kedua hanya bekerja sebagai guru taman kanak-kanak.Â
Orang pertama membangun 1200 concentration camp dan menghabisi nyawa 6.000.000 Â laki-laki, perempuan dan anak-anak karena alasan ras mereka. Orang kedua hanya sanggup mengikuti 100 program charity di negara-negara kecil yang terbelakang untuk memegang tangan-tangan mereka yang sekarat karena penyakit HIV.Â
Kini, kita mengenal orang pertama sebagai 'the most notorious dictator and killer' dan mengingat orang kedua sebagai peraih nobel perdamaian bahkan setelah ia tiada.Â
Adolf Hitler dan Princess Diana, konon keduanya sama-sama memiliki masa lalu yang mengubah mereka. Namun yang satu memutuskan mengambil jalan kekerasan dan yang lain mengubah sorrow-nya untuk fokus menolong orang lain.Â
Waktu masih di Jakarta, kakak saya menceritakan sinopsis satu historical  korean drama yang katanya "keren banget, Glo. Mesti nonton!" Saya baru kesampaian menontonnya disaat-saat mau pulang ke Indonesia. Dalam drama ini, seorang anak laki-laki bermimpi untuk melihat semua rakyat Korea mendapat makan dengan mudah.
Namun di saat ia melihat ayahnya jatuh sakit karena liciknya panggung politik Joseon, rakyat yang saling mengamuk karena kelaparan, akhirnya pandangannya melihat dunia berubah 180 derajat- "dunia itu jahat". Tetapi.. mimpinya tetap sama. Anak kecil ini  tumbuh menjadi Raja dinasti Korea yang paling dihormati dan bersih dalam sejarah. Ia memegang andil besar dalam penciptaan huruf hangul Korea. Kini, patungnya duduk ditengah-tengah kota, dan orang mengenalnya sebagai King Sejong The Great.Â
Dunia ini besar, dan kita ini kecil. Apa yang saya lihat waktu masih belajar di Jakarta hingga dikirim selama 6 bulan untuk belajar di Jerman juga perlahan berubah.Â
Dulu, kita semua bisa protes kenapa gak bisa nyontek waktu ujian, kenapa absensi hanya bisa 3x, kenapa mau lulus saja rasanya penuh tantangan. Namun kini kami sadar, yang salah adalah mental kami. Mental kami bukan mental pemimpin. Nyatanya, masalah yang ada  tidak akan menunggu kita untuk siap menjadi dewasa.
Dan terkadang untuk membela apa yang kita anggap benar, berarti sanggup membela diri dari mereka yang menganggap kita salah. Konon, orang Mesir  menyebut Cleopatra sebagai "The lover of our Fatherland", sosok yang melindungi bangsa mereka dari akuisisi bangsa lain. Namun bagi orang Roma, Ratu ini dianggap sebagai pelacur yang memanfaatkan kecantikannya untuk menundukkan kekaisaran paling kuat saat itu - Roman Empire. Hal yang sama juga terjadi pada sosok Napoleon Bonaparte. Beberapa negara sinis terhadapnya, tetapi orang Perancis begitu menghormatinya sebagai pahlawan.
 P.s. jangan pernah menghina Napoleon di hadapan orang Perancis.
 Pertanyaannya sekarang adalah 'Mau jadi pemimpin yang bagaimana kita ini?'
Ada satu kejadian beberapa tahun lalu yang sampai ini akan selalu saya ingat. Waktu aksi menanam pohon dalam program character building yang membuat semua mahasiswa FIABIKOM Atma Jaya Jakarta panas-panasan didaerah kritis, salah satu Dosen bertanya begini kepada saya "Kamu kenapa masuk Atma Jaya?"
 Saat itu saya membalas "Karena keterimanya cuma disini Pak". Dosen ini mendadak jadi galak  "Kalau kalian kuliah cuma mau jadi kaya, pergi saja ke Univ lain, kalo disini, kalian harus jadi sukses dan bisa bantu orang lain."
Our times in Germany will comes to an end, kalau kata orang waktu singkat mustahil mendapat apa-apa, tapi bagi kami ini sudah lebih dari cukup.Â
Kami sadar kalau keadaan dunia semakin mengkhawatirkan setiap harinyaÂ
Kami sadar kalau masalah refugees tidak akan pernah selesai kalau perang di Timur Tengah tidak berakhir
Kami sadar kalau setengah dari penduduk United Kingdom sesungguhnya tidak ingin negaranya menyerah dan keluar dari European Union
Kami sadar kalau negara-negara Arab yang paling sulit pertumbuhan ekonominya, justru negara-negara yang menerima pengungsi paling banyak
Kami sadar kalau masalah-masalah seperti itu tidak akan pernah selesai dengan hati pemimpin yang tamak.
Kita ini kecil, dan dunia itu mungkin besar. Tetapi orang yang memimpin dengan hati, the world needs more of that.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H