Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Buah Simalakama

17 Maret 2016   17:23 Diperbarui: 17 Maret 2016   17:31 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

soal keadilan. politik ekonomi regulasi.

saya memutuskan menghapus aplikasi online sementara waktu sejak demonstrasi Senin kemarin. Alasan? Bukan karena saya takut akan diserang supir 'biru' ketika naik Go-Jek atau Grab Bike. Sebaliknya, saya sedang menguji diri saya sendiri sebagai pengguna transportasi umum dan masyarakat golongan kelas menengah, apakah saya mampu bertahan dan tidak mengeluh dengan kondisi transportasi ibu kota?

Masalah aplikasi online untuk transportasi ini seperti buah simalakama. Saya menarik jarak dari aplikasi andalan dan mencoba memosisikan diri sebagai sopir taksi dan angkutan umum lainnya agar lebih jernih dalam menilai permasalahan. Memang tidak mudah bagi sopir taksi yang sedang mencoba menyicil kredit mobil harus mengalami penurunan pendapatan. Tergerusnya pendapatan sampai 50% membuat mereka yang harus memberikan setoran, biaya bensin, dan membayar kredit mobil supaya menjadi armada sendiri kian sulit bernafas.

Saya sendiri dua hari ini agak ketar-ketir kembali menggunakan transportasi umum. Mungkin semestinya sejak awal saya tak terlalu ketergantungan juga pada aplikasi ini. Mungkin seharusnya saya mendengarkan prinsip rekan saya Alsadad Rudi yang sejak awal berkata, selama belum ada regulasi yang jelas soal aplikasi online, mereka tetaplah transportasi ilegal

Kekosongan regulasi membuat argumentasi menjadi blunder, yang satu melempar bola tanggung jawab kepada yang lain. Padahal realitasnya jelas, aplikasi tidak dikenakan pajak, sementara mereka menyediakan jasa perseorangan. Belum lagi kenapa mereka murah, ya karena mereka tak mengikuti kewajiban tarif batas bawah. Ya akui saja, pemerintah terlampau gagap menanggapi masalah. Presiden Jokowi juga terlampau pragmatis dengan merestui aplikasi untuk menjawab keterdesakkan kelas menengah pada transportasi murah dan efisien.

Regulasi adalah keniscayaan. Gunanya apa? Untuk mewujudkan keadilan. Polemik ini jika terlampau lama diabaikan memang memiliki standar ganda, Sungguh berbahaya. Jika pemerintah hanya berargumentasi aplikasi tetap ada selama transportasi memadai belum tersedia, lantas kapan pemerintah menyediakan transportasi memadai? Benar kata Pak Jonan di TV One kemarin, pemerintah masak menabrak regulasi?

Hari ini saya menerima pengalaman yang lucu. Seusai meliput acara konsultan bule, saya diajak oleh bule-bule itu makan di Plaza Indonesia. Saya pun menolak dengan alasan harus kembali ke kantor. Ketika kembali ke kantor, saya memutuskan makan siang ayam penyet di samping kantor. Ketika sedang makan, datanglah dua supir taksi.

"Percuma juga kita demonstrasi kemarin, aplikasi tidak akan ditutup lah sama Pemerintah. selama ada yang diuntungkan, yakni si empunya juga ada penggunanya mereka ga akan ditutup, sia-sia kita demo kemaren Pak," ujar si supir berbaju biru dari taksi biru ini. Dia pun mendesah panjang merasa kecewa.

"Iya Pak. Sepakat. Ya sekarang terserah ya mau gimana, Katanya terakhir mau digabung jadi badan usaha saja, koperasi begitu, ya sama saja, jasa mereka akan jauh lebih diminati pasti," jawab rekannya sesama supir berbaju biru dari taksi berwarna putih.

Keduanya begitu pesimis. Saya yang duduk tepat disamping mereka berdua hanya bisa merasa kasihan. Saya yang awalnya ingin mengajak diskusi dan mengaku sebagai wartawan mengurungkan niat itu karena terlanjur baper duluan. Persaingan pasar bebas dengan digitalisasi ini sudah berhasil membuat masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum semuanya peka teknologi saling bertengkar. Berebut kue untuk perut masing-masing

Tetapi setidaknya saya menemukan sesuatu hari ini. Kepasrahan masyarakat yang benar-benar kecil yang menggantungkan hidupnya hanya sebagai supir dari gurita bernama pasar bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun