Di atas kereta, Blessty memesan Go-Jek dari Stasiun Manggarai, kata dia "optimistis pasti dapat." Puji Tuhan, dia mendapat Go-Jek. Berhubung handphone saya sudah mati, saya tidak bisa mencari ojek. Lalu Blessty berkata, "jangan sedih ya, tetap optimistis kita cari Grab Bike buat kakak tita." Puji Tuhan dapat juga Grab dari Blessty.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya membatin saja, "jadilah padaku menurut kehendakMu."
Keesokkan harinya, pada hari penyelenggaraan batin saya lebih siap. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Buku ini harus lahir hari ini. Blessty berkabar kalau dia sakit bentol-bentol bengkak, kemungkinan karena alergi. Ya, bisa alergi dingin kemarin karena kamk kehujanan, atau karena lintah, atau karena debu di perpustakaan. Saya meminta Blessty istirahat sejenak karena kami tak kekurangan personil. Ada Mas Rio, Kak Vikth, tetapi juga tim penulis mendapat surprise dari Kak Sari, salah seorang penulis angkatan 5 yang datang jauh-jauh dari Bali untuk menghadiri kelahiran buku kami.
Ada beberapa teman yang nampaknya mendukung kami, tetapi ada pula yang nampaknya nyirnyir. Ada saja yang mengatakan begini, "Selamat untuk Diskusi dan Peluncuran Buku Rumah Kota Kita hari ini. Maafkan tidak bisa hadir.. Sukses selalu buat Tita dan para penulis lain..Jangan pernah menukar nalar logika kritis yg kalian miliki, dengan apapun. Proficiat!. Proficiatnya dengan tanda kutip.
Berhubung saya bukan orang Jawa, saya tidak bisa memaknai Proficiat dengan tanda kutip itu maksudnya apa. Saya pun curhat kepada Mba Wiwiek. Alhasil, Mbak Wiwiek membeberkan, memang ada sebagian orang, tepatnya beberapa teman Mbak Wiwiek yang merespon Rumah Kota Kita seperti aksi diskusi bermuatan politis. Ada dua kemungkinan yang mereka pikirkan; kami menyatakan aksi mendukung Marco maju Pilgub sebagai calon independen. Kedua, kami menjadi corong Pemprov DKI. Politik itu soal pilihan. Soal kebebasan bukan penyeragaman.
Hal itu membuat saya kaget. Ternyata sepicik itukah pemikiran sejumlah orang, termasuk orang-orang yang saya pikir memiliki semangat yang sama? Termasuk orang muda yang sama-sama Katolik? Saya jadi teringat kata Blessty, "Lo ga perlu pintar-pintar amat kok untuk peduli dan peka." Sejenis dengan kalimat yang akhirnya saya simpulkan atas nyirnyiran orang, entah benar entah tidak sih, kira kira begini, "untuk peduli dan peka, lo ga perlu jadi kritis dulu kok." Tetapi dengan semua kejadian lucu itu, saya kembali teringat motto hidup saya, "No One Can Let Me Down. No One."
Ternyata penyakit "tidak adil dalam pikiran" sudah menjangkit dalam sebagian diri anak muda. Saya khawatir pula itu akan menimpa saya. Tahu apa kegelisahan saya? Sebuah jurang yang besar antara anak muda dan orang tua, membuat gagalnya orang muda mengkader penerusnya.
Selama ini, anak-anak muda berada jauh dari lingkungan pemerintahan dan akademisi. Para pemerintah pun tak membuka ruang diskusi yang banyak bagi anak anak tingkat SMP, SMA, dan kuliah. Anak muda sebatas alat pencitraan. Anak muda sebatas aksi korektif yang tidak menjadi solusi.
Tidak perlu jauh-jauh berbicara soal pemerintah atau akademisi. Kita-kita yang masih muda saja tak semua ingat mengkader adik-adik tingkat SD, SMP, SMA, dan kuliah. Kita sibuk dengan karir dan pencapaian-pencapaian diri, aktualisasi diri, bukan begitu?
Melihat itu saya makin dibuat bahagia saat peluncuran buku bukan soal ramainya peserta hingga kursi tak cukup, tetapi karena adik-adik SMP Kanisius, murid-murid Jenni Anggita sangat proaktif bertanya.
Asumsi saya benar. Anak anak dengan kepolosannya selalu membutuhkan pertanyaan. Maka mereka harus didekatkan dengan realitas bangsa, negara, kota, masyarakat tempat dia hidup. Maka mereka membutuhkan senior-senior untuk membimbing mereka dengan kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk hal ini, saya mengapresiasi rekan saya, Jenni Anggita yang sangat hebat mendidik anak-anaknya. Mendidik bukanlah perbuatan kecil, itu adalah perbuatan besar.