Salah seorang adik kelas saya di kampus, tiba-tiba mengiriman pesan singkat melalui WhatsApp. Dia sedang bimbang untuk mengambil langkah media mana yang akan dia tuju. Awalnya, dia sudah mendaftarkan diri ke kantor saya, namun karena embusan-embusan isu buruk soal kantor saya, dia pun membatalkan niatnya. Lagipula, dia tidak mau menjadi wartawan ekonomi.
Dia menceritakan, bahwa dia baru saja bekerja selama sebulan di salah satu media online dengan gaji yang tinggi. Kalah dari gaji saya sebagai wartawan media ekonomi yang katanya nomor satu di Indonesia. Namun, dia masih punya keinginan merealisasikan cita-citanya menjadi jurnalis media cetak alias jurnalis koran pada media nomor satu di Indonesia yang punya website tempat saya menulis opini ini loh! Hahahaha. Kebetulan, media bersangkutan sedang open recruitmen wartawan. Jadi dia dalam keadaan bimbang ingin mencoba atau tidak, sementara di sisi lain dia takut di-cap kutu loncat, belum dua bulan sudah pindah dari tempat dia bekerja sekarang.
Saya pun menegaskan kepada dia, pada dasarnya media hanyalah alat menjadi jurnalis. Apapun medianya bukan tolak ukur prestasi seseorang sebagai jurnalis. Kalau dia sudah merasa cocok baik secara materil maupun secara batin di kantor lama, untuk apa harus pindah? Saya tidak mau dia masuk ke media besar hanya untuk prestisius saja, ujungnya baru menyesal. Pekerjaan menjadi jurnalis itu bukan pekerjaan instan.
"Kamu ikuti saja kata hatimu. Saat ini apa sih yang benar-benar ingin kamu raih sebagai seorang jurnalis? Sampai kamu harus bingung dengan medianya? Media alat, bukan segalanya. Setia itu sama profesinya, bukan sama medianya," ungkap saya kepada dia.
Dia pun membeberkan ketidaksukaan dia menjadi jurnalis media online (tempat dia bekerja sekarang) sama seperti pola kerja media yang menghadirkan berita per detik (tentu pembaca sudah tahu brand mana yang saya maksudkan). Dia pun merasa tidak berkembang sebagai jurnalis dengan bekerja di media online dengan pola kerja seperti mesin ketimbang seperti manusia. Dia yakin, jurnalis handal tidak dicetak dari pola kerja seperti itu, dan dia masih berkeyakinan media besar koran itu bisa mencetak jurnalis handal.
Saya pun menggugat dia dengan keyakinannya. Mengapa begitu? Dia adalah salah satu calon jurnalis yang mentalnya sama dengan jurnalis-jurnalis tua lainnya yang menganggap media online sebagai musuh media cetak. Media online merusak tatanan kaidah jurnalistik karena hanya mengejar kecepatan, tidak bisa menghasilkan berita akurat seperti media cetak. Well, pikiran busuk seperti itu menurut saya membuat seseorang tidak bisa berkembang.
Saya mencoba menasihati dia, separah apapun pola kerja media online, saat ini kenyataannya, mereka ada leader di bidang media massa. Kita tidak bisa membeda-bedakan lagi mana TV, mana online, mana cetak, mana radio. Semua multimedia. Dia pun masih mencoba menggugat saya, apakah dengan jurnalisme yang mengutamakan kecepatan masih bisa ditoleransi?
**
Nusa Lembongan, Desember 2016
Saya berjumpa dengan seorang perempuan, dia adalah editor di Kantor Berita ANTARA. Kami sama-sama berlibur ke Bali hadiah menang award penulisan berita dari salah satu perusahaan jasa kurir. Kebetulan, kakak ini sekamar dengan saya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bali, saya banyak bertukar pikiran dengan dia.Â
Pada saat yang bersamaan grup WA saya di kantor berisik sekali (kapan ya grup itu ga berisik sumpah hahahaha). Saya paling suka menjadi pengamat obrolan dibandingkan ikut terlibat dalam obrolan. Secara singkat, saya mendapatkan isu bahwa ke depannya, kantor saya akan membekali setiap wartawannya dengan handycam. Jadi nanti, wartawan cetak juga harus mengambil gambar layaknya anak TV.
Isu itu spontan membawa banyak komentar dari teman-teman, intinya, mengapa kami anak cetak harus bekerja ekstra keras seperti anak online dan TV? Saya juga merasa demikian, apalagi, saya itu tidak punya kemampuan foto dan video yang bagus. Kemampuan saya pas-pasan banget, jangan-jangan Tuhan juga cuma hanya memberikan saya talenta menulis, sisanya pas-pasan. Hahahaha.
Saya pun berdiskusi dengan kakak perempuan ini. Dengan jabatannya dia sebagai seorang editor, dia memberikan perspektif berbeda.
"Ya, gimana ya, susah juga kalau lo cuma mau bertahan sebagai jurnalis media cetak. Lo aja yang media cetak susah banget adaptasi, apa kabar gue yang kantor Berita? Mana kita BUMN. Tantangannya mirip-mirip juga, makanya sekarang gue juga diminta menugaskan reporter gue untuk mulai belajar bukan hanya menulis berita tetapi mengambil gambar dan video," jelasnya.
Dia menjelaskan, zaman sekarang media cetak ini semakin sulit meraih pembaca muda. Saya pun teringat cerita salah seorang kawan saya yang sebelumnya sudah bekerja di media nomor satu K*MPAS. Menurut isu internal kantornya, dia pun akan ditugaskan juga untuk menulis berita online, mengambil gambar, membuat video. Persis seperti kata si kakak, tujuan video itu ternyata untuk di attachment ke akun-akun social media milik media massa. Kebayang gak, kalau kamu mau mengintegrasikan karya kamu, temuan kamu sebagai penjala informasi ke Instagram misalnya. Mau tak mau harus berbentuk gambar atau video dong. Mana mungkin tulisan kamu di screenshoot terus dimasukkan? Tidak muat!
Saya juga menyadari hal itu, coba, siapa di antara anak-anak angkatan saya membaca koran ekonomi, atau membaca tulisan saya di koran tersebut? Pasti bisa dihitung dengan jari. Atau hanya sesama wartawan saja. Sementara yang umumnya mengenal saya adalah generasi baby boomers, para pengusaha yang memang harus membaca berita ekonomi. Tetapi dengan adanya media online khusus ekonomi, nyatanya, saya pernah bertemu seseorang yang bilang, "Saya sudah gak baca koran kamu karena ada media online baru lebih bagus, ada grafisnya, datanya lengkap. Lebih ringkas." Atau ada pula yang bilang, "Saya sudah tidak baca koran kamu, soalnya koran kamu mahal. Saya lebih memilih baca koran sebelah [anak usaha media terbesar ini loh] soalnya saya langganan satu koran dapat dua plus koran ekonominya."
Well, kita berbicara soal bisnis saudara-saudariku, bukan sekadar soal kualitas pemberitaan. Selain itu, saya harus mengakui bahwa sekarang pembaca muda umumnya membaca berita dari akun facebook, akun twitter, akun akun Path, akun snapchat, dan akun-akun lainnya. Saya juga jadi merenung-renung kembali siapa yang benar-benar masuk ke dalam website dan mencari tahu seluk-beluk website media tersebut? Kalau tidak berkepentingan belum tentu.
Dia bercerita pertarungan media online zaman sekarang seringkali bukan hanya menyalahi aturan kode etik jurnalistik tetapi juga menyalahi aturan bisnis. Pernahkah kalian membayangkan sebagai media berstatus pelat merah, semua sumber berita bisa diambil dari lapak Kantor Berita ANTARA. Lucunya, sangat banyak media online yang mengambil berita online dari kantor berita ANTARA. Itu juga hanya copy paste saja.Â
"Udah ngambil gitu, mereka [media online] juga tidak membayar. Terus pemasukkan kantor gue ya segitu-segitu aja," ungkapnya.
Sedih juga mendengarnya. Kami berdua pun melirik teman-teman blogger yang ikut berlibur juga. Mungkin nasib mereka jauh lebih enak. Mereka bukan jurnalis, tidak terikat dengan kode etik, tidak terikat dengan kaidah penulisah yang baku, tidak terikat dengan kewajiban terhadap publik. Mereka menjadi bos atas diri sendiri. Layaknya penyedia jasa membersihkan AC.Â
Alhasil, si kakak perempuan banyak membuat saya merenung lagi. Kalau memang saya mau jadi jurnalis, ya inilah tantangannya. Media online bukan musuh tetapi sahabat, harus disesuaikan. Itu tugas pemimpin media bagaimana mengutamakan kualitas pemberitaan, mengatur pola kerja, tidak kalah dan butak teknologi, mengukur ketersediaan SDM, dan tetap memanusiakan manusia.Â
***
Perkenalan saya dengan si kakak perempuan membawa saya pulang ke Jakarta dengan banyak permenungan? Yakin masih mau jadi jurnalis? Saya jadi kesal sendiri ketika mendengarkan curhatan adik saya. Anak ini masih polos, media itu bukan sekadar idealisme kebenaran untuk publik. Media adalah industri. This is a business. So, kalau kamu diperlakukan seperti mesin, itu resiko kamu masuk ke bursa tenaga kerja. Itulah yang juga ingin saya gugat, saya belum banyak membaca perkembangan Ilmu Jurnalistik, tetapi harusnya ada teori baru, atau mekanisme baru untuk dicecoki ke otak adik-adik kelas saya, bahwa jurnalisme itu soal kualitas dan soal bisnis.
Saya menegaskan kepada adik kelas saya tersebut, apakah dengan menjadi jurnalis online lantas para jurnalis itu mengabaikan kode etik jurnalistik dan kaidah penulisan? Tentu saja tidak. Oleh sebab itu ada editor yang bertugas mengedit dan meralat. Jurnalis yang memproduksi berita per detik sekalipun harus bertarung meningkatkan kualitasnya kalau tidak ingin ditinggal pembaca. Jadi jangan pernah meng-understimate seseorang atau sesuatu sebelum kamu terlibat di dalamnya.
"Dunia kerja tidak sama dengan dunia ideal jurnalistik yang lo baca di buku, atau kritik LSM yang ada di seminar-seminar. Media juga adalah kapitalisme. That's why gue juga sedang berusaha merontokkan pemikiran bahwa kecepatan tidak akan menghasilkan karya jurnalistik yang bagus. Kenapa? Karena tuntutan zaman begitu. Kalau gue masih pengen anak-anak di masa depan baca karya gue, tahu karya gue, I've to do this,"
Tantangannya, dengan kecepatan yang tinggi anda harus bisa menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Statement ini harusnya sudah mulai dicecoki ke pikiran anak kuliahan, apalagi anak jurnalistik supaya mereka bisa melakukan refleksi lebih mendalam, mengukur kapasitas diri dan panggilan hidup. Apa benar saya ingin jadi jurnalis? Yap, karena ada beberapa orang yang menjadikan profesi jurnalis sebagai jembatan untuk profesi-profesi lain, misalnya dosen, PR, atau bahkan Komisaris BUMN. Salah? Tidak. Kalau kata Bapak saya, setiap orang berhak melakukan pilihan bertahan hidup sepicik apapun itu asalkan tidak menjadi serigala bagi manusia lain.
Saya berharap, tulisan ini bisa memberikan pencerahan kepada adik kelas saya, adik-adik saya lainnya yang super banyak, kepada anda yang kebetulan singgah dan membaca ini. Bagus kalau anda bisa memberikan bantuan saran atau kritik.Â
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, satu hal yang saya pikirkan lagi. Jurnalis di masa depan juga harus dikasih pembekalan terkait hak-haknya. Dengan tuntutan kerja yang tinggi layaknya mesin, masih banyak yang gajinya kecil, atau berstatus sebagai honorer sampai dua atau tiga tahun. Well, menurut saya ini salah satu masalah yang serius. Agak jengah ketika membaca kritik orang terhadap konten media massa, tetapi mereka tidak pernah jadi jurnalis. Jengah juga dengan tuntutan tinggi, siap dilakukan, tetapi tidak mendapatkan reward yang layak dari perusahaan. Seorang lu dieksploitasi, diserap sebanyak-banyaknya energi lu seperti mesin. Itu adalah kritik saya terhadap kapitalisme.
Well, bukankah kapitalisme memang tidak bersahabat dengan proletar? Bapak saya sudah bilang sejak lama, 'This is the real capitalism. So enjoy it," Hahaha!
Natal 2016 kemarin yang diawali dengan berlibur ke Bali memberikan banyak renungan. Yakin Masih Mau Jurnalis? Itu buat saya, atau mungkin juga buat kamu yang masih ingin jadi jurnalis. So, enjoy it!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H