Kami menertawakan sejumlah respon bodoh lain dari masyarakat. Kami tak habis pikir ada saja orang yang menciptakan hestek #KamiNaksir dalam suasana genting.Â
Mungkin saat social media ramai dengan informasi simpang siur terkait pengeboman, ada sejumlah orang yang ingin meramaikan dengan hawa berbeda sehingga mencoba mencari sisi lain dari kejadian naas itu. Tetapi itu untuk pertama kalinya saya berpikir dan mengatakan kepada kedua kawan saya, "kayaknya memang kita ini masih primitif deh menggunakan social media," kata saya.Â
Saya pun menceritakan alasan saya menonaktifkan twitter sekalipun saya tahu banyak informasi yang saya butuhkan. Ini berawal ketika salauh satu lembaga penelitian meluncurkan data bahwa penyedia hestek pertama #ShameOnYouSBY pada tahun 2014 adalah SAYA. Padahal saat itu saya hanya mengadopsi hestek orang lain dari facebook. Seketika berita muncul dan saya terkenal tiba-tiba. Banyak teman bercanda, "hati-hati ilang lu tit," hahahaha bercandaan bodoh.Â
Saya pun menonaktifkan path, karena saya tidak mau difollow 500 orang sejak saham path dibeli Bakrie. Path dan Twitter sama sama menyajikan kesempatan instan bagi seseorang untuk terus mengaudit pikirannya, dan itu lama-lama menjadi boomerang.Â
Saya pun merefleksikannya matang-matang, apakah sungguh saya sudah bersiap tak primitif terhadap social media, dimana saya setiap jam menit update pikiran dalam 140 karakter, meretweet. Ah, saya pernah se ababil itu. Memalukan. Oke, sebagai bentuk perubahan dalam hidup 2% kehidupan saya boleh di social media, sisanya haruslah altar dunia. Saya pun memutuskan menonaktifkan media yang menurut saya tak ada lagi faedahnya. Social Media membawa candu ternyata, dan saya makin tertampar bahwa ini menjadi agenda kapitalisme *wayoloh*. Transparansi, liberalisme, sebesar-besar. Ada sisi positif, ada sisi negatifnya.Â
Saya juga menonaktifkan blog saya, padahal sudah saya rawat sejak SMA. Kalau ini faktornya agak sedikit labil, ya karena waktu itu lagi patah hati, takut kalau dikit-dikit curhatnya ke social media. Jadi saya harus menghadapi perasaan susah move on itu bukan dengan curhat colongan di social media apapun. Itu tantangan saya kepada diri saya sendiri. Karena saya belajar tulisna kita adalah cerminan diri kita. Â
Saya punya tekad sebagai jurnalis saya harus menulis untuk kepentingan bersama. Maka saya mulai merawat kembali akun Kompasiana yang saya bangun sejak 2012.Â
2015 saya memang berkomitmen ingin menggunakan social media sebijak mungkin. Mengandalkan hanya akun yang terbatas, katakanlah Facebook, Line, dan Instagram. Â
Saya semakin memahami tak semua kondisi, misalnya bangun tidur, muka cantik, selfie, harus di update. Saya harus memberikan sudut pandang lain kehidupan yang tidak dilihat orang. Bukan selalu foto posisi saya liputan di luar kota, sisi kota lain, tetapi foto sisi lain kehidupan. Tukang sapu jalan, burung yang beterbangan, awan mendung, anak jalanan, tukang semir sepatu, pengemis, dan nenak tua.Â
Saya menceritakan itu kepada Inas dan Imel. Saya pun menuliskannya untuk merefleksikannya kembali, sekaligus untuk mengingatkan kepada diri saya sendiri, seberapa penting saya hidup ini saya jalani, apa tujuannya, dan bagaimana mengolah social media untuk mencapai tujuan, bagaimana aplikasi ini menemani saya berproses menjadi manusia, memanusiakan manusia, bukan menjerumuskan manusia.Â
Ternyata mencapai kebijaksanaan itu sulit, dengan menuliskannya saja belum cukup. Memanusiakan manusia di era digital. Everything is on progress. To be continue.