Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menantang Revolusi Mental

14 November 2015   17:41 Diperbarui: 14 November 2015   18:03 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat Terbuka Untuk Bapak Joko Widodo

Menantang Revolusi Mental

Matahari Terbit Dari Timur ke Barat,

Seperti Halnya Indonesia yang Terbentang Berpijar dari Sabang sampai Merauke

Bulan April yang lalu, beredarlah pemberitaan di Kompas.com tepatnya pada 16 April 2014, tentang pesan Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun, kepada bapak perihal kondisi pemerintahan sekarang yang tidak sinergis dengan pemerintahan daerah. Tak hanya itu, jika bapak masih ingat, Pak Rikard juga menyatakan pandangannya bahwa saat ini kita masih belum berdaulat di bidang politik dan ekonomi.

Saya akan mencoba mengajak Bapak kembali mengingat salah pernyataan Bapak Rikard yang seperti perumpamaan pada artikel Kompas.com itu, “Jangan lupakan Indonesia timur, Pak Jokowi. Matahari terbit di timur.”

Sebelum menuliskan ini, sesungguhnya saya baru saja membaca sebuah buku yakni laporan penelitian lapangan tentang pemetaan sistem pelayanan kesehatan di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua pada tahun 2006. Adapun laporan ini dibuat oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura dan diterbitkan oleh Lembaga Studi Pers Pembangunan (LSPP).

Laporan itu mungkin dari segi data tidak terlalu valid lagi untuk mengeneralisir konteks ekonomi, sosial, politik Indonesia Timur saat ini, namun setidaknya sejarah yang terekam adalah pembelajaran yang baik. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya? Fakta-fakta yang saya temukan dan saya jabarkan di dalam surat ini sesungguhnya hendak mencoba mengajak Bapak bersama-sama menganalisis dan mencoba membenahi rekam jejak menyedihkan ini.

Tahukah Bapak, bahwa menurut laporan UNDP tahun 2004, Jayawijaya adalah kabupaten terendah dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM)? Tak hanya itu, Jayawijaya juga menempati posisi tertinggi dalam Indeks Kemiskinan. Tentu kedua hal ini saling berhubungan, bukan Pak? Kemiskinan akrab dengan jaminan kesehatan yang juga minim. Padahal, hak untuk sehat adalah bagian dari Hak Asasi Manusia sesuai Pasal 28H Amandemen UUD 1945. Sehingga, pembangunan kesehatan semestinya merupakan pemenuhan hak warga negara dan pelayanan umum (public good and services) atas kesehatan.

Maka, izinkanlah saya Pak Jokowi, melalui surat ini membeberkan beberapa keprihatinan berdasarkan laporan tersebut yang bisa menjadi senjata Bapak dalam menjalankan amanat dari Bapak Rikard terkait pembangunan Indonesia Timur.

Sesungguhnya Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua yang diberlakukan tahun 2001 diharapkan membawa solusi bagi hajat hidup warga Indonesia di tanah cendrawasih tersebut. Namun sayangnya, kita bisa nyatakan bahwa solusi tersebut tidak memberikan dampak yang diharapkan. Lihat saja Kabupaten Jayawijaya masih dilanda Kejadian Luar Biasa (KLB) Kolera sepanjang Maret-April 2006. Tak hanya itu, angka kematian ibu dan bayi masih tergolong tinggi yakni sekitar 60% tahun 2006.

Bapak juga perlu mencatat, pada masa itu, tidak ada perangkat hukum yang dibuat oleh tingkat lokal untuk menciptakan pelayanan kesehatan, sebaliknya justru dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemungutan retribusi dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Tidakkah logika ini berkebalikan dari cita-cita konstitusi dalam penerapan hak asasi manusia? Menemui fakta ini, saya mulai membaui adanya kebiasaan buruk yang mirip dengan premanisme namun berkedok pelayanan masyarakat. Sebuah kebiasaan memarjinalkan rakyat karena terbiasa mengikuti mentalitas penjajah yang transaksional. Ada uang, maka ada barang.

Sulitnya pembangunan fasilitas kesehatan yang layak ialah karena riwayat dari Kabupaten Jayawijaya yang merupakan daerah rawan konflik. Yang mana antara tahun 2003, kerap terjadi bentrok antara “kelompok tertentu” dengan tentara. Kondisi ini berakibat dengan penghancuran banyak fasilitas-fasilitas kesehatan akibat perang. Penyebab berikutnya, persis seperti yang dikatakan Bapak Rikard Bagun, yakni masalah politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Minimnya taraf pendidikan menjadi salah satu faktor utama dari ketertinggalan Jayawijaya dan beberapa daerah di Indonesia Timur lainnya untuk memahami masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam ranah daerahnya sendiri hingga ranah nasional.

Jika kita kembali kepada konteks pelayanan kesehatan, maka beberapa penyebab lain gagalnya pemerataan kesehatan di Jayawijaya secara lebih spesifik menurut SKP Jayapura adalah; 1. Dinas Kesehatan tidak memiliki data yang memadai karena sangat jarang menyusun pelaporan berkala, 2. Standar pelayanan minimum berupa fasilitas sarana dan obat-obatan yang tersedia belum memadai. Maka, jika ada warga dengan penyakit yang membutuhkan penanganan khusus, pasien akan dibawa ke rumah sakit di ibukota atau kabupaten terdekat, 3. Data akurat tentang mutu dan jumlah tenaga kerja yang dimiliki Kabupaten Jayawijaya sangat meragukan dan membingungkan karena tidak pernah dilakukan rekap data secara berkala. Akibatnya, rasio yang tidak jelas ini memperkuat asumsi kegagalan sistem yang diberlakukan dan dijalankan oleh pemerintah daerah, 4. Alokasi anggaran Kesehatan oleh Dinas Kesehatan yang tidak transparan bahkan pernah mengalami penurunan dari APBD. Tahun 2005, APBD menganggarkan 10,5% untuk anggaran bidang kesehatan. Tahun berikutnya, yakni tahun 2006, anggaran untuk kesehatan dari APBD diturunkan menjadi 9,7% meskipun terjadi peningkatan nominal total APBD, 5. Terakhir, ini adalah penyebab geografis yang kerap kali menjadi alasan dari pemerintah pusat maupun daerah serta petugas kesehatan untuk membangun fasilitas yakni kendala geografis. Hal ini mengingat kondisi Jayawijaya yang bergunung-gunung dan saat itu akses jalan raya darat tidak bisa diakses dengan mobil.

Kekisruhan ini saya nilai tak lepas dari habit atau kebiasaan masyarakat baik pejabat maupun warga sipil yang abai pada sistem administrasi serta pemahaman akan kewajiban transparansi. Oleh sebab itu, Bapak mungkin sudah mengetahui konteks-konteks ini dan mencoba memberikan penyelesaian. Adapun solusi yang ditawarkan oleh Bapak dan Pak Jusuf Kalla seperti yang saya dengar langsung saat debat capres, yakni dengan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Bapak dan Pak JK menekankan pada perbaikan sistem dan melakukan revolusi mental terhadap segenap warga masyarakat Indonesia, terlepas dari apapun latar belakangnya.

Tidakkah secara ringkas dari point-poin kompleks diatas saya menyimpulkan kepada Bapak bahwa pemerintah daerah kita,warga Indonesia mengalami kegagalan dalam proses pengukuhan kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik. Kalimat barusan persis seperti yang diujarkan oleh Ibu Karlina Supelli dalam menanggapi Revolusi Mental yang diganyangkan oleh Bapak.

Ketika berhadapan dengan realitas salah satu bagian Indonesia Timur yang saya paparkan dengan tawaran definisi dari Ibu Karlina Supelli sesungguhnya memang ada hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola cara berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits).

‘Revolusi Mental’ yang sebelumnya hendak saya gugat kepada Bapak tercerahkan melalui penjelasan oleh Ibu Karlina. ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yakni sebuah perubahan mendasar dalam mentalitas menyangkut cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dan sebagainya. Proses ini adalah peta untuk melangkah dalam mengubah secara lambat-laun kebiasaan bangsa.

Sebagai contoh yang diberikan oleh Ibu Karlina, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah kebhinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku atau etnisitas, dan lainnya. Nah, jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab. Ini persis seperti konteks Jayawijaya yang sudah saya sodorkan sebelumnya diatas.

Bapak, segenap jajaran pemerintahan bapak kelak, segenap warga negara bertanggung jawab untuk mendidik gagasan akan Indonesia yang transparan, berintegritas, dan bertanggung jawab di setiap daerah dan khususnya kepada setiap kepala-kepala daerah. Strategi yang ditawarkan Ibu Karlina adalah melalui proses pendidikan yang mana harus bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge).

Misalnya, ketika berhadapan dengan kesulitan mengetahui data tenaga kerja kesehatan di daerah, atau data pasien dengan berbagai penyakit dalam kurun waktu tertentu di salah satu daerah, kerap kali pihak yang bertanggung jawab tersebut kelimpungan untuk memberikannya. Maka diperlukan langkah membiasakan diri terhadap transparansi dan kedisiplinan dalam penyusunan laporan. Sebuah tindakan-tindakan administratif saat ini cenderung dilakukan bukan sebagai sebuah kebiasaan dan tanggung jawab, tidak dianggap pokok, sehingga gagalnya pengumpulan data yang akurat kerap kali dengan mudah diampuni. Perlu ada upaya menjadi transparansi atau sikap terbuka yang jujur sudah mengalir dalam tiap diri individu. Seperti sebuah oksigen yang tanpa perlu dipertanyakan akan tetap bisa dihirup.

Alhasil, cita-cita Revolusi Mental sesungguhnya adalah gerakan yang progresif dan berskala nasional. Gerakan ini mencakup masyarakat seluruhnya agar perilaku sosial setiap individu menjadikan sebuah kebiasaan yang paling diutamakan sebagai warga negara.

Revolusi Mental yang dicita-citakan Bapak sepenuhnya sudah saya serap sebagai sebuah pekerjaan besar yang sudah harus ditanamkan kepada setiap individu bahwa masyarakat jangan hanya berpangku tangan menunggu dan menggugat kebijakan. Revolusi Mental jelas memberikan ruang seluas-luasnya untuk segenap masyarakat, khususnya civil society, untuk segera bersiasat yang memfokuskan dirinya masing-masing pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok warga negara. Revolusi Mental adalah gerakan rutin yang panjang dan memerlukan kesabaran.

Sangat diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya yang saya paparkan tentang kondisi teman-teman di Indonesia Timur, Jayawijaya khususnya. Maka memang perlu dimulai langkah bagaimana merevolusi mentalitas segenap elemen masyarakat dari mulai pejabat daerah yang perlu diakui kerap lalai dalam menjalankan tugas. Masih menjadi raja-raja kecil yang bersifat seperti parasit bagi masyarakatnya, mengumpulkan kantong-kantong kekayaan dari penghasilan daerah tanpa disertai totalitas dan hasil kerja yang maksimal dan sesuai amanat konstitusi.

Tak hanya pejabat daerah, tetapi juga segenap masyarakat, dalam konteks ini adalah para pejabat dan petugas kesehatan, serta segenap masyarakat dalam berbagai latar belakang. Mulai membiasakan diri untuk mengerahkan kekuatan civil society untuk mendorong terciptanya pemerataan kesehatan. Adapun banyak cara bisa ditempuh dari mulai yang bersifat mendorong pemerintah hingga yang sifatnya inisiatif civil society tanpa melibatkan pemerintah daerah secara umum. Insiatif adalah modal utama pembangunan.

Kawasan Indonesia Timur harus diakui hingga saat ini belum mengalami perkembangan yang signifikan jika dikontraskan dengan pulau Jawa. Berbagai karakteristik daerah sampai pola hidup menjadi pertimbangan khususnya. Ataukah juga masih minimnya inisiatif dari tokoh-tokoh dan warga setempat untuk memperjuangkan dan melakukan perubahan.

Padahal, kinerja warga setempat adalah motor utama perubahan, mengingat warga setempat adalah yang paling tahu dan memahami situasi dan kondisi daerahnya. Disinilah PR besar Bapak sebagai calon presiden untuk mensosialisasikan pemahaman revolusi mental. Pertanyaan menantang yang hendak saya ajukan kepada bapak dan segenap rakyat, siapkah kita melakukan revolusi mental tersebut? Jangan sampai kita terjebak pada nilai-nilai luhur yang populer dari kata-kata ‘Revolusi Mental’ namun tak pernah berupaya memahami secara implementatif maksudnya.

Akhir kata saya akan mengingatkan kepada Bapak, kerap kali pemerintah pusat abai pada keterbutuhan masyarakat terkait akses informasi dan keterkenalan rakyat pada calon pemimpinnya. Keterbatasan akses informasi kerap kali menjadi kendala bagi rakyat di daerah mengenal calon pemimpinnya. Jangankan untuk mengenal calon pemimpinnya, untuk mengetahui perkembangan situasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam negeri sendiri saja masih sangat terbatas.

Di sisi lain memang kita bisa melihat hal ini sebagai peluang sehingga calon pemimpin tak perlu menyentuh langsung daerah dan meriset sendiri, ia hanya cukup menggunakan sosok opini publik di daerah setempat, entah pejabat daerah, kiai dan ulama, entah juga rohaniwan biarawan dan biarawati, atau kaum intelektual setempat dalam memberikan pemahaman akan calon pemimpin serta menyalurkan visi-misinya. Tokoh-tokoh ini lalu menjadi penyalur dari kelancaran komunikasi politik, sayangnya perilaku para penyalur ini jangan terus menerus menjadi andalan karena bagi saya bisa menyebabkan kebutaan politik seperti yang terjadi saat ini.

Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan revolusi mental yang mumpuni jika masyarakat masih dituntun dalam berpolitik, dalam memperjuangan hak-haknya yang sesuai dengan konstitusi, serta mengambil keputusan, karena masih mengalami kebutaan politik? Oleh sebab itu saya mengiimbau Bapak, sekiranya berkenan untuk mulai menonjolkan aspek-aspek spesifik pengentasan kebutaan politik untuk meningkatkan efektivitas pencapaian cita-cita revolusi mental.

Jadi, inilah arti revolusi mental yang diamanatkan kepada civil society sesungguhnya: bahwa civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia. Dan ya, itulah ‘Revolusi Mental’ yang harus menyebar di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari terbitnya matahari di Timur dan terbenamnya di Barat. Akhir kata, apapun yang terjadi, menang atau kalah, cita-cita revolusi mental ini semoga tidak berhenti diatas kertas ya Pak.

Buta terburuk adalah Buta Politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar, “aku benci politik!” Sungguh bodoh dia, yang tidak mengetahui bahwa karena dia tak mau tahu politik. Akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri – Bertolt Brecht, Penyair German

 

Salam, Gloria Fransisca Katharina Lawi     

Salah satu anak dari Indonesia Timur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun