Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Kartini yang Galau

21 April 2016   01:46 Diperbarui: 21 April 2016   01:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu sekali, sahabat saya, Inasshabihah namanya pernah berkata,"Tit, lu cocok loh jadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Lu punya kemampuan untuk membangkitkan seorang perempuan dari kegalauannya. Lu bisa memotivasi perempuan untuk tak berlarut-larut dalam patah hatinya, bagaimana mensinergikan pikiran dengan hatinya."

Mendengar perkataan Inas, saya hanya tertawa, dan saya membalasnya dengan guyonan bahwa saya lebih ingin menjadi Menteri Pertahanan, untuk mempertahankan Indonesia. Baik itu laki-laki atau perempuan. Eh, tetapi tidak bisa soalnya jatah Menteri Pertahanan itu adalah jatahnya Tiara Djarot. Lalu kata Inas, saya jadi Menteri Hukum dan HAM juga bisa. Itu boleh juga, soalnya saya punya darah politisi dari para kakek dan ayah saya, kalau Tiara itu punya darah militer jadi cocok untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan. Nah, Inas, lebih cocok jadi Menteri Agama. Hahahaha.

"Sudahlah, daripada jadi menteri aneh-aneh, gue jadi Menteri Perhubungan saja, supaya hubungan gue dan dia dilancarkan Hahahaha. Amin. Eh, tapi dianya, dia siapa? Hahahaha," tawa pun semakin pecah.

Bukan soal reshuffle Menteri yang sebenarnya mau saya bahas, tetapi soal perempuan. Lagi-lagi soal perempuan.

Hari ini (yang baru berlalu beberapa jam lalu), 20 April 2016, saya berkenalan dengan salah seorang kawan jurnalis perempuan. Dia berasal dari media cetak yang berkantor di Kebon Jeruk. Dia lebih senior dari saya, tepatnya kami berselisih usia dua tahun.

Kami sama-sama menghabiskan waktu bersama liputan sepanjang hari dari pagi sampai malam di Balai Kartini. Kami sama-sama mengetik dengan ngemper di lantai loby beralaskan karpet merah sembari memasang lagu masing-masing untuk memacu inspirasi menulis. Sesekali dia bertanya kepada saya, apakah hujan di luar sudah reda, tetapi saya jawab, 'Belum reda Kak." Hari ini hujan mengamuk cukup lama, saya hitung-hitung seharian di dalam gedung megah dengan mesin pendingin hujan sementara di luar sudah turun deras tiga kali. Masih ada gerimis-gerimis yang membuat kami enggan keluar.

"Kak, sudah kelar hujannya, mau pulang?" tanyaku.

"Iya. Aku laper banget, sudah lemas. Maklum lagi menstruasi hari kedua," jawab si Kakak.

"Ah Ya Ampun. Iya, disini hotel mewah tapi restorannya sore sudah tutup. Kita gak bisa makan Kak. Atau kakak mau ikut aku, kita makan Mekdi di Pasfest?"

"Ya tapi jauh Tita, dari Pasfest ke kosanku di Kebon Jeruk lumayan jauh mutarnya," keluh si Kakak.

Aku agak kasihan dengan si Kakak yang nampak sangat lemas karena sedang datang bulan tetapi nyaris 6 jam tidak minum dan makan. Keadaanku masih jauh lebih baik karena sedang tidak datang bulan. Aku mengatakan kepada si kakak, bahwa aku ingin jalan kaki, dia menyarankan sebaiknya aku jangan nekat jalan kaki dari Balai Kartini ke Pasfest, aku belum makan, nanti aku pingsan (lagi) kan bahaya. Hahahaha. 

"Yasudah Kak, aku naik Grab saja deh. Jadinya aku malah males jalan juga kalau hujan gerimis mana sendiri. Kakak mau naik apa?"

"Aku naik apa ya Tita? Aku juga bingung. Naik Transjakarta aja kali ya."

"Atau mau bareng sampai di halte Transjakarta?"

"Lebih enak ke naik dari yang LIPI atau Kuningan ya?"

"Kayaknya naik dari Kuningan Kak. Eh, dari LIPI deng. Hahahaha. Duh maaf ya Kak, aku juga lagi lemas belum makan hahaha. Jadi malas jalan dan jadi manja banget," jawabku.

"Hahahaha. Ya tak apa Tita. Tetapi ya kalau modelan kayak kita begini mau mengandalkan siapa? Mau tidak mau harus strong kan? Hahahaha," sambung si Kakak sambil mengangkat ototnya ala ala Wonder Woman.

Aku tertawa miris. Ah, si Kakak ini lucu ternyata. Sebagai informasi, si kakak ini baru saja putus dari pacarnya yang adalah wartawan. Kebetulan lagi, mantan pacarnya adalah rekan sekantor saya. Nah, kebayang dong betapa tidak enak bagi saya harus ungkit masa lalu dia dengan mantannya. Saya hanya sering mendengar cerita-cerita dari bibir senior lain bahwa perjalanan cinta mereka cukup lama.

Ah, belakangan ini beberapa kawan-kawan saya jurnalis perempuan memang putus cinta. Sesuatu hal yang pada awalnya akan sangat memporakporandakan perasaan dan pikiran mereka. Oleh sebab itu, saya pikir, lebih baik saya tak usah ungkit-ungkit mantan pacar si Kakak ini. 

"Iya kan? Kita mau mengandalkan siapa Tita? Tidak ada. Jadi cewek kayak kita [jurnalis] itu harus tangguhlah. Pernah merasa tidak sih kayak capek setengah mati sama dunia, sama pekerjaan, atau sama kekasih dan tiba-tiba saat menulis atau terdiam dalam perjalanan kita menangis? Hahahaha," lanjut si Kakak.

Aku terdiam. Hahahaha. Si Kakak tidak tahu dia baru saja menancapkan panah yang meluruhkan semua persembunyian saya. Lagi-lagi saya hanya mencoba kamuflase dengan berkata, 'iya sih haha'"Aku suka begitu sebenarnya. Lagi di jalan, di dalam Transjakarta sendirian tiba-tiba nangis. Atau sewaktu misalnya kayak kemarin aku berantem sama mantanku (dugh, ini merembet sedikit ke mantannya yang adalah teman kantorku) aku kelihatannya baik-baik saja, tidak meledak, tidak kenapa-kenapa, eh taunya pas lagi mengetik berita air mataku menetes dong Dek! Hahaha ya kan? Kamu juga suka begitu kan?" tanyanya.

Tertohok. Iya Kak. Kamu benar. Saya juga persis begitu. "Iya kak. Bener banget. Hahahahaha."

Lalu teringat beberapa tangis-tangis yang tak diketahui orang terdekat saya. Tangis-tangis saya saat berjalan kaki sendirian. Tangis di atas Tranjakarta. Tangis di atas kereta. Terlebih sering tangis di atas Grab Bike. Tangis saat ayah sakit, ibu sakit, adik sakit, saat ada yang meninggalkan dunia. Tangis yang mau tak mau saja memaksa keluar bahkan ketika saya sedang mengetik berita.

Tak hanya itu, saya juga pernah mengalami fase dimana saya harus mengetik berita tetapi iseng-iseng membuka lama facebook (mantan) gebetan dan disana melihat postingan update foto terbaru dia yang menuai banyak likes dan komen. Di mana saat itu barulah saya merasa berada sangat jauh dari pengenalan pada sosok yang saya sukai. Atau iseng-iseng saat kepo lagi laman facebooknya dan menemukan update-update-an bersama perempuan lain. Entah share blog, share apapun, likes apapun, di saat satupun share-an saya tak mendapat perhatian. Sedih awalnya, sedih banget kalau dirasakan. Ya balik seperti kata si Kakak, kadang hal-hal sepele itu sungguh meracau konsentrasi.

Tetapi sekali lagi, saya pikir memang ada beberapa letak kesalahan dalam diri saya sendiri sebagai perempuan. Saya mengizinkan diri saya untuk menggalaukan sesuatu. Saya membiarkan orang lain menguasai emosi saya, bahkan saya kini berani berpikir bahwa itu sebuah kebodohan karena yang bersangkutan saja pasti tidak pernah tahu dia berhasil menguasai emosi saya.

Saya mulai belajar bagaimana membedah rasa dan mulai memperbanyak pikiran yang serius. Saya pikir Tuhan sungguh baik mempertemukan saya dengan si Kakak. Kata si Kakak, perasaan-perasaan tak mengenakkan yang bisa meracau manusia harus dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Persis.

Aku pun mulai sedikit memberanikan diri mencoba bercerita tentang beberapa teman-teman kantorku yang adalah teman kampus si Kakak. Sampailah kami pada nama mantan si Kakak. Aku masih pura-pura bodoh seperti anak baru di kantor, dia hanya tertawa kecil saat menyebut nama mantannya. Dia mengakui, teman kantorku (yang adalah mantannya) itu memang adalah teman kuliahnya. Dia pun bercerita panjang lebar soal mantannya kepadaku. Dia bercerita ringan saja, seperti sedang menceritakan kawan akrab lamanya. Dia bahkan menceritakan karakter sampai kebiasaan teman kantorku ini (yang adalah mantan pacarnya, menurut saya ini perlu diulang-ulang) kepadaku. Untunglah acting teater warisan zaman SMA cukup ampuh untuk menampakkan muka 'Kak aku tak tahu apa-apa soal hubungan kalian.'

Sebenarnya, bisa saja, Kakak curhat colongan dalam bahasa gaul 'curcol' kepadaku, dan blak-blakkan mengakui bahwa teman kantorku adalah mantan yang dimaksudkan dia sudah membuatnya menangis saat menulis berita. Aku menemui sangat banyak perempuan yang gemar blak-blakkan membuka masa lalunya, atau bahkan membaginya kepada orang yang baru dia kenal. Banyak perempuan yang bukan hanya gemar kepo stalker tetapi juga gemar menanyakan kabar si ini dan si itu kepada orang yang terdekat dengannya. Atau memberikan label kepada orang 'Gue mantannya si ini, gue pernah deket sama si ini.'

Ya, tetapi ternyata tidak untuk aku juga si Kakak. Bagi kami, apa yang menjadi pengalaman terdalam kami, kegalauan kami, ya kami pikir, itu sepenuhnya adalah harta kami, dan bukan untuk diumbar-umbar. Mungkin itu juga yang mendorong kami menjadi penulis, menjadi wartawan, menjadi jurnalis. Kami menuliskannya, bukan membicarakannya. 

 

Agak mirip juga seperti Bunda Maria yang selalu memendam semua gelisah dalam hatinya, eh tetapi tidak juga, dia punya Elisabeth, saudara dan senior yang selalu mendengar dan menguatkan Maria terutama pada masa-masa kehamilan. 

 

Begitu pula Kartini, dia adalah perempuan yang galau. Galau kepada kondisi sosial di sekitar, pemberontakkan kepada patriarki yang memarjinalkan posisinya. Siapa perempuan yang tidak galau dijadikan selir, atau istri kedua? Mungkin hanya Astrid yang mau jadi yang kedua, seperti lagu yang dinyanyikannya. 

 

Dalam diam-nya Kartini melawan, mencoba memberontak dalam sayupan. Ya, menulis itu teriakan kencang yang sangat sayup terdengarnya. Tetapi seseorang yang bisa mendengarnya bisa terperosok dalam kekagetan. Untuk konteks inilah Kartini diserang, berbicara soal kesetaraan gender, hak perempuan untuk menerima pendidikan, padahal dia sendiri mau-mau saja dipinang datuk-datuk jadi istri kedua. Bukankah secara tak langsung Kartini juga menyerobot hak istri pertama?

 

Ya, agak-agak mirip juga dengan pengalaman saya yang dididik oleh lelaki penganut marhenisme, anti kapitalisme (entah ini benar tidak ya?) saya menyusun skripsi wacana neoliberalisme, eh saya juga yang di cap kapitalis sejati, neolib, sekrup kapitalis karena mau saja jadi buruh korporat media ekonomi dan bisnis.

 

Sayapikir, sudah saatnya belajar memulai adil menanggapi kegalauan Kartini, seperti halnya saya menikmati dan mengolah kegalauan saya. Segala yang kontradiktif harus dihadapi bukan dihindari toh. 

 

Saya juga mulai berpikir untuk memanjatkan doa agar bisa menjadi seperti si Kakak, dimana saya bisa saja dengan entengnya menceritakan (mantan) gebetan saya tanpa beban, tanpa rasa takut, dan menerimanya sebagai warna yang tergores manis dalam lukisan hidupku (halah).

Jadi, menjawab pertanyaan Inas dulu, apakah saya pantas menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan? Ya, saya pikir saya belum layak, karena saya juga terseok-seok dalam memaknai kehidupan dalam rutinitas sebagai perempuan. Ya, jika Tuhan memang menggariskan saya jadi Menteri sih boleh juga hahahaha (yee dasar).

Saat menuliskan ini saya sedang ditemani lagu Raisa yang berjudul 'Kali Kedua', semoga bisa menjadi sugesti positif bagi si Kakak yang saat ini mungkin sedang terlelap, dan juga kepada Kartini lain yang sedang dirundung kegalauan dan ingin kembali kepada yang lama (ehciye). Siapa tahu, kalau jodoh, ada kali kedua yang harus dilanjutkan. Saya pikir ini juga langkah awal bagi saya meyakini diri saya bahwa cara saya mengolah kegalauan dengan tidak bergantung pada orang lain bukan cara yang aneh dan masokis, sebaliknya, itu cara yang elok memaknai makna di baliknya. Sebab, cinta itu harus membebaskan, dia butuh dibebaskan.

Tulisan ini saya tuliskan sebagai ucapan terima kasih kepada para Kartini yang saya kenal dalam hidup saya, Kartini yang sedang sangat saya rindukan; Tiara Djarot, Inasshabihah, Anastasia Arvirianty, dan Zita Wahyu. Juga kepada Kartini yang banyak berdiskusi dengan saya belakangan ini dalam Komunitas Mini; Jenni Anggita dan Brigita Blessty.

Akhir kata, Kartini mengucapkan selamat hari Kartini, olah kegalauanmu menjadi energi positif ya.

NB: Perhatikan baik-baik, saya membuat bold kata 'pikir' kenapa? Saya sedang melakukan eksperimen terhadap diri saya sendiri. Saya sangat tahu, setiap kali menulis, atau berbicara, saya kerap menggunakan kalimat ini, 'saya rasa' itu adalah cita rasa filsafat Timur. Sebuah rasa, sebuah harmonisasi. Saya memang orang Timur, tetapi saat ini saya sedang menguji diri saya sendiri untuk berpikir bukan hanya merasakan. Sehingga saya coba tuliskan 'pikir' bukan 'rasa'. Karena begitulah filsafat barat, pemikiran logis, itu pula kaidah pemikiran yang sangat dirindukan Kartini. Baiklah, saya pikir, sudah saatnya saya ucapkan, sampai jumpa di Paris, Amsterdam, Barcelona, Vatikan, London, dan terakhir di New York!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun