Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

AGENDA 18 - Kisah Di Balik H-1 Valentine

14 Februari 2016   23:38 Diperbarui: 15 Februari 2016   00:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami menyandang nama Komunitas Penulis Muda (Katolik) Agenda 18. Mengapa kata Katolik itu saya beri tanda kurung? Lama-lama saya sangsi sendiri dengan makna Katolik itu. Takut terlalu eksklusif. Tetapi juga jika dihapuskan, saya khawatir kehilangan identitas diri.

Kami, 7 dari 9 penulis muda angkatan 5, memiliki tekad yang sama. Kami harus menerbitkan buku yang kami rancang usai pelatihan tahun 2012. Buku tentang perkotaan.

Beberapa kritik terlempar, buku kalian seperti gado-gado, terlalu banyak isu yang dikisahkan. Tetapi itulah kami. Gado-gado, banyak warna dan rasa, perbedaan. Ada yang menjadi editor, ada yang bekerja di kantor industri migas, ada yang dosen, ada yang baru lulus dan mau jadi peneliti, ada yang guru, ada akuntan, dan ada yang jurnalis. Mengapa kami harus menjadi sama, dan diseragamkan?

Hari hari berjalan, sebuah ide dilempar, dimana saat peluncuran kami juga membuat diskusi tentang perkotaan. Permasalahan yang ditulis dalam buku kami masih sangat relevan.

Kami memutuskan akan mengundang Marco Kusumawijaya, pengambil kebijakan Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat, dan mentor kami saat menulis buku tentang perkotaan, siapa lagi jika bukan Agnes Rita, wartawan Metropolitan Harian KOMPAS.

Kelahiran Rumah Kota Kita lama lama saya refleksikan seperti sulitnya mengandung anak 9 bulan. Analogi ini mungkin paling tepat menggambarkan 7 perempuan penulis yang memiliki energi serta pengalamanan kebatinan yang sama. Sebut saya mereka Jenni, Wiwiek. Niken, Blessty, Della, Sari, dan saya.

Proses kami menunggu memang tak sampai 9 bulan tetapi mekanisme yang kami alami masing-masing nyaris menyerupai proses menanti-nantikan kelahiran anak pertama.

Saya tak akan lupa ketika hendak merumuskan konsep peluncuran buku ini, saya, Jenni, dan Mba Wiwiek janjian berjumpa di Gudang Sarinah. Seharian itu memang saya lupa makan (bukan diet) karena saya harus les, lalu ke kantor sebentar, lalu berjumpa dengan mereka Gudang Sarinah. Kemana-mana pun saya mengandalkan Grab Bike tentu akan masuk angin jika kondisi fisik drop.

Alhasil, saat saya di Gudang Sarinah tengah mengobrol dengan Mbak Wiwiek dan temannya pejuang HAM bagi LGBT tiba tiba saya pingsan. Itulah saat pertama dalam hidup saya selama 23 tahun dimana akhirnya saya pingsan. Di situlah untuk pertama kalinya saya tahu, tubuh saya ada batasnya.

Untungnya Mbak Wiwiek, dan kawannya Mas Hartoyo segera memapah saya dan mencoba menyadarkan saya. Jenni pun tergopoh-gopoh membawakan saya minuman teh. Ketika sadar saya sungguh merefleksikan diri saya. Ada apa dengan saya? Sungguh ini aneh sekali. Untuk pertama kalinya saya jatuh pingsan dan itu dihadapan teman-teman Agenda 18. Hal itu membuat beberapa teman khususnya Jenni dan Mbak Wiwiek gemar mengingatkan saya untuk tidak lupa makan. Keduanya sama-sama mengingatkan saya agar jangan cepat sakit.

Sempat saya membatin, akankah ini sebuah pertanda buruk akan rencana kami mengundang beberapa orang yang cukup "sangar". Sebut saja Marco, dia sudah mengklaim akan maju sebagai Cagub DKI. Sementara Djarot saat ini adalah Wagub yang mendampingi Ahok. Tetapi bukan muatan politis ini yang mau kami tonjolkan. Bukan parade adu kekuatan yang kami persiapkan. Perkara literasi kepada penulis ataupun pembaca itulah yang kami inginkan. Tentang keberimbangan informasi. Keadilan berpikir. Jadi apapun yang dikata literasi itu penting ketimbang menduga-duga.

Proses dilalui bisa saya katakan luar biasa. Ada fase dimana 7 perempuan ini bersitegang pula karena beda pendapat, salah satunya saya. Ada fase kepanikkan yang memicu kecemasan massal dan lain sebagainya. Maklum 7 perempuan ini juga sudah memiliki pekerjaan dan tegangan yang cukup besar tentu dari masing-masing bidang pekerjaannya. Fase itu ternyata membawa daya, energi baru, yang membawa persatuan kian kokoh.

Kami mengurus sendiri penerbitan secara independen. Mendanai sendiri segala keperluan tanpa bantuan alumni dan mentor. Bukan mereka pelit, tetapi kami tak mau membuat repot. Hanya Kak Vikth yang paling setia sejak awal penyusunan naskah sampai akhir menemani kami. Tiada lelah Kak Vikth membantu bahkan hingga akhir dia memberi banyak surprise tambahan. Tenaga. Waktu. Biaya. Terkuras demi kami dengan alasan, "gue kasian sama kalian kayak anak hilang". Ah Kak Vikth, bisa apa aku tanpa senior Taurus ini. Hatimu sungguh baik. Semoga Tuhan membalasnya. Alhasil, kami saweran seadanya, bagi penulis yang mau terlibat dan tidak terbebani. Bebas. Kami menjual kaos guna menambal keuangan kami agar isinya tidak kosong.

Hari-hari penuh penantian nyaris tiba. Cobaan tidak selesai juga. Saya sebagai pihak yang mengajukan undangan kepada Wagub Djarot pun memastikan kembali kehadiran beliau. Konfirmasi saya lakukan langsung ke kantornya. Konfirmasi pada H-2 Beliau tetap dinyatakan datang.

Sampai akhirnya H-1 cobaan bertubi-tubi datang. Dari mulai saat malam saya tidak bisa tidur dan malah menangis karena adik saya di Cibeber mendapat cobaan. Bella menelepon dan chat saya via LINE bahwa temannya kesurupan. Sepanjang malam dari jauh Ibu saya dan saya mendoakan anak yang kesurupan itu via telepon agar terbebas dari roh jahat. Anak itu meronta-ronta menolak suara doa Ibu saya. Adik saya pun mendoakan anak itu dengan rosario, namun ketika anak itu bebas, roh jahat itu menyerang adik saya. Adik saya tidak kesurupan tepatnya, tetapi dia dibuat panas tangannya oleh roh jahat tersebut. Pergulatan luar biasa yang membuat saya menangis malam itu.

Keesokannya, saya harus merasakan sulitnya mengambil pinjaman amplifier di Depok (maklum gratisan). Lalu hujan mengguyur Toko Buku Obor, membuat khawatir hujan ini akan terulang besok saat acara berlangsung.

Sampai tibalah kabar pada sore hari secara mendadak Wagub berhalangan hadir karena harus merapat ke Yogyakarta, alasannya ada sebuah urusan yang tidak dapat ditunda. Entah apa. Saya pun menerima keputusan itu. Pihak Pemda menawarkan narasumber lain, yakni Asisten Deputi Industri dan Perdagangan. Saya dan kawan-kawan sepakat, tidak perlu ada penggantian narasumber jika yang datang tidak sesuai dengan topik diskusi. Dua narasumber nampaknya cukup.

Saya pun tidak merasa khawatir dengan batalnya kedatangan Wagub, dengan demikian Agenda 18 juga terbebas dari cap bahwa kami adalah alat politik pemerintah. Atau sebaliknya, kami adalah alat politik jelang Pilgub. Hahahaha, picik sekali pikiran itu. Tetapi saya bisa membaui saratnya pikiran seperti itu.

Hal itu masih belum selesai dengan adanya surat edaran dari PLN bahwa pada tanggal 13 Februari 2016 pada jam 10 hingga 5 sore akan ada pemadaman di area Menteng. Hal itu seperti cobaan baru yang hendak menguras tiga perempuan yang sedang bebenah untuk acara esok hari; saya, Jenni, dan Blessty.

Sempat saya membatin apa yang harus saya lakukan? Tiba-tiba saya teringat masa lalu, saat manis di kuliah bersama teman-teman. Ini bukan kepanikkan yang baru, ini kepanikkan yang sama dengan kepanikkan yang dulu. Saya ingat Zidny Nafian, sahabat dan partner kerja saya di Ultimagz, dia berkata segala sesuatu harus nekat. "the show must go on."

Jenni mulai nampak lelah, begitu pula Blessty. Dia sampai tertidur di kursi. Saya pun menelepon PLN sekadar meminta bantuan agar jangan ada pemadaman. Sayangnya call center tidak bisa memastikan apakah Gardu T40, gardu listrik Obor tidak akan mati esok. Saya menelpon supervisor lapangan tetapi tidak ada jawaban. Saya hanya tersenyum saja dalam hati dan berkata, "Fiat Voluntas Tua". Ya, Jadilah kehendakMu Bapa. Jika esok harus mati lampu, terjadilah. Itulah realitas yang juga tak lepas dari wajah Jakarta. Ingat, Show Must Go On.

Saat hendak pulang, Jenni beruntung mendapatkan GoJek. Tetapi tidak dengan saya dan Blessty. Kami memutuskan mau tidak mau naik kereta dari Sudirman. Kami membeli dulu roti O sebelum naik kereta. Kami berdua mengalah pada hiruk pikuk orang yang mental pemakai transportasi belum maju.

Di atas kereta, Blessty memesan Go-Jek dari Stasiun Manggarai, kata dia "optimistis pasti dapat." Puji Tuhan, dia mendapat Go-Jek. Berhubung handphone saya sudah mati, saya tidak bisa mencari ojek. Lalu Blessty berkata, "jangan sedih ya, tetap optimistis kita cari Grab Bike buat kakak tita." Puji Tuhan dapat juga Grab dari Blessty.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya membatin saja, "jadilah padaku menurut kehendakMu."

Keesokkan harinya, pada hari penyelenggaraan batin saya lebih siap. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Buku ini harus lahir hari ini. Blessty berkabar kalau dia sakit bentol-bentol bengkak, kemungkinan karena alergi. Ya, bisa alergi dingin kemarin karena kamk kehujanan, atau karena lintah, atau karena debu di perpustakaan. Saya meminta Blessty istirahat sejenak karena kami tak kekurangan personil. Ada Mas Rio, Kak Vikth, tetapi juga tim penulis mendapat surprise dari Kak Sari, salah seorang penulis angkatan 5 yang datang jauh-jauh dari Bali untuk menghadiri kelahiran buku kami.

Ada beberapa teman yang nampaknya mendukung kami, tetapi ada pula yang nampaknya nyirnyir. Ada saja yang mengatakan begini, "Selamat untuk Diskusi dan Peluncuran Buku Rumah Kota Kita hari ini. Maafkan tidak bisa hadir.. Sukses selalu buat Tita dan para penulis lain..Jangan pernah menukar nalar logika kritis yg kalian miliki, dengan apapun. Proficiat!. Proficiatnya dengan tanda kutip.

Berhubung saya bukan orang Jawa, saya tidak bisa memaknai Proficiat dengan tanda kutip itu maksudnya apa. Saya pun curhat kepada Mba Wiwiek. Alhasil, Mbak Wiwiek membeberkan, memang ada sebagian orang, tepatnya beberapa teman Mbak Wiwiek yang merespon Rumah Kota Kita seperti aksi diskusi bermuatan politis. Ada dua kemungkinan yang mereka pikirkan; kami menyatakan aksi mendukung Marco maju Pilgub sebagai calon independen. Kedua, kami menjadi corong Pemprov DKI. Politik itu soal pilihan. Soal kebebasan bukan penyeragaman.

Hal itu membuat saya kaget. Ternyata sepicik itukah pemikiran sejumlah orang, termasuk orang-orang yang saya pikir memiliki semangat yang sama? Termasuk orang muda yang sama-sama Katolik? Saya jadi teringat kata Blessty, "Lo ga perlu pintar-pintar amat kok untuk peduli dan peka." Sejenis dengan kalimat yang akhirnya saya simpulkan atas nyirnyiran orang, entah benar entah tidak sih, kira kira begini, "untuk peduli dan peka, lo ga perlu jadi kritis dulu kok." Tetapi dengan semua kejadian lucu itu, saya kembali teringat motto hidup saya, "No One Can Let Me Down. No One."

Ternyata penyakit "tidak adil dalam pikiran" sudah menjangkit dalam sebagian diri anak muda. Saya khawatir pula itu akan menimpa saya. Tahu apa kegelisahan saya? Sebuah jurang yang besar antara anak muda dan orang tua, membuat gagalnya orang muda mengkader penerusnya.

Selama ini, anak-anak muda berada jauh dari lingkungan pemerintahan dan akademisi. Para pemerintah pun tak membuka ruang diskusi yang banyak bagi anak anak tingkat SMP, SMA, dan kuliah. Anak muda sebatas alat pencitraan. Anak muda sebatas aksi korektif yang tidak menjadi solusi.

Tidak perlu jauh-jauh berbicara soal pemerintah atau akademisi. Kita-kita yang masih muda saja tak semua ingat mengkader adik-adik tingkat SD, SMP, SMA, dan kuliah. Kita sibuk dengan karir dan pencapaian-pencapaian diri, aktualisasi diri, bukan begitu?

Melihat itu saya makin dibuat bahagia saat peluncuran buku bukan soal ramainya peserta hingga kursi tak cukup, tetapi karena adik-adik SMP Kanisius, murid-murid Jenni Anggita sangat proaktif bertanya.

Asumsi saya benar. Anak anak dengan kepolosannya selalu membutuhkan pertanyaan. Maka mereka harus didekatkan dengan realitas bangsa, negara, kota, masyarakat tempat dia hidup. Maka mereka membutuhkan senior-senior untuk membimbing mereka dengan kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk hal ini, saya mengapresiasi rekan saya, Jenni Anggita yang sangat hebat mendidik anak-anaknya. Mendidik bukanlah perbuatan kecil, itu adalah perbuatan besar.

Sesekali Marco kecolongan kampanye hahaha. Maklum saja, anti tesis dari pihak Pemda tidak ada. Atau ada pula pertanyaan yang datang tentang Pilgub. Puji Tuhan, kami tak salah memilih Brigita Blessty, sang moderator yang mengingatkan agar diskusi jangan keluar dari koridor.

Hingga akhir acara salah seorang narasumber yang tak perlu kami sebutkan namanya hendak kami berikan fee sesuai perjanjian, dia bertanya: "Kalian dapat dana darimana?" Mbak Wiwiek menjawab jujur, "Penulis saweran semua. Hanya dengan jualan kaos juga, dan jualan buku A18 yang dulu karya senior-senior kami." Karena tidak enak. Bisa jadi juga dia malu ketika tahu kami tak ditunggangi oleh siapapun, dia pun mengembalikan fee dari kami. Sesungguhnya orang bisa melihat dari konten acara kami yang seadanya. Narasumber gratis. Pengisi acara dari alumni kami, gratisan. Lalu dari SMP CC, Acapella gratis. Mengapa? Kita semua butuh aktualisasi diri. Butuh panggung. Tetapi panggung tak selalu berarti harus menjadi uang sepanjang waktu. Ada kalanya dia menjadi uang, khusus buat seniman. Ada kalanya dia menjadi sumbangan bagi sesama manusia.

Sepanjang hari cuaca begitu cerah, tidak hujan. Surat edaran soal pemadaman listrik juga tidak terjadi. Semuanya berjalan lancar. Semesta alam merestui niat baik tersebut. Puji Tuhan. Tak ada syukur lain yang bisa mengalahkan rasa syukur atas rencana Allah yang indah bagi kami. Ini hadiah Valentine dari Tuhan. Restu atas rencana kami.

Saya pribadi ingin menegaskan lagi kepada diri saya sendiri. Saya bukan pribadi yang gemar main aman. Dalam hidup, ada sejumlah keberanian yang harus saya ambil. Salah satunya meluncurkan buku Rumah Kota Kita. Jika bukan sekarang kapan lagi?

Terima Kasih panitia. Ibu-ibu panitia. Percayalah, saya tidak akan menggadaikan kasih dan kesetiaan kita (saya tidak berbicara soal nalar logika kritis) dengan apapun. Karena, untuk peka dan peduli, anda tidak perlu terlalu kritis. Yang anda perlukan adalah hati, pengorbanan, dan ketangguhan.

Terima Kasih! Selamat hari kasih sayang, AGENDA 18.

Dari Tita untuk Vikth, Jenni, Blessty, Wiwiek, Niken, Sari, Della, Mas Rio, dan Yogie Pranowo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun