Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Hari Ibu, Jurnalis Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai

22 Desember 2018   21:06 Diperbarui: 23 Desember 2018   08:19 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengutip perbincangan saya dan Marja Margareth, adik dari Bang Rizal Fernandez, salah seorang senior di kantor saya, pengambilan berita ini seolah mengafirmasi bahwa ada konstruksi identitas dalam artikel ini. Bahwasanya perilaku perempuan harus mengikuti standar etik tertentu. Lagi-lagi perilaku perempuan diatur harus A, B, dan C. selain itu SALAH.

Meskipun begitu ada beberapa poin yang saya kritik juga atas caption si admin ini. Pertama, saya sangat menangkap jelas maksud edukasi yang hendak disampaikan untuk mengoreksi media, namun penjelasan itu tidak nampak dalam caption. Saya hanya menangkap argumen kemarahan sumbu pendek pada artikel yang bias gender. Apalagi hashtag #WTFMedia itu secara pribadi tidak saya setuju, terlalu kasar menurut kacamata saya.

Kesan selintas yang muncul juga adalah "kok jadi membuat kesan bahwa dalam urusan apapun termasuk pernikahan, laki-laki selalu salah." Itu yang saya sangat berhati-hati dalam mengkritik. Sejarah penindasan memang selalu terjadi pada perempuan, tetapi tidak boleh menutup mata pada kebaikan peran laki-laki di luar sana untuk mendorong kesetaraan gender, meskipun, mungkin, itu hanya segelintir.

Poin kedua, saya mengkritik abainya Magdalene pada peran kapitalisasi media yang menindas perempuan. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, artikel asli dari Bisnis.com, tidak menyangkutpautkan kesalahan rumah tangga dengan perceraian, apalagi perceraian Gisella Anastasia dan Gading Marten yang masih jadi trending topik. 

Sungguh, saya merasa dalam hal ini yang paling dirugikan bukan perempuan secara keseluruhan saja, tetapi seorang perempuan, seorang ibu, bernama Gisella Anastasia yang keputusannya diatur-atur oleh semesta alam. 

Logika ini selaras dengan logika bias gender, bahwa perilaku dan keputusan perempuan masih diatur sesuai kaidah yang mana justru merugikan dia. Seolah keputusan Giselle bercerai itu salah, karena anak akan dikorbankan, dan seolah semesta alam merasa tahu apa yang terbaik bagi keluarga ini.

Dari segi kapitalisasi, jelas saja dengan menambahkan nama 'Gisel' dan kata 'cerai' klikers untuk artikel dari Tempo akan melonjak. Cara cari uang yang sangat cerdas, meski pada sisi lain, ini jelas mengeksploitasi perempuan. Satu poin penting yang tidak disinggung secara gamblang oleh admin @magdaleneid. Perempuan adalah objek eksploitasi media massa.

Dari segi kode etik, jelas apa yang dilakukan Tempo (untung saja bukan Bisnis.com, memang editor kami di kantor andalan kok hahahaha) adalah bentuk pembunuhan karakter. Dengan mengulang-ulang nama Gisela untuk sumber pencarian uang, dengan label moral bersamanya, jelas membunuh sosok Gisel yang orisinil di hadapan publik. Padahal, artikel yang bersangkutan bertolak belakang dari pemberitaan Gisel.

Namun yang paling menyedihkan bagi saya, baik penulis asli di Bisnis.com, ataupun editor di Tempo.co adalah perempuan. Tanpa bermaksud menggurui, tetapi ini adalah keresahan yang begitu dalam bagi saya bahwa tidak semua jurnalis perempuan memiliki perspektif gender. Kapitalisme memang tidak pernah berdamai dengan perspektif gender apalagi feminisme. 

Sebab, perspektif ini tidak ramah pada pembentukan pasar. Perspektif ini menawarkan kesetaraan, dan tidak ada yang menjadi objek. Sebaliknya, kapitalisme membutuhkan objek, sasaran untuk dijual dan dipasarkan, sesuai kehendak pasar. Mengingat pasar kita adalah pasar yang bias gender, itu pula yang dihadirkan oleh media massa.

Memang kerja keras menyeimbangkan peran perempuan di media massa dari segi jumlah tidak menjamin perspektif gender yang imbang dalam pemberitaan. Itulah mengapa saya katakan kita perlu membuka mata seluas-luasnya pada kenyataan masih banyak perempuan dengan otoritas di jajaran media massa belum memiliki perspektif gender. Jadi, tidak hanya dengan menambah kuota perempuan yang bekerja di media massa. Lantas apa yang bisa anda lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun