Mohon tunggu...
Ahsan Andi Husain
Ahsan Andi Husain Mohon Tunggu... -

Saya adalah penulis. Telah menulis lebih dari 150 judul FTV tayang di RCTI, SCTV dan TPI, Konseptor sinetrons serial Candy (RCTI), Mantan wartawan (7tahun), Sekarang sedang menulis Novel pertama. Mantan penulis scrip Infotainment, Manajer Manohara Odelia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

JULI, BULAN AIR MATA (Bagian 2)

28 Agustus 2010   18:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku baru merasa bersalah telah menyia-nyiakan kedatangannya, di hari dia akan kembali ke Surabaya. Dia pamit dengan wajah sedikit dingin. "Aku mau pulang kampung, mungkin aku tidak akan kembali lagi ke Surabaya," katanya. Tidak ada perasaan curiga dengan ucapannya itu, bahkan sebersit firasat pun tidak ada. Sama sekali tidak ada. Itu terakhir kali ketemu dia, sekitar dua bulan sebelum aku menerima kabar, kalau dia memang benar benar tidak kembali lagi ke Surabaya.

Dia pulang kampung, seperti mengejar ajalnya. Sebuah cerita panjang menuntunnya ke arah kematiannya. Dia sempat ketinggalan kapal dari Kaleroang, pulau tempat kelahirannya di perbatasan Sulawesi Tengah dan Tenggara. Tapi dia tetap harus ke Kendari hari itu juga, karena sudah janji akan datang di perkawinan keponakanku di Kendari. Dia pun pergi ke kampung lain hanya untuk mendapatkan tumpangan kapal agar bisa berangkat. Dan ternyata dia mengejar ajalnya, sehari setelah dia tiba di kota kecil itu.

Sekarang dia telah pergi, selama lamanya. Tidak ada tempat bahkan pojok dunia yang membuat kami sanggup mencarinya. Dia bagai angin yang berlalu begitu saja. Hilang entah kemana. Tuhan seperti telah memberikan aku tanda tanda bahwa adikku nomor 4 ini akan pergi terlebih dahulu sebelum kami.

Aku pernah bermimpi ketika masih tinggal bersama, lima bersaudara. Dalam mimpiku, rumah kami diserang tornado, berputar putar di atas rumah. Atap rumah kami terbang, kami melayang layang berputar putar. Tapi tak lama kemudian, kami terjatuh ke tanah, secepat kilat kami berpegang pada tiang tiang rumah yang tersisa, tapi tidak dengan almarhum adikku, dia ditarik oleh angin berputar itu, dia menggapai gapaikan tangan, aku pun berusaha meraihnya, tapi tidak tertolong, dia semakin menjauh, menghilang diantara angin berputar. Sampai angin puyuh itu berhenti, dia sudah tidak ada.

Hari ini 6 tahun silam.

Setahun lalu, tepat di jam dan tanggal yang sama, aku membuka selembar kertas usang dengan bekas lipatan yg sudah sulit untuk dirapikan lagi. Kertas isi berisi tulisan almarhum adikku. Di selembar kertas itu, adikku becerita ketika pada suatu malam dia menangis, karena menemukan selembar kertas berisi puisi yang aku tulis tangan.

Puisi itu seolah warisan yang entah tercecer dimana, sehingga dia menemukannya, membacanya hingga bercucuran air mata. Aku ingat betul, saat aku masih awal kuliah di Surabaya, aku menulis puisi itu pun dengan air mata yang berurai. Hidup kami memang penuh dengan air mata. Bahkan saat bahagia pun sering membuat kami menitikkan air mata, agar kami ingat air mata yang dulu jatuh karena bersedih.

Almarhum adikku itu terlalu pendiam, tidak pernah ada masalah yang tidak dipendamnya sendiri. Bahkan kami tak pernah tahu ada duka di hati terdalamnya. Hari harinya penuh dengan senyum. Hanya tubuhnya yang ringkih dan kurus, membuat kami sadar kalau dia kekurangan sesuatu, karena mungkin dia kurang beruntung di rantaunya.

Dia tidak pernah mengeluh. Dia tidak pernah membagi dukanya. Hanya rasa sukanya saja yang dia ceritakan. Kami baru sadar, begitu menderita batinnya, ketika dia telah pergi untuk selama lamanya. Sebuah catatan catatan kecil dibuatnya di lembaran lembaran buku tulis, yang disimpannya sebagai diary. Dia berbicara pada buku itu. Dia berkisah tentang kesedihannya, penderitaannya, yang tidak pernah diceritakan langsung pada siapapun.(BERSAMBUNG...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun