Mohon tunggu...
Siti Masruroh
Siti Masruroh Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

Imaginer, Freedom Writer, Bolang, Nyastra. and always support go to Leiden

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa, Konspirasi Super Instan, Utopis?

25 Februari 2018   18:19 Diperbarui: 25 Februari 2018   18:27 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bergulirnya orde baru memberikan efek yang besar bagi generasi bangsa ini. Selain kemajuan juga kemunduran. Kontribusi terbesar berakhhirnya rezim orde baru tahun 1996-1998 sebagian besar adalah kaum muda. 

Lebih tepatnya kaum intelektual yang bisa mencium bau rakyat yang ada di sekitarnya dan sering dipanggil mahasiswa. Mereka berkumpul di Ibu Kota untuk menyuarakan keinginannya dari setiap perwakilan daerahnya masing-masing sehingga terjadilah sebuah reformasi. Inilah versi mahasiswa tahun 1996-1998, mereka yang selalu di garda terdepan untuk menyuarakan ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah. 

Mereka yang selalu berpindah dari penjara ke penjara lain hanya untuk menuntuk sebuah kebenaran. Pada masa itu merupakan hal yang lumrah dan malah patut diacungi jempol. Mereka tidak hanya berkutat buku di bangku perkuliahan atau asyik dengan android yang salah satunya menawarkan Mobile Legend.

Menarik kembali ke era mahasiswa 2018-an yang terjadi pada masa ini. Tempo hari yang terjadi terkait mahasiswa UI yang memberikan kartu kuning kepada Presiden Jokowi. Yang terjadi bukan malah respon yang positif namun sebaliknya bahwa yang dilakukan mahasiswa ini adalah ketidak sopanan seorang pelajar. Banyak yang berkomentar mengenai perilaku anak ini dan banyak juga yang mendukung anak ini untuk terus berani berpendapat. Hal ini salah satu cerminan yang terjadi di mahasiswa sekarang. 

Mereka malah bertanya-tanya mengenai posisinya masing-masing. Anggap saja dibenaknya seperti ini, sudahkah saya menjadi mahasiswa? Atau saya belum diakui sebagai mahasiswa?, kapankah saya harus memulai? Atau saya harus memilih mempelajari dikta-diktat yang  akan menjamur hitam dan terjebak di satu ruangan yang katanya tempat paling baik untuk bertukar ilmu. Atau saya harus turun ke lapangan melihat keadaan langsung dengan bermodal  teori yang pernah saya pelajari.

Baiklah itu semua adalah pemikiran yang sama baiknya. Sekarang mahasiswa mau mengimajinasikan dirinya menjadi apa itu adalah keputusannya. Menjadi mahasiswa berarti sudah harus siap menentukan pilihan dari setiap apa yang akan dilakukan. Sehingga tidak ada istilah  lagi untuk setiap orang menyamakan ukuran seorang mahasiswa berdasarkan dari jamannya. Karena setiap jaman adalah berbeda, kita boleh di masa depan namun masa lalu juga sebagi cerminan untuk setiap kita melangkah. 

Namun bisa saja ungkapan ini menjadi seolah klise yang menjadi pembenaran karena sering diucapkannya. Menjadikan mahasiswa sekarang berlomba-lomba mengamininya. Setelah itu terjadilah konspirasi "Super Instan".

Super instan adalah yang terjadi hari ini semua serba muda untuk didapatkan dan juga lebih murah serta cepat dilakukan. Dari apapun sektor super instan sudah menguasai kehidupan mahasiswa. Contoh saja ketika mahasiswa dan dosen harus saling bertatap muka untuk konsultasi akademiknya. Namun sang mahasiswa tidak bisa bertemu dan dengan sopannya bertatap muka lewat videocall. 

Tidak hanya itu transportasi juga sudah mudah dijangkau tak harus kaya untuk memimpikan naik mobil. Jasa yang menawarkan kemudahan dengan berbasis aplikasi sudah banyak di smartphone masing-masing. Makan dan juga belajar sudah bisa ditemui di dalam smartphone.

Alangkah mudahnya hidup mahasiswa sekarang. Alih-alih terperangkap ke dalam zona nyaman hingga tak bisa bergerak dan selalu membenarkan keadaan. Dikatakan apatis juga bisa atau bisa jadi skeptis. 

Jangan sampai terbangun pemikiran kaum utopis yang ada di maasiswa sekarang. Marilah wujudkan dengan apa yang akan dilakukan. Tidak  perlu bingung karena sulit memilih dngan apa yang diyakini. Apapun yang  dipilih oleh kaum intelektual harusnya sudah mempunyai cerminan untuk di gugu lan ditiru. Salah satu ungkapan orang jawa mengenai singkatan seorang guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun