Perbincangan mengenai hubungan sipil militer hingga kini masih menjadi pembahasan hangat, bahkan di negara yang mengaku paling menjunjung tinggi demokrasi sekalipun. Hal ini juga masih terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Selain menjadi pembicaraan ranah ilmu pertahanan, pembicaraan mengenai hubungan sipil dan militer juga terjadi pada tataran ilmu politik. Untuk itu sebagai ilmuwam politik, penting untuk mengulas tentang hubungan sipil dan militer. Tulisan ini akan mengulas konsep hubungan sipil dan militer yang diambil dari bab satu buku yang ditulis oleh Dr. Yusa Djuyandi, S.IP., M.Si. dengan judul "Hubungan Sipil Dan Militer: Dalam Diskursus RUU Keamanan Nasional".
Pada awal bab, Dr. Yusa Djuyandi menjelaskan kaitan antara hubungan sipil militer dengan konteks demokratisasi. Menurut Born ketaatan terhadap prinsip-prinsip itu mematuhi otoritas demokratis yang bertanggung jawab dan sah, dan adanya parlemen yang melakukan pengawasan terhadap militer dan mengizinkan deklarasi perang dan juga membuat akuntabilitas eksekutif  kepadanya dalam hal kebijakan pertahanan. Dari pendapat ini kemudian Born kemudian mendefinisikan hubungan sipil militer yang demokratis sebagai tata kelola pemerintahan yang baik dalam sektor keamanan, dan akuntabilitas masing-masing anggota sektor keamanan terhadap hukum nasional dan internasional sebagai netralitas politik.
Hal mendasar dalam hubungan sipil militer dalam konteks demokratisasi adalah terwujudnya supremasi sipil terhadap militer. Dalam konteks hubungan sipil militer, penggunaan istilah supremasi sipil harus dimengerti sebagai suatu kedaulatan rakyat. Dalam hal ini rakyat merupakan warga negara yang menjadi pemangku kepentingan. Dalam supremasi sipil harus terjadi proses pemilihan umum yang demokrastis, serta memiliki akuntabilitas politik, dan hukum menjadi junjungan oleh seluruh pemangku kepentingan. Dasar dari terbentuknya supremasi sipil adalah adanya kontrol sipil. Kontrol sipil menjadi hal fundamental dan prasyarat dalam proses berdemokrasi. Ciri-ciri negara yang sudah memiliki demokrasi yang baik adalah adanya profesionalisme militer yang tinggi, efektifnya militer sebagai subordinasi sipil, peran dan kompetensi militer yang dipahami oleh pemimpin sipil, dan peran militer yang minim dalam politik praktis.
Dalam mewujudkan supremasi sipil, hal fundamental yang harus dijalankan adalah kontrol sipil (civilian control). Setidaknya terdapat dua model kontrol sipil. Pertama, model kesukarelaan (voluntary submission to civilian). Kedua, adalah model keterpaksaan (forced submission to civilian control). Jika model pertama dianggap sulit untuk dilakukan, maka model kedua harus dilakukan, namun untuk menerapkan model kedua harus diperlukan sebuah keputusan politik.
Teori hubungan sipil dan militer diangkat oleh beberapa ahli, seperti Huntington, Janowitz, Cohen, Schiff, dan Feaver. Basis ide mengenai hubungan sipil militer berasal dari dua ahli, yaitu Huntington dan Janowitz. Dengan alasan inilah kedua ahli tersebut dapat dikatakan sebagai bapak penemu (founding father) dari teori hubungan sipil militer. Walaupun mereka menjadi penemu teori hubungan sipil militer, tidak menampik bahwa ahli lain juga memiliki sumbangsih terhadap teori hubungan sipil militer.
Salah satunya adalah Feaver yang menyumbangkan idenya dalam hubungan sipil militer dengan Teori Ajensinya yang menjelaskan empat pola hubungan sipil militer yang seperti dijelaskan dibawah ini:
Teori ini menjelaskan kecenderungan kontrol sipil subyektif yang bergerak semakin kekiri dan kontrol obyektif bergerak semakin ke kanan. Dua kutub kontrol yang terbentang dibagi menjadi empat kategori mulai dari CMI-MW (ekstrim subyektif) hingga CMU-MS diujung kanan (ekstrim obyektif). Â
Huntington menjelaskan bahwa dengan memaksimalkan kontrol sipil merupakan cara terbaik untuk mencapai hubungan sipil dan militer yang efektif. Kehadiran kontrol sipil obyektif sangat dibutuhkan dalam hubungan sipil militer yang efektif, walaupun pelaksanaan hubungan sipil militer tidak begitu saja harus tunduk pada aturan seperti damai atau perang, namun lebih kepada ideologi antara masyarakat sipil dan etik profesional militer.
Hubungan sipil militer tidak dapat dilepaskan dari perkembangan demokrasi, khususnya di Indonesia. Fokus utama dalam perkembangan demokrasi di Indonesai adalah isu keamanan nasional yang didalamnya terkait dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh kekuasaan negara. Hideaki Shinoda mengungkapkan terdapat hubungan antara proses demokratisasi dengan perkembangan human security sebagai bagian dari non traditional security. Perkembangan konsep keamanan ini dipengaruhi oleh tiga aspek utama yang terdiri dari demokratisasi, internasionalisasi, dan sosialisasi.
Pendapat yang dikemukakan oleh Shinoda  merupakan kondisi yang merubah paradigma bahwa keamanan saat ini tidak hanya semata-mata sesuai dengan kepentingan kekuasaan negara, sebab permasalahan kemananan juga menyangkut keamanan manusia. titik temu dari konsep demokrasi dan hubungan sipil militer adalah bahwa demokrasi menuntut adanya kemanan dari manusia dari berbagai ancaman dan tekanan, selain itu jalannya sistem politik demokrasi juga menuntun adanya pola baru hubungan sipil militer yang mendorong terwujudnya pengawasan atau kontrol sipil terhadap militer.