Mohon tunggu...
Ahsan Andi Husain
Ahsan Andi Husain Mohon Tunggu... -

Saya adalah penulis. Telah menulis lebih dari 150 judul FTV tayang di RCTI, SCTV dan TPI, Konseptor sinetrons serial Candy (RCTI), Mantan wartawan (7tahun), Sekarang sedang menulis Novel pertama. Mantan penulis scrip Infotainment, Manajer Manohara Odelia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

JULI, BULAN AIR MATA (Bagian 2)

28 Agustus 2010   18:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah Catatan : Ahsan Andi Husain

Tuhan memang tidak mengijinkan aku untuk bertemu dengannya, meski itu hanya seonggok tubuhnya yang dingin. Aku berangkat ke Surabaya untuk mencari jalur lain ke Kendari. Di bandara Juanda, adikku, Tatink, sudah menungguku dengan wajah gusar. Di keluargaku, dia termasuk anak yang paling tegar. Dia seperti baja yang tidak pernah lekang oleh panas. Dia paling tenang. Tapi pagi itu, dia menangis. "Pampang, Sank," hanya kata itu yang keluar dari bibirnya. Matanya berkaca kaca, merah.

Selanjutnya kami berangkat menuju Makassar karena waktu itu belum ada penerbangan langsung ke Kendari dari surabaya. Matahari semakin beranjak turun. Kami seperti berkejaran dengan waktu. Gelisah selama dalam perjalanan. Sampai di Makassar, rasanya waktu tidak terkejar lagi. Perutku yang tidak terisi sejak pagi, sudah kehilangan gairah makan.

Aku seperti tak merasakan lapar karena rasa sedih yang menyusupi seluruh rongga di tubuhku. Lagi lagi penerbangan ke Kendari hanya tersisa sore hari jam 4 lewat. Berarti aku tiba di Kendari sekitar pukul 5. Adikku sudah terlalu lama menunggu. Aku tidak ingin membiarkan dia kedinginan terlalu lama. Akhirnya aku ikhlaskan dia untuk dimakamkan, sebelum aku menyentuhnya.

Ketika aku sampai di Kendari setelah Magrib, aku hanya disambut tangis. Bekasnya tak ada lagi, bahkan wangi tubuhnya pun sudah tidak tercium. Dia seperti hilang di telan langit. Ingin rasanya melihatnya saat itu, entah seperti apapun keadaannya. Bahkan bayangannya pun sangat aku rindukan. Tapi ternyata mungkin hanya dia yang bisa melihat kami menangisi kepergiannya, tanpa bisa menyentuh kami.

Terlalu banyak kenangan bersamanya. Takkan pernah cukup tinta untuk menulisnya, takkan pernah habis waktu untuk mengisahkannya. Aku terakhir bertemu dia, dua bulan sebelum kepergiannya. Dia memutuskan akan pulang kampung, setelah sekian lama di Surabaya. Niatnya ingin istrahat, makan sepuasnya supaya badannya yang kurus itu sedikit berisi, karena dia akan berangkat ke Jepang untuk bekerja. Semua persiapannya sudah matang. Tinggal pelatihan.

Selama dia di Jakarta, aku hampir tidak berbicara banyak seperti biasanya. Seperti sebelumnya kami sering bercerita hal hal lucu. Aku suka ketika dia tertawa, suaranya kecil, ringan. Dia tidak pernah tertawa terbahak bahak. Dia sangat bersahaja dengan suaranya, dia lebih banyak tersenyum. Wajah manisnya, sampai sekarang masih melekat di mataku, di pikiran bahkan di hatiku.

Waktu itu aku masih kost dengan penghasilan yang hanya cukup buatku makan dan sedikit bersenang senang, itu pun dengan bekerja sambilan apapun selama halal. Aku benar benar berjuang dari tidur beralaskan tikar di Jakarta, dengan bantal tas berisi pakaian. Tapi aku punya tekad, aku tidak akan kembali. Jakarta adalah kota impianku. Kota yang ingin aku taklukkan. Kota yang aku tahu kejamnya lebih dari ibu tiri.

Setiap kali adikku datang, kami sama sama tidur di lantai makan nasi bungkus bersama, yang kadang dia sisakan sedikit untuk makan dia berikutnya. Tapi kami bahagia, bahagia sekali. Bahagia berada di rimba Jakarta yang hendak aku taklukkan ini.

Jujur saja aku dendam pada Jakarta. Ketika pertama kali aku mengais rejeki di kota ini, dua tahun sebelum jadi wartawan dan saat itu aku masih kuliah di Surabaya, aku pernah sangat terhina, diperlakukan serendah rendahnya di lokasi syuting. Tapi dalam hati aku berjanji, lihat suatu saat aku akan melebih kalian, supaya kalian tidak menyepelekan aku lagi. Tidak ada maksud apa apa dari kata kataku, itu hanya sekadar membuat hatiku sedikit terhibur.

Aku sering berkisah pada almarhum adikku, tentang apa yang aku rasakan selama tinggal di Jakarta. Tapi tidak ketika dia datang untuk terakhir kalinya. Aku terlalu sibuk. Aku berangkat pagi, pulang menjelang subuh. Kadang aku tidur di kantor, karena sudah kelelahan mengejar deadline. Aku bahkan tidak terpikir adikku sudah makan atau belum. Dia pegang uang atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun