Akhir kata, sungguh saya mengapresiasi upaya Nurhadi-Aldo hadir memberi suhu baru pada dinamika Pilpres 2019. Tidak terlalu panas, ataupun terlalu dingin. Saya ikut menikmati dan mengapresiasi kreativitas mereka. Setidaknya, generasi muda yang ikut mewarnai pesta demokrasi Indonesia ini sadar bahwa iklim demokrasi memang bising. Siapapun yang menambah kebisingan itu termasuk Nurhadi-Aldo dibebaskan, dan dipersilakan.
Hanya saja perlu diingat, demokrasi yang kuat sangat bergantung dengan proses pemahaman sejarah. Menjadi sia-sia mengatasnamakan 'kritik untuk politik' tetapi generasi muda ini tidak memiliki amunisi sejarah yang akurat. Lagi-lagi akibat malas membaca yang katanya berat-berat. Suka membaca yang receh-receh saja. Atau bisa jadi lebih parahnya, mereka memiliki pembacaan sejarah yang salah.
Selain itu, konten yang sangat vulgar dan seksis dalam upaya kritik situasi politik menambah catatan masih panjangnya perjuangan literasi kesetaraan gender untuk generasi muda, generasi Tronjal-Tronjol. Konten-konten itu sekaligus menunjukkan adanya pergeseran interpretasi etis generasi muda soal cara berkomunikasi masyarakat Timur di media sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI