[caption caption="Brandenburger Tor Gerbang Kebebasan"]
[/caption]Germany, 25 April 2016
Pada akhir bulan Maret, saya mendapatkan pesan teks dari salah satu murid JPR (Journalismus/ Public Relations) Westfalische Hochschule. Di akhir percakapan kami, ia menulis "let me tell you one thing: if you ever need anything or any help, let me know. You guys are not alone here. I know how hard it can be to live in a country where you don't know anyone nor the language. It's tough!"
Setahun yang lalu, tidak pernah lewat dalam pikiran kami untuk melakukan perjalanan udara 17 jam lamanya dari tanah air, jauh dari orang tua, ke sebuah negara yang memegang andil besar dalam sejarah dunia.
Deutschland, Germany, atau Jerman. Saya sering mendengar stereotype yang kurang menyenangkan mengenai orang-orangnya. Ada yang bilang mereka masyarakat yang "rude" dan kaku. Ada kemungkinan mereka tidak akan menjawab kita dengan sopan atau hanya menunjuk peta yang ada apabila kita bertanya "Dimana jalan X?". Namun ada sesuatu yang kini membuat saya melihat negeri pecinta sepak bola dan bir ini dengan cara yang berbeda.
Saya dan Rachel tiba di tanah Jerman pada tanggal 11 Maret 2016. Sementara Ardelia dan Reika telah sampai satu hari sebelumnya di satu kota yang akan menjadi rumah sementara kami sampai beberapa bulan ke depan, Gelsenkirchen. Sekitar pukul 11 siang, saya mendarat di Dusseldorf dan berusaha menemukan Rachel di meeting point yang telah kami tentukan. Kami terbang bersama dari Jakarta namun mendapat flight yang berbeda dari Amsterdam.Â
Saat masih berada dalam satu pesawat dari Kuala Lumpur-Amsterdam, kami sepakat akan satu hal: "Kalau udah gak ada Wi-Fi tunggu di McDonald yaa. Jangan kemana-mana".
Gak ada Wi-FI? Kok bisa? Ya, we better watch it! Jerman memberlakukan hukum yang menekan piracy dan penyebaran konten dengan hak cipta. Sehingga kebiasaan download kami saat masih berada di Jakarta sangat berbahaya di sini. Sanksinya? Surat dari polisi atau penalty dari 800-2000 euro. Itulah sebabnya banyak orang yang takut untuk membuka free Wi-Fi hotspot. Karena siapapun bisa menggunakan Wi-Fi untuk download ini itu.
Akhirnya, saya bertemu dengan Rachel yang dengan setianya menunggu di McDonald meskipun dudah kebelet ke toilet. Bayangkan, teman saya ini sudah duduk 4 jam lamanya di kursi yang sama semenjak pesawatnya mendarat duluan di Dusseldorf. Saat saya bertemu dengan Rachel, ia tidak sendirian. Dua mahasiswa 'bule' dari kampus yang akan menerima kami sudah duduk di sana.
Mereka memeluk kami dan dengan sopan membawakan koper kami masing-masing juga menanyakan cuaca di Indonesia. Satu lagi hal yang kami sadari, merupakan hal yang wajar bagi orang Jerman meskipun masih tergolong orang asing untuk memeluk satu sama lain saat pertama kali bertemu. Stereotype tentang mereka yang sebelumnya membuat saya was was perlahan menghilang.
Begitu sampai di parkiran, saya juga sadar bahwa kami telah sampai disuatu negara dimana gadis berusia 20 tahun mengendari Volkswagen, Audi atau Mercedes merupakan pemandangan sehari-hari. Practically all of that brands built their country's image. Jerman memiliki banyak produksi otomotif kelas dunia, dan kesuksesan brand-brand tersebut mengokohkan image negara mereka sebagai produsen high technology. Jauh sebelum Jerman terkenal akan teknologi, negeri ini mengandalkan perekonomiannya melalui industri mining.Â
Dulu, kota Gelsenkirchen tempat kami tinggal memiliki mining site terbesar di Jerman. Sekarang, lahan kota ini menjadi pusat minyak dan gas. Perusahaan oil & gas terbesar di dunia yakni British Petroleum mestabilkan usahanya di Gelsenkirchen. Oleh karena itu, tidak heran masyarakat Jerman berbondong-bondong datang ke kota ini hanya untuk mengisi bensin mereka. Harga bensin di Gelsenkirchen terkenal sebagai yang paling murah di dataran Jerman.
Ada yang mengatakan "distance makes your heart grows fonder". Saat ini bisa dibilang kami jauh dari Indonesia. Namun Saya, Rachel, Ardelia maupun Reika mengalami excitement yang luar biasa saat nama negeri kami disebut. Dalam pelajaran intercultural communication di kampus kami saat ini, di hadapan puluhan mahasiswa yang siap akan dikirim ke seluruh penjuru dunia dalam program winter semester nanti, dosen kami yang mengingatkan saya akan Julia Roberts mengatakan bahwa Indonesia memiliki laut yang sangat indah dan merupakan tempat terbaik untuk olahraga air dari semua tempat yang pernah ia temukan. Pernyataan kecil ini, mampu membangkitkan perasaan bangga kami akan Indonesia.
Dalam perjalanan kereta pulang dari kota Berlin, salah satu exchange student dari negara India yang kini menjadi sahabat kami melontarkan satu pertanyaan yang kalau diterjemahkan kira-kira seperti ini "Kenapa sih Indonesia dan Malaysia memiliki nama yang hampir sama?". Sebelumnya ia mengindikasikan kalau itu hal yang normal kalau kita disamakan dengan Malaysia. Jelas kami menolak keras. Namun begitu ditanya alasan atau asal usulnya, kami berempat terdiam. Skak mat !
Topik ini juga sempat muncul dalam pelajaran bahasa Jerman kami. Lecturer kami mengatakan bahwa terkadang diantara dua negara yang hidup berdampingan, rakyatnya sering berbenturan. Seperti halnya orang-orang Jerman yang tinggal di perbatasan Netherlands atau Ireland. Mereka memiliki sinisme tersendiri. Kami mengatakan bahwa hal itu juga terjadi antara Malaysia dan Indonesia. Kita bisa marah kalau Reok atau makanan kesayangan kita disebut makanan mereka.
Padahal bahasa kita hampir sama bukan? Bisa dibilang kita ini musuh yang angin-anginan. Namun sayangnya, anggapan itu memang ingin mengecewakan saya lagi. Satu kejadian, saat kami berempat sedang makan di restoran cepat saji, kami dihampiri oleh dua mahasiswa asal Malaysia yang mendengar kami berbicara bahasa Indonesia.
Mereka berbincang dengan kami dan bercerita betapa sulitnya mencari makanan tanpa kandungan babi di negara seperti Jerman. Atau saat kami naik U-Bahn (kereta bawah tanah) , sekelompok mahasiswa Malaysia kembali menyapa kami terlebih dahulu. Saat itu teman saya sempat berkata "Mereka tuh nyapa yaa.. Coba kita, mungkin udah bisik-bisik dan ngomongin di belakang".
Lalu mengapa kita berfokus pada perbedaan kita ? Orang Indonesia ternyata punya jam yang sama 'karetnya' dengan orang Turki. Kebanyakan wanita Indonesia mendambakan kulit putih, teman kami yang berasal dari Mesir juga mengatakan bahwa Egyptian women adores white skin. Perempuan yang memiliki kulit putih dianggap kalangan kelas atas disana.
Hampir sama bukan ? Kita punya banyak body lotion untuk memutihkan kulit. Mungkin itu hanya contoh kecil, tetapi mampu menyadarkan kami bahwa apabila label dari setiap negara asal kami dicabut, kami hanya pelajar yang sama-sama berada di negara asing. Jadi, kami tidak sendirian pada akhirnya.
Sudah satu bulan kami di Jerman, dan kami juga sadar bahwa kami masih banyak kekurangan dalam melihat segala sesuatu. Namun setidaknya, kini sudah ada beberapa pelajaran yang bisa kami tuliskan mengenai Jerman:
- Ini negara yang sangat menghargai waktu.
- Ini negara yang setiap agamanya merayakan paskah.
- Ini negara yang demikian menyayangi binatang dan membiarkan anjing mereka masuk hampir ke setiap restoran.
- Ini negara yang menyediakan 4 tempat sampah dengan fungsi berbeda karena mereka peduli akan kelestarian lingkungan.
- Ini negara yang menjual bir lebih murah dari air putih.
- Ini negara yang sering tidak mengecek karcis tiket kami saat naik transportasi umum karena percaya akan norma rakyatnya.
- Ini negara dimana laki-lakinya selalu membukakan pintu untuk para perempuan.
- Ini negara yang mengalami kesulitan pertumbuhan demografi.
- Ini negara yang membangun ratusan monumen di tengah kota untuk mengenang orang Yahudi yang terenggut nyawanya.
- Ini negara yang malu akan kesalahan mereka di Perang Dunia.
Program Erasmus +dan partnership dari Universitas Katolik Atma Jaya dan Westfalische Hochschule memberikan saya pengalaman berharga yang bisa saya ceritakan kembali hingga 20-50 tahun mendatang. Tidak hanya soal budaya, gaya hidup atau sejarah di negara asing, saya juga mendapat kesempatan mengenal kawan baru dan mereka yang senasib dengan saya.
Kini saya tahu kalau Rachel punya passion yang sangat besar dalam memasak and she has a great taste too. Saya tahu kalau Ibu dari Ardelia sedang menjalani pendidikan di Milan and she misses her very much. Saya tahu kalau si 'kecil' Reika ingin menjadi Diplomat seperti ayahnya, and i think she will do a great job becoming one. Mereka semua memiliki cerita yang luar biasa sampai waktunya tepat untuk diceritakan kembali.
if you ask us, do we miss our family back in Indonesia?
Terribly ! But we do know, that we will become a better person when we come back later to Indonesia. Kami juga berharap ada sesuatu yang bisa kami berikan untuk institusi yang telah meneruskan misinya kepada kami saat ini. Terima kasih Atma Jaya !
Ps. Atma Jaya memiliki arti "Roh yang Jaya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H