Judul dengan tanda tanya ini memang ingin mengajak kita berdialog sebelum tenggelam lebih dalam pada buah pikiran saya. Ada seberkas cahaya yang saya dapat pada Sabtu lalu (23/6/2018) di Library Cafe John Dijkstra, Kota Lama, Semarang. Cahaya tentang Bapak dan Anaknya.
Hari itu adalah hari penting untuk saya, Inasshabihah, dan Imelda yang hendak meluncurkan buku dan membedahnya. Buku kami yang berjudul "Tiga Bapak dari Tiga Dara" yang diterbitkan oleh Ellunar Publisher pada Mei 2018 lalu.Â
Saya memang sudah mengharapkan dan membayangkan bahwa diskusi ini sungguh sangat menarik. Saya coba ingat-ingat lagi, apa ya alasan saya 3 tahun lalu menggelontorkan ide kepada Inas dan Imelda untuk membuat tulisan dan buku soal bapak?
Apakah semata-mata karena kami merasa ada kedekatan emosional dengan ayah kami? Apakah semata-mata karena kami ingin melepaskan trauma karena kami yakin bahwa menulis adalah proses healing yang terbaik?
Saya punya keyakinan, sejarah keluarga adalah sejarah bangsa. Keyakinan ini mendorong saya untuk memulai narasi kecil tentang keluarga, mengambil jarak, merenungkan masa lalu, berdamai dengan luka-luka orangtua saya agar itu tidak menjadi warisan pedih untuk saya dan keturunan selanjutnya.Â
Dalam proses menulis buku ini, beberapa kali saya meneteskan air mata karena harus ada kejujuran dan keberanian yang saya pertaruhkan. Keberanian bukan hanya untuk mengakui orang lain yang salah, tetapi juga saya yang salah. Keberanian untuk mengakui saya terluka dan juga melukai orang lain.
Dalam diskusi buku kemarin, Kak Monika mengatakan, dalam kehidupan keluarga dengan kultur paternalistik seperti Indonesia, ayah memiliki pengaruh dalam pembentukan karakter sosial seorang anak. Sebaliknya, karakter pribadi dan ruang-ruang privat anak biasanya dipengaruhi oleh ibu. Bukan berarti figur Ibu dijebak dalam ruang-ruang domestik dan privat semata, hal ini menandakan bahwa kultur paternalistik terlanjur memberikan peran ayah sebagai pelindung keluarga dan anak.
Menurut Kak Monika, peran seorang bapak seharusnya sudah mulai dilakukan sejak si bayi masih dalam kandungan, bukan saat menunggu si bayi lahir. Alasannya, pola pengasuhan ayah sesuai peran adalah kunci menanamkan nilai-nilai kepada si anak dari mulai nilai menjaga dan karakter anak.Â
Kehadiran secara fisik dan psikis memang sangat dibutuhkan oleh setiap anak. Setelah anak menjadi remaja, peran ayah tetap sangat dibutuhkan, karena awalnya menjadi penjaga dia pun mulai beralih peran. Anak remaja cenderung tidak ingin terlalu dilindungi oleh ayahnya. Dalam posisi itulah nilai-nilai tentang peran ayah tidak dilakukan secara langsung tetapi telah tertanam sebagai bentuk kepercayaan.
"Ketika Bapak tidak dekat secara emosional dengan anak perempuannya itu ada kendala. Umumnya saya bertemu orang di rehabilitasi yang punya masalah, ternyata mereka punya persepsi yang buruk soal ayah mereka," kata Kak Monika.
Ironisnya, dalam dunia psikologi sendiri, kajian tentang pengasuhan ibu jauh lebih banyak daripada kajian tentang pengasuhan ayah. Ibu selalu laku keras sebagai objek penelitian ketimbang ayah. Sementara persepsi buruk pada keluarga umumnya didapatkan pada figur ayah.
Ini menjadi sebuah tantangan dalam bidang psikologi, apakah riset tentang pengasuhan ibu menjadi lambang dunia paternalistik yang membuat ruang tanggung jawab pengasuhan anak hanyalah tanggung jawab ibu.Â
Kak Monika pun menyambut baik buku karya saya, Inas, dan Imelda ini sebagai landasan untuk memulai lebih banyak kajian soal peran ayah dalam pengasuhan dan menonjolkan tanggung jawab ayah secara penuh.
Makanya, jika seorang ayah berhasil menanamkan nilai kepada anak-anak, khususnya anak perempuan. Dia tidak perlu cemas pada pertumbuhan si anak. Sebaliknya, jika si ayah gagal menanamkan nilai kepada anak, timbul persepsi buruk, itulah PR penting dari sejumlah permasalahan seorang anak.
Tanpa bermaksud menjustifikasi, Kak Monika menyebut umumnya kasus-kasus yang dialami LGBT ataupun pelacuran, dan perdagangan anak juga karena kosongnya peran ayah dalam keluarga, ataupun adanya persepsi yang buruk tentang ayah. Peran perlindungan ayah menjadi kosong, tidak ada yang menjaga keluarga tersebut. LGBT bukanlah penyakit sosial, sebaliknya ada absennya peran-peran dalam keluarga.
Kadangkala, kata Monika persepsi buruk tentang ayah datang dari pihak ibu, begitupula sebaliknya. Oleh sebab itu, Monika berpesan agar pasangan suami-istri harus mengusahakan penyelesaian masalah yang konstruktif, tidak membuat persepsi buruk satu sama lain agar tidak membebani anak.Â
Dia mengambil contoh, persepsi baik seorang ayah tidak selalu dengan posisi tawar ayah yang baik sebagai pemimpin perusahaan, dan lainnya. Kadangkala seorang maling ataupun pembunuh bisa memiliki persepsi ayah yang baik di mata anak-anaknya selama dia berhasil menjalankan peran sebagai ayah.
Menyambung pemaparan Kak Monika, Kang Maman yang baru saja merilis buku tentang ayahnya sendiri, berjudul "Bapakku Indonesia" memberikan komentar yang senada. Dia mengaku, usai meluncurkan buku Bapakku Indonesia dan mengajak diskusi netizen di Twitter dengan pertanyaan "Kapan terakhir kali kamu memeluk Bapakmu?"Â
Tak disangka ada begitu banyak jawaban mengejutkan. Beberapa netizen dengan usia diatas kepala tiga saja ternyata masih menyimpan problem dengan ayah mereka, entah karena broken home, atau persepsi buruk tentang ayah. Mereka enggan untuk bermaafan, dan membangun relasi baru. Kang Maman justru memberikan solusi bahwa semua anak perlu memulai inisiatif untuk berbaikan dengan ayah mereka, jangan saling menunggu satu sama lain.
"Keberanian Tiga Dara ini menulis adalah bentuk terapi atas pengalaman-pengalaman dan kekecewaan mereka. Buku Tiga Dara ini, narasinya beririsan dan sama dengan tulisan saya. Ini membuat saya berpikir, ternyata pada kisah-kisah seperti inilah kita dipertemukan," ungkap Kang Maman.
Salah satu kisah unik dari Kang Maman adalah temuan dia bahwa umumnya anak perempuan yang kehilangan keperawanan pertama kali lebih mudah untuk menceritakan hal itu kepada ayah mereka ketimbang ibu mereka.Â
Alasannya, mereka masih mempercayai nilai ayah sebagai penjaga dan bersikap lebih rasional. Serusak apapun sang anak, maka anak perempuan itu selalu dijaga dan tetap dilindungi. Sebaliknya, anak perempuan mengurungkan niat terbuka dengan ibunya karena takut menyakiti hati sang ibu sebagai sesama perempuan.
Lantas bagaimana dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dalam anggota keluarga? Bukankah dalam masyarakat kita masih banyak permasalahan kekerasan seksual ayah kepada anak perempuannya?
Saya mencoba mengutip data dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2018 (CATAHU 2018) bahwa ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi.
Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada lembaga mitra pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 32%, yaitu 237 formulir. Selain itu, setiap tahun, CATAHU selalu mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam 3 ranah.
Pertama, pada ranah personal atau privat. Artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Kedua, ranah publik atau komunitas.Â
Jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, toko masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Ketiga, pada ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian, namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Berdasarkan data tersebut, Kang Maman menegaskan permasalahan ini muncul karena kecenderungan pada budaya paternalistik adalah ketika seorang ayah menjadikan anggota keluarga sebagai properti atau barang kepemilikan. Kondisi ini kerap menimbulkan rentannya anak perempuan sebagai korban pelecehan seksual dari sesama anggota keluarga seperti ayah, atau kakak laki-laki.Â
Kang Maman menceritakan, pengalamannya bertemu seorang korban pelecehan seksual pada salah satu RPTRA. Anak perempuan itu berani menyerukan kejahatan ayah dan kakaknya yang menidurinya. Awalnya adalah si ayah yang meniduri anak tersebut, lalu perilaku itu dicontoh oleh si kakak dalam memperlakukan adiknya. Dalam konteks permasalahan seperti inilah perempuan harus memiliki keberanian untuk bersuara baik secara lisan maupun tulisan.
Berbagai pengalaman, suka dan duka diceritakan Kang Maman dan Kak Monika soal relasi love-hate seorang ayah dengan anak, khususnya anak perempuan. Setiap keluarga memiliki cerita yang berbeda, ada yang karena orangtuanya bercerai, dan lain sebagainya.Â
Setiap luka-luka tersebut harus dikomunikasikan sebagai proses penyembuhan. Kang Maman dan Kak Monika sepaham bahwa menulis, seperti buku yang saya hasilkan dengan Inas dan Imelda adalah salah satu proses healing tersebut, karena tak semua yang kami ceritakan adalah apresiasi dan rasa cinta kepada ayah, tetapi juga rasa sedih, kecewa, marah, dan pemberontakan.
Uniknya, pada Minggu (24/6/2018) ketika saya menuliskan ini, saya terbersit untuk menelpon ayah saya, menanyakan kabarnya. Untuk sebuah alasan penting, akhirnya saya bisa menelepon dia menceritakan permasalahan saya dan perasaan saya selama ini.
Ada sejumlah perspesi saya tentang ayah saya yang selama ini saya pendam dan terbukti itu salah ketika saya mengomunikasikannya, segala sesuatu yang mengganjal terlihat lebih lurus.
Terima kasih kepada Tuhan, Kak Monika, Kang Maman Suherman, Library Cafe John Dijkstra yakni Mas Wawan dan Mbak Dinda, teman-teman dari Klub Buku Semarang, support system saya, salah satunya Theresia Eka yang sudah menyempatkan diri menuliskan resensi buku ini dalam blognya, dan semua pihak yang sudah berkontribusi atas lahirnya karya ini.Â
Mari berefleksi dan bertanya dalam diri kita sendiri untuk semua penyesalan dan luka; "Sudah Tanya Kabar Bapakmu Hari Ini?"
Sebab tak semua Bapak memiliki keberanian untuk menelepon putrinya, maka jadilah perempuan yang lebih berani menghadapi dunia, termasuk bapak.
"Nak janganlah seperti Bapak yang susah mewujudkan mimpinya. Besarlah dengan semua harapan yang kamu miliki, ku iringi doa dari hati kami. Nak, maafkanlah bapakmu jikalau ada yang kurang dariku. Jagalah cinta dan sebarkanlah dengan nurani jiwa yang akan meneduhkan semesta. Terbanglah terbang melambung ke angkasa, turuti apa kata hatimu. Tinggilah-tinggi, dan seperti matahari menyinari seisi dunia."
-- Jangan Seperti Bapak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H