Isu soal kenekaragaman hayati memang masih menjadi salah satu agenda besar pemerintah dan wakil rakyat Indonesia. Pada akhir 2018 lalu, saya berkesempatan meliput salah satu acara terkait keanekaragaman hayati dari Kelompok Kerja Konservasi atau POKJA Konservasi.
Berdasarkan data dari Wildlife Crime Unit WCS IP, jumlah kasus kejahatan satwa liar dilindungi tercatat meningkat tajam dari 106 kasus pada 2015 menjadi 225 kasus pada 2017. Sampai Oktober 2018, WCS IP baru mendata ada 169 kasus satwa di Indonesia.
Dari 2015-2017, tercatat ada 451 total kasus kejahatan terhadap satwa liar dengan 657 pelaku. Adapun kasus yang mendominasi adalah perdagangan liar ada 37% atau 166 kasus, dan penyelundupan satwa liar 33% atau 149 kasus. Sisanya adalah perdagangan maya satwa liar sebanyak 12,6%, disusul lalu kepemilikan satwa liar sebanyak 7,8%, dengan perburuan 5,1%, dan ilegal fishing 1,8%.
Memang Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK memiliki banyak instrumen kebijakan untuk mengatasi kejahatan konservasi. Misalnya saja; Permen LHK No. P. 83/MENLHK.SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.Â
Adapula Permen LHK No. P.2/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2018 tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Spesies Liar dan Pembagian Keuntungan atas Pemanfaatannya. Aturan ini dianggap belum kuat selama perangkat hukum utama yakni Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem belum melalui proses revisi.
Menurut POKJA Konservasi, rencana revisi UU Nomor 5/1990 sudah pernah dibicarakan sejak 2015. Namun wacana itu tidak ditindaklanjuti kembali sampai sekarang. Salah satu anggota POKJA Konservasi, Raynaldo Sembiring dari Indonesia Center for Environment Law (ICEL) menyebut UU ini perlu direvisi karena belum mengakomodasi pemidanaan terhadap korporasi. Padahal ada beberapa kasus kejahatan konservasi melibatkan korporasi. Misalnya; penyelundupan sirip ikan hiu keluar negeri oleh CV yang bergerak pada bidang usaha perdagangan hasil laut. Kasus ini sempat menjadi pembicaraan media asing pada 2016.
"Soal Kehati ini harus diperbaiki, karena ada value ekonomi yang tinggi dalam Kehati. Ada pula value pendidikan yang tinggi, value estetika yang tinggi," jelas Raynaldo.
Permasalahan ini mungkin sekilas nampak tidak penting bagi parlemen. Oleh sebab itu revisi UU Nomor 5/1990 terus tertunda hingga memasuki waktu jelang pergantian kepemimpinan.Â
Padahal revisi aturan itu sangat penting untuk melindungi sumber daya alam hayati atau sumber daya genetik Indonesia dari biopiracy yang merugikan. Biopiracy kerap terjadi ketika peneliti atau organisasi penelitian mengambil sumber daya biologis tanpa izin dan sanksi.
Samedi dari Yayasan KEHATI juga membenarkan bahwa parlemen saat ini tidak melihat peluang besar dari revisi UU No.5/1990. Samedi beralasan, meskipun sudah ada Nagoya Protocol, soal akses dan pembagian manfaat sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional namun hal itu belum cukup. Samedi menyebut pemerintah belum ada aturan nasional yang bisa mengakomodasi soal sumber daya genetik.Â
Terutama untuk mencegah pencurian sumber daya genetik. Apalagi ke depannya perlu ada mekanisme industrialisasi yang mesti dijalankan, dari penelitian riset terapan sampai pengembangan, hingga bisa dikomersialisasi.