Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Je Suis desole, Sebuah Permohonan Maaf

16 November 2015   01:24 Diperbarui: 16 November 2015   02:25 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disinilah saya menemukan satu kesalahan saya, diksi yang judgemental, sekalipun saya sengaja mengundang interaksi. Saat menjemur pakaian, saya pun membatin, janga sampai saya memiliki kecenderunga congkak bahwa seolah orang lain terlalu bodoh untuk mengganti profile picturenya mendukung Paris. Tetapi tetap saja, saya bersikukuh memiliki pertanyaan, ‘mengapa harus Paris?’

Saya melihat, aplikasi bernama Facebook berhasil menggiring opini dunia agar mendukung Paris. Saya mulai memasukkan sejumlah keterkaitan agenda setting global. Sejenis teori konspirasi mungkin. Pertama, facebook adalah kepemilikkan Barat, jadi wajar saja kalau agenda yang dibawa adalah permasalahan global adalah permasalahan bangsa Barat. Bukan bangsa yang rawan konflik seperti di Timur Tengah apalagi Indonesia.

Saya gerah juga jika masyarakat menyebut yang selalu punya agenda setting adalah media massa mainstream. Saya mulai menanam sebuah keyakinan aneh, bahwa media sosial pun sedang digiring untuk bisa membentuk opini dunia. Entah siapa yang bermain di belakangnya. Tetapi, itu membuat saya sangat berhati-hati menggunakan sejumlah penawaran aplikasi dari facebook, alhasil saya menjadi sedikit gaptek. Salah satunya aplikasi ‘try it’ untuk mengubah profile picture menjadi bendera Paris.

Alasan kedua. Saya tersulut rasa sedih atas sejumlah status kawan-kawan saya dari golongan muslim. Mereka merasa tersudutkan dengan pemberitaan yang menuding teroris adalah umat muslim. Ada juga beberapa komen yang malah mendukung pembantaian itu sekali lagi atas nama agama.

Saya membatin, media hanya bisa memberikan informasi, tetapi media tak sepenuhnya bisa mengendalikan pikiran atau respon seseorang. Respon adalah sesuatu hal yang bagi saya begitu mendadak, mengejutkan, dan dilapisi banyak nilai-nilai pembentuk individu.

Tahu ketakutan terbesar saya apa atas sejumlah perdebatan ini? Perang Agama. Perang untuk sebuah keyakinan yang dipaksakan. Perang untuk Tuhan yang bahkan tak pernah minta dibela. Perang untuk menguasai surga yang bahkan tak seorang pun tahu berapa ukuran dan luasnya. Sebuah perang yang paling sering dinikmati masyarakat kita dengan kultur keras kepala. Jujur saja, saya khawatir, Facebook seolah memicu perang agama. Saya paling lelah dengan perang agama.

Ada saja argumentasi, Paris adalah dominasi kaum kristiani jadi menjadi perhatian global. Sementara Timur Tengah di dominasi kaum muslim jadi tak mendapat perhatian global. Ada relasi mayoritas dan minoritas yang mematikan disini. Sungguh membahayakan sekali bukan pemikiran sempit seperti ini yang dengan sedih terpaksa saya akui masih bercongkol di lapisan masyarakat kita.

Perlakuan spesial untuk Paris ini akhirnya mendapat argumentasi, menurut Blessty ada seseorang kawannya yang memberikan argumentasi, kasus di Paris tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan kasus di Baghdad, Syria, Lebanon, Gaza, atau bahkan Indonesia.

Saya pun menemukan dari status dosen saya, Pak Widarto Adi, alasan mengapa Paris tak bisa apple to apple dengan kasus lain. Alasannya, awalnya Paris adalah sebuah kawasan yang bisa disebut aman, bukan daerah konflik. Menurut Pak Darto, ketika sebuah tempat yang dianggap aman akhirnya terkena teror *misalnya kayak di Bali juga tuh* maka kita harus sadar bahwa terorisme bukan ekskludif milik daerah konflik lagi. Itulah alasan teror Paris menjadi mengerikan, tanpa bermaksud mengecilkan daerah konflik lainnya.

Meminjam kata Pak Darto – ‘saya tidak tahu agama atau kepercayaan yang masing-masing kita peluk mengajarkan apa tidak, tetapi yang saya tahu pasti baik secara scientific atau text religius, semua manusia bersaudara.’

Menurut saya status Pak Darto ada benarnya, sekalipun ada pertanyaan kecil menyusup lagi, terorisme ternyata sudah di eksklusifkan dengan daerah konflik. Oleh sebab itu terasa semakin mengagetkan jika terjadi di arena yang aman damai. Apa yang membuat terorisme menjadi ekslusif pada daerah tertentu dan seolah tak menemukan penyelesaian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun