Mohon tunggu...
Gilang Embang
Gilang Embang Mohon Tunggu... -

di atas buku boleh saja ada setan tapi di atas alam pasti ada tuhan\r\nimbangi baca buku dengan belajar langsung di alam!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konflik Thailand Selatan

10 Desember 2012   15:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:52 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun saya selalu bercelana pendek, membawa sepeda seperti layaknya mat saleh (sebutan untuk orang kulit putih), tak berjanggut panjang, dan tak berpakaian putih-putih. Saya sempat dicurigai sebagai orang yang akan bertindak makar. Pasalnya waktu itu saya tidak tahu harus mencap pasport di perbatasan karena tidak ada petunjuk pengarahan.

Saat itu, saya memasuki kuil budha yang didepannya ada tulisan “ancient monument” bermaksud ingin melihat-lihat dan mengambil beberapa jepretan. Ternyata didalamnya nampak orang sedang berjaga-jaga. Salah satu dari mereka menghampiri saya dan menanyakan pasport. Sesaat membaca, ia langsung menanyakan stempel imigrasi thailand. Kami saling tidak mengerti bahasa, sehingga suasana semakin rumit. Akhirnya, mereka mengundang penerjemah bahasa inggris. Darinya saya tahu bahwa saya dicurigai sebagai orang yang akan berbuat aksi teror.

Setelah memberi alasan yang tepat akhirnya saya diarahkan untuk mencap pasport lebih dahulu. Itu artinya saya harus mengulang kembali 36 km yang sudah saya tempuh. Cap hanya bisa didapat di perbatasan Malaysia-Thailand. Sebelumnya, saya masuk lewat sungai Golok Yanf. Untunglah di pelabuhan Tak Bai yang jaraknya lebih dekat, terdapat jalan masuk perbatasan Malaysia-Thailand melalui kapal ferry.

Belakangan saya tahu bahwa kuil budha tersebut pernah menjadi sasaran pemboman.

Setelah mendapatkan cap Thailand di perbatasan Tak Bai, saya kembali menyusuri jalan. Setiap 5 km nampak barikade tentara. Disetiap persimpangan hingga semak belukar terdapat setidaknya dua orang tentara yang berjaga.

Sampai pukul empat sore mengayuh, saya putuskan untuk mencari tempat menginap. Dimana lagi selain di mesjid. Namun, dekat dengan mesjid ada kedai muslim yang menggoda selera makan yang membuat saya harus mampir terlebih dulu. Disana nampak beberapa gadis pelajar yang memakai kerudung lebar dan memakai cadar sedang membeli makanan. Selain itu, banyak anak-anak sekolah yang memakai pakaian khas timur tengah. Nampaknya pakaian seperti itu sangat umum di daerah ini.

Malam itu saya habiskan di salah satu mesjid tertua di Thailand yang didirikan tahun 1044 Hijriah. Mesjid ini berbentuk panggung dan konstruksinya tidak menggunakan paku. Mesjid ini mirip dengan Mesjid Agung Demak

Esoknya, saya berencana melanjutkan perjalanan sekitar pukul 9 pagi. Tetapi, sebelumnya saya menyempatkan untuk duduk dan berbincang-bincang di kedai kopi. Rupanya disana sudah ada perbincangan hangat. Mereka sedang bercerita tentang pemboman yang baru saja terjadi, sekitar pukul 7 pagi, ketika saya sedang terlelap tidur. Lokasinya hanya berjarak 4 km.

Diperjalanan ternyata memang benar. Lalu lintas macet. Banyak orang berkumpul mengerubungi satu titik. Kemungkinan tempat terjadinya letusan, namun saya kurang berminat melihatnya.

Di Thailand ini nampaknya terdapat 3 etnis yaitu Siam (Thai), Melayu, dan suku asli yaitu Suku Sakai. Etnis Melayu yang beragama Islam ini terkonsentrasi di daerah selatan, sedangkan Siam yang beragama budha mendominasi Thailand terutama di bagian utara.

Dari Jaman Kerajaan

Pada awalnya aksi perlawanan suku Melayu-Islam ini bukan berlatar belakangkan agama melainkan perlawanan etnis Melayu terhadap dominasi kerajaan Siam.

Dahulu, Thailand Selatan yang Melayu ini termasuk kedalam bagian kerajaan Sriwijaya yang kawasannya meliputi Indonesia, Malaysia, Kamboja hingga daerah Chaiya, Thailand Selatan. Berdasarkan reruntuhan candi di Chaiya, Thailand Selatan.

Kerajaan Sriwijaya yang semula Hindu berubah menjadi Islam setelah rajanya pindah agama menjadi Islam. Kerajaan ini beribukota di Fathoni Darussalam yang kini namanya menjadi Pattani. Kerajaan ini bertetangga dengan kerajaan Siam yang beragama Budha di sebelah utaranya.

Kerajaan Siam tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa karena kedekatannya dengan Inggris. Mungkin karena itu pula setelah keruntuhan kerajaan Sriwijaya lalu dimulainya era penjajahan, daerah ini menjadi bagian negara Thailand berdasarkan atas kesepakatan Anglo-Siam.

Sejak adanya kesepakatan itu pula ada kelompok di Thailand Selatan ini yang merasa kecewa. Dan mungkin sejak saat itu pula adanya usaha-usaha untuk memisahkan diri.

Dalam buku Lonely Planet tahun 1989 yang menjadi panduan perjalanan saya menyebutkan“hati-hati memasuki daerah Thailand Selatan” hal ini berarti pada tahun tersebut sudah ada aksi-aksi separatis.

