Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Hari Ibu, Jurnalis Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai

22 Desember 2018   21:06 Diperbarui: 23 Desember 2018   08:19 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama mengubah pasar. Cara yang paling awal adalah mengedukasi pasar agar menanggalkan cara berpikir lampau yang bias gender. Dengan demikian, secara otomatis pembaca memiliki kepekaan pada informasi mana yang layak diterima dan mana yang layak masuk tong sampah. Ini pekerjaan yang sangat panjang, setidaknya untuk hal ini saya mengapresiasi Magdalene yang mulai membuka jalan itu.

Kedua, mengubah perspektif jurnalis perempuan. Ini adalah kondisi yang sangat sulit, kondisi yang juga pernah saya alami sebagai seorang jurnalis media online pada bidang Lifestyle. Saya berani menjamin bahwa berita-berita yang berkaitan dengan kesehatan, kematian dan kehidupan, serta tips kecantikan memang menuai klikers paling banyak. 

Untung saja saya kerap kali mengakali upaya mencari klikers dengan menulis artikel kuliner atau traveling. Saya menyadari apa yang saya lakukan dulu memang atas dasar kehati-hatian dan tidak ingin menambah kerusakan parah dari kondisi bias gender ini. Akibatnya, saya seringkali bermain aman dengan mencari berita saduran yang ramah dan penting bagi segala jenis manusia.

Misalnya, informasi politik luar negeri, tips kesehatan, tips pengasuhan anak dari ibu maupun ayah, tips mengasuh anak rajin menabung, dan cerita soal seni dan budaya. Saya sangat paham jika saya membuat berita yang khusus perempuan, dengan framming tertentu, atau laki-laki dengan framming tertentu, saya sudah menempatkan posisi saya di atas para pembaca, dan bahkan saya membentuk aturan untuk perilaku mereka.

Ketiga, mengubah perspektif industri. Langkah ketiga ini adalah langkah tersulit. Siapa anda, siapa saya, sampai kita bisa mengubah perspektif sebuah sistem menjadi ramah gender? Saya menemukan solusi dalam perjalanan menuju Tuban. Solusi yang saya temukan seusai meneguk satu gelas susu jahe pada pukul 12.30 WIB di Rumah Makan Lamongan.

Industri jelas bisa "dipaksa" untuk mau melek pada keadilan gender. Pembaca media massa adalah umumnya golongan kelas menengah. Golongan yang berorientasi pada kemajuan. Indonesia masuk dalam perjanjian bersama internasional, kesepakatn global, kerjasama etis pembangunan dunia yakni Sustainable Development Goals (SDGs) alias pembangunan berkelanjutan. 

Ada 17 tujuan SDGs secara global mengakhiri kemiskinan. Salah satu poin yang ada dari tujuan SDG adalah soal kesetaraan gender. Tujuan akhirnya adalah memberdayakan perempuan secara optimal untuk mengentaskan kemiskinan -dan tentunya- agenda penguatan ekonomi global.

Media massa, jelas adalah corong pembangunan ekonomi. Media massa yang menuntut alam demokrasi dan transparansi adalah laboratorium yang kondusif bagi pengembangan ekonomi. Alhasil, saya berkesimpulan, jika media massa khususnya media mainstream tidak bebenah diri dalam framming pemberitaan, akibatnya media massa sendiri yang tidak mendukung kesepakatan etik dunia. Media massa justru menjadi penghambat pada pencapaian SDGs yang ditargetkan sampai 2030.

Mungkin poin ini masih bisa dikritik lebih dalam, apalagi terkait potensi eksploitasi perempuan dalam SDGs, atau penerapan kesetaraan gender di berbagai negara yang belum selaras dengan SDGs. Namun bagi saya, ketika media dan negara lain mulai mengejar ketertinggalan dan melek gender, media mainstream kita jangan lagi bermain pada ceruk yang sama. 

Apa yang diframming oleh media kita jelas akan menunjukkan ketertinggalan kita pada kesetaraan gender. Oleh sebab itu, penting sebuah framming yang sejujur-jujurnya, tanpa mengeksploitasi perempuan. Yang harus dilakukan media adalah mengoreksi jika yang terjadi di fenomena publik masih bias gender, bukan malah semakin membumbui fenomena itu dengan menjadikan perempuan sebagai objek.

Akhir kata, perbincangan seru dengan beberapa kawan di Instagram, membawa saya tiba pada sekitar pukul 01.30 WIB dini hari di Tuban dengan selamat. Saya berada dalam kondisi yang sangat baik di dalam mobil yang isinya laki-laki semua kecuali saya. Apapun bisa saja terjadi pada saya diperjalanan itu, apalagi 3 jam lamanya di dalam mobil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun