Tetapi, dari semua lapisan umat, manakah yang harusnya lebih dibela oleh Gereja Katolik saat ini? Sekali lagi, bukankah seharusnya yang lebih dibela adalah masyarakat kecil yang miskin dan tertindas?
Saya teringat kembali masa-masa perkuliahan, masa-masa dimana saya banyak membaca, saya banyak berdiskusi, banyak menerima asupan apapun, dan dimana saya akhirnya mulai merasakan apa itu kegoyahan akan iman dan agama. Saya teringat bagaimana saat saya kuliah, saya bergaul dengan teman-teman saya yang berani menanggalkan label agama mereka, bagaimana bahkan sebagian dari mereka memilih menanggalkan kepercayaan mereka. Pada saat itu pula saya ikut mengolah kepercayaan saya, mencoba menyelaraskan gerak logika dan batin saya. Kini akhirnya saya mulai memahami perasaan-perasaan getir yang mereka alami. Mengutip kata ayah saya malam kemarin: “Fenomena ketidakadilan ini juga yang pada akhirnya membuat umat pun tak lagi memiliki keyakinan untuk ber-Tuhan. Jadi, pada saat itu pula kita sebagai yang masih memilih percaya kepada Tuhan, tidak bisa banyak menggugat mereka dengan pilihan mereka. Sebagai umat juga kita harus introspeksi diri, apakah kita sudah menampilkan wajah gereja yang sesungguhnya?”
Wajah gereja yang tak lagi miskin itu juga yang membuat saya kembali menggugat fenomena pemberkatan pernikahan anak SN. Kata ayah saya: Gereja ini semakin mewah, terlalu baik hati kepada koruptor. Tidak ada edukasi tentang jalan Kristus yang sederhana. Alhasil anaknya si SN itu juga tidak ada kepekaan kepada orang-orang miskin, sekalipun ayahnya korupsi dia tidak peduli.”
Agak berbeda dengan ayah saya, saya justru berpendapat seharusnya para imam yang memberkati anak-anak SN memberikan pemahaman pentingnya menjadi miskin sebagai bentuk empati kepada sesama, bukan melakukan pesta pora penuh kilau dan gelora. Apalagi, boleh dikata, keluarga terkait sedang berduka (eh, situ berduka nggak sih, lagi dituduh korupsi malah pesta pora).
Jadi maksud saya, DIMANA SIH ALARM DARI GEREJA UNTUK MENGINGATKAN UMATNYA HIDUP SEDERHANA PENUH CINTA KASIH?
Sepanjang perjalanan dengan ayah saya, ya saya memilih diam, karena sebagai yang lebih banyak makan asam garam, ayah menceritakan beberapa temuan-temuan tentang betapa (maaf) mata duitannya oknum dalam gereja.
Kamu tahu, gereja itu figur dari rumah Tuhan, gereja bahkan direpresentasikan sebagai Bunda Maria. Ibu Yesus itu sosok yang ramah, tabah, dan sederhana. Dimana wajah Maria dalam sosok para pengikutnya? Yang ramah (selalu menerima dan melayani baik kaya atau miskin), yang tabah (dalam pencobaan apapun selalu kuat), dan yang sederhana (dalam kehidupan tidak mengejar materi).
Dalam perjalanan saya pun teringat sahabat saya Blessty, saat kami gereja bersama dia pernah mengatakan kepada saya “Gue ogah deh kasih kolekte banyak-banyak, ujung-ujungnya buat biaya sekolah calon imam. Udah gue kasih mereka manja-manja, hidupnya tuh enak tahu Tit, mewah, serba ada. Lah kita?” kata Blessty. Kalimat itu terekam jelas dalam benak saya sampai hari ini.
Kalimat Blessty dilanjutkan oleh ayah saya; Ya pada akhirnya para imam itu juga manusia, Nona. Ketika para imam zaman dulu berlomba-lomba ke pedalaman, imam zaman sekarang maunya enak-enak di perkotaan, di lahan basah soalnya. Ada juga sebagian dari mereka banyak mengeluh, seolah panggilan mereka itu paling berat hanya karena tak menikah. Padahal kalau mereka berpikir seperti itu, sungguh jahat sekali bukan? Mereka pikir hidup orang lain lebih mudah? Padahal kan juga tidak, semua orang punya kesulitannya masing-masing. Segala kebutuhan hidup mereka sudah ada, yang memilih jalan awam ini harusnya mendapatkan doa malah diacuhkan.
Mengeluh. Itulah kunci dari semua perjalanan Jumat kemarin bersama ayah. Kami berdua berangkat kantor bersama, naik bus dari rumah menuju Jakarta (maklum kami penghuni daerah penyangga). Ayah turun di Polda, aku lanjut sampai Karet menuju kantor. Karena salah naik Kopaja, akhirnya ayah memutuskan jalan kaki dari Kuningan sampai kantornya di Pancoran. Ayah tidak mengeluh atas semua keterbatasan hidup, atau atas kejadian-kejadian memilukan yang menimpa kami. Ayah selalu tersenyum atas apapun itu yang terjadi.
Saya tidak mau munafik. Sampai saat ini saya terus berproses membentuk kepercayaan saya, untunglah saya punya landasannya, Yesus Kristus dan Bunda Maria, serta Yusuf suaminya. Keluarga sederhana. Dan ya, saya tetap tidak mau munafik, bahwa di dunia ini banyak imam yang baik, tetapi keprihatinan saya kembali kepada poin di atas, imam-imam atau pemuka agama lain yang sontoloyo juga tak kalah banyak.