Jaman Tragedi Mesjid Krue Se

Esoknya saya tidur di mesjid Krue Se, mesjid yang pertama didirikan di Thailand. Krue Se ini berasal dari kata Gresik yang di siamkan. Entah kenapa gresik, mungkin ada kaitannya dengan kota Gresik di Jawa Timur atau dengan Sunan Gresik.

Mesjid ini didirikan ketika raja Fathani Darussalam, bagian dari kerajaan Sriwijaya masuk Islam. Bangunannya mengikuri arsitektur timur tengah. Bata merah yang tidak di plester dan sudah keropos benar-benar menegaskan bahwa bangunan ini sudah ratusan tahun.

Setelah selesai shalat, ada orang yang memperkenalkan saya dengan orang Indonesia juga. Namanya Tofik, ia berasal dari Kediri. Ia menetap di negeri ini setelah menikahi gadis Thailand yang bertemu dengannya ketika ia menjadi TKI di Malaysia. Kini ia mempunyai 2 anak.

Darinya saya mendapatkan banyak informasi mengenai mesjid ini dan tragedi yang terjadi di mesjid ini 8 tahun yang silam, pada tahun 2004. Ia tahu persis kejadian itu karena rumahnya terletak sangat dekat dengan mesjid.

Pada saat menjelang shalat subuh, terdapat 33 jemaah yang berasal dari luar kampung dan  ikut shalat di mesjid ini. Setelah shalat, mereka terbagi dua kelompok, satu pergi ke kantor polisi dan yang satu berjaga di mesjid. Yang ke kantor polisi itu rupanya menyerang kantor polisi dengan bersenjatakan parang. Mereka berhasil membunuh dua orang polisi dan merampas banyak senjata api.

Setelah penyerangan tersebut, mereka akan lari dan berlindung di mesjid Krue Se bersama kelompok satunya. Mereka menyuruh orang kampung keluar dari mesjid itu.

Ketika polisi mengetahui keberadaan mereka. Beberapa kompi mengepung mesjid ini dan menyerukan mereka agar menyerah. Bukannya menyerah, mereka malah menyeru  di pengeras suara mesjid kalau mereka sedang berjuang di jalan Tuhan. Sehingg,a banyak orang yang menyaksikan aksi tersebut. Mereka juga menyerang aparat dengan senjata api. Hingga akhirnya pertempuran terjadi hingga jam 12 siang. Akhirnya, mereka semua tewas di Mesjid tersebut dan disaksikan oleh masyarakat sekitar.

Tak lama setelah kejadian itu, baru terjadi aksi demonstrasi di Tak Bai menyangkut pemisahan diri. Kejadian ini berujung kepada kematian puluhan demonstran oleh aparat. Setelah dua kejadian tersebut maka intensitas pemboman dan penyerangan  semakin sering terjadi. Bahkan sampai membom kuil Budha dengan menggunakan peluncur roket hasil rampasan.

Setelah shalat Isya, saya mengambil beberapa gambar mesjid, namun diperingatkan oleh penjaga mesjid supaya cepat-cepat masuk kedalam mesjid karena sangat rawan beraktifitas malam hari di daerah ini. “Banyak penembak misterius dan mata-mata. Beberapa hari yang lalu seorang muslim tewas ketika mau belanja pada malam hari”, ungkapnya.

Setelah dua hari mengayuh sepeda. Saya menginap di markas tabligh di phattalung setelah kemarin malamnya menginap di Wat Khuan Khan, kuil budha yang berjarak 60 km dari kota Hat Yai. Disini terdapat  400 santri yang belajar Al-Qur’an. Suasananya seperti di pondok pesantren.

Setelah salat Isya di mesjid ini saya dihampiri oleh pria paruh baya. Ia memakai pakaian putih-putih, berjenggot panjang dengan kepala memakai sorban. Semua pakaian itu umum di mesjid ini. Dari anak kecil hingga orang tua. Orang tua ini memakai kursi roda. Ia tak memiliki kaki.

“Saya sudah pergi ke duabelas negara untuk berdakwah bersama rombongan” ia memulai percakapan “kita akan selamat kalau tujuan kita jelas. Sekarang ini kondisi tidak aman kalau berjalan ke utara. Banyak rampok, mereka berani membunuh meskipun kita tidak melawan. Karena mereka mabuk. Bagusnya awak juga bergabung menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Bagaimana?”

“Belum ada niat pak”, jawab saya,”saat ini saya hanya ingin bertafakur pak”.

Percakapan berlanjut hingga kepada pertanyaan yang paling saya ingat, yaitu  ”Bagaimana menurut bapak mengenai mujahidin di Pattani ini pak?”

“Mujahidin”, sedikit berteriak dengan suara paraunya, ” mereka itu bukan mujahidin. Mujahidin itu tidak membunuh orang yang tak berdosa” tambahnya. Dengan serius ia menambahkan lagi. “Mujahidin sebenarnya itu adalah dakwah. Berjalan ke negeri-ngeri dan menyeru kepada kebaikan”.

Esoknya hingga dua hari selanjutnya saya terpaksa menginap lagi di mesjid ini karena hujan dan badai tanpa henti dari malam. Beberapa kali angin mengacak-acak karpet dalam mesjid karena mesjid ini tak berdinding,  masih dalam proses pembangunan. Rupanya musim hujan baru dimulai  di Thailand. Tak bisa menunggu lebih lama lagi. Esok paginya, saya mulai mengoes kembali meskipun ditemani hujan deras dan melawan arah angin yang bertiup kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun