Saat seorang pemuda bernama Anders Behring Breivik berusia 32 tahun melakukan aksinya di Norwegia, pada bulan Juli 2011, tidak ada yang memperhatikan atau mungkin malah menyepelekan. Dan saya, sedikit terkejut lalu melupakan, tertutup oleh berita yang lain. Seperti Tomas murid Yesus, “Kalau belum melihat maka belum percaya.” Kalau hanya satu orang yang melakukan tindakan itu, maka tidak ada artinya.
Namun hari ini menjadi berbeda. Setelah mengenal nama Marine Le Pen, sebagai pemimpin partai Front Nasional Prancis yang ekstrim kanan. Apa yang dilakukan Anders Behring Breivik membantai para pemuda partai buruh yang sedang mengadakan perkemahan politik di pulau Utoeya sebelah utara kota Oslo, Norwegia adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Orang-orang Eropa beraliran ultra-nasionalis, ektrim kanan, Kristen kuat, anti imigran dan anti Islam mulai menunjukkan kekuatannya.
Pada tahun 2017, Marine Le Pen mengikuti pemilihan presiden di Prancis. Walaupun kalah oleh Emmanuel Macron, tetapi partai Front Nasional berhasil meraih suara yang signifikan. Itu artinya warga Prancis mulai merasakan ketidaknyamanan atas berbagai peristiwa teror yang terjadi dan merasakan kekhawatiran hidup berdampingan dengan para imigran atau pengungsi dari Timur Tengah, Afrika dan sebagian dari Asia Selatan.
Kebijakan Kanselir Jerman Angela Merkel, yang membuka perbatasan pada tahun 2015 dengan menerima satu juta pengungsi dari negara-negara yang sedang berkonflik seperti Suriah, Irak, Mesir dan Afganistan sepertinya indah dan penuh kasih dan sangat mendukung Hak Asasi Manusia. Bahkan Paus Fransiskus pada hari perdamaian sedunia masih memberi perhatian pada persoalan imigran dan pengungsi, dengan kalimat-kalimat persuasif, manis, mengatakan:
Paus Benedictus XVI, pendahulu saya yang terkasih, menyebut mereka sebagai “laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang muda, dan kaum lanjut usia yang sedang mencari tempat tinggal untuk hidup dalam damai.” ---- dan “dalam batas-batas yang diperbolehkan dengan pemahaman yang tepat akan kebaikan bersama (common good), mengizinkan mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat yang baru.” ---- mereka “mendambakan hidup yang lebih baik, dan tidak jarang berusaha meninggalkan ‘keputusasaan’ atas masa depan yang tidak menjanjikan.” (http://jpicofmindonesia.com)
Bagi warga Jerman dan sebagian besar warga Eropa, kebijakan tersebut dianggap membawa bencana. Bagaimana tidak, jika para pengungsi itu menjadi warga Negara Eropa dan tinggal di negara Eropa, tidak mau kembali ke negeri asalnya maka mereka akan mencari nafkah, berwirausaha, menjual makanan, bekerja, membuka usaha, hidup dan berketurunan, beranak pinak dan akan menambah persaingan serta merebut rejeki orang-orang Eropa itu sendiri.
Diantara para imigran dan pengungsi itu pastilah terdapat kelompok-kelompok radikal yang ingin berkuasa dan mendirikan Negara berdasarkan agama mereka. Kehadiran mereka dianggap sebagai ancaman nyata bagi keberadaan bangsa Eropa. Kita semua sudah melihat aksi-aksi teror di Prancis, Jerman, Inggris, bagaimana truk menabrak kerumunan orang, penembakan masal di ruang publik, dan aksi teror lain yang di katakan sebagai serangan ISIS sepanjang tahun 2016-2017 yang lalu.
Pada pertengahan Desember tahun 2017, Austria yang merupakan negara kecil berpenduduk sekitar 8,5 juta jiwa serta negara yang dianggap kurang berpengaruh di Uni Eropa (UE) telah memiliki kanselir baru, Sebastian Kurz, yang masih muda (31) bujangan, ganteng dan pintar. Kurz menjadi pemimpin termuda dalam sejarah Austria bahkan dunia. Dan yang menjadi catatan penting adalah, Kurz berani berkoalisi dengan Freedom Party of Austria (FPA), partai sayap kanan yang nasionalis, antimigran, dan anti-UE.
Dalam dekade ini, gerakan sayap kanan atau politik kanan di Eropa menunjukkan kebangkitannya. Ada Marine Le Pen di Prancis (bukan Perancis), ada Frauke Petry ketua Partai Alternatif Jerman atau Alternative für Deutschland (AfD) penentang Angela Maerkel yang menyarankan penjaga perbatasan Jerman menggunakan senjata terhadap pelintas perbatasan illegal. Di Belanda ada Geert Wilders pemimpin Partij voor de Vrijheid (Partai Kebebasan), salah satu politisi ekstrim kanan paling penting di Eropa. Partainya dianggap anti-Uni Eropa dan anti-Islam. Di Hongaria ada partai Jobbik yang dipimpin Gabor Vona. Partai Jobbik ini anti-imigrasi, anti-LGBT, populis dan mendukung proteksi ekonomi. Di Swedia ada Partai Sverigedemokraterna yang dipimpin Jimmie Akesson. Dan di Slowakia Marian Kotleba, pemimpin partai ekstrim kanan, Partai Rakyat-Slovakia Milik Kita (LSNS) mengatakan, "Satu imigran pun sudah terlalu banyak." Bahkan negara Inggris telah keluar dari Uni Eropa (Brexit) Juni 2016.
Jangan Sampai Muncul Fasisme Baru
Kemenangan Donald Trump pada pemilu presiden di AS pada tahun 2016 dan dilantik pada Januari 2017 tentu menjadi inspirasi kuat bagi bangkitnya politik sayap kanan negara-negara di Eropa. Semoga kebangkitan ini tidak menjadi fasis seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler di tahun 1930-1945. Kebangkitan sayap-sayap kanan Eropa ini adalah respon dari kekecewaan terhadap era kekuasaan liberal yang dipimpin Obama di AS, Hollande di Prancis dan Merkel di Jerman serta paham liberal negara Barat yang lain.
Politik neo-liberal selama ini menggunakan kebijakan ekonomi bebas, politik HAM dan melegalkan pernikahan sejenis serta melegalkan aborsi. Perubahan di Eropa adalah wajar karena keadaannya menuntut demikian. Aliran liberal dan neo liberal telah gagal dalam masa kekuasaannya. Mereka menciptakan kesenjangan dan hedonisme yang cukup parah. Kita doakan saja kebangkitan sayap kanan, ultra-nasionalis, anti-imigran, anti-multikulturalisme, bukan sebuah kemunduran di Eropa. Tapi sebagai pernyataan diri bahwa negara-negara Eropa kembali pada satu Budaya yang humanis, penekanan budaya bangsa yang berpijak sejarah Kristen dan melawan setiap teror dan kekerasan dengan kebijakan politik negara yang berdasarkan pada undang-undang serta menjunjung tinggi hak asasi setiap orang.
Clash Civilization telah terjadi. Benturan harus dicegah. Apa yang terjadi di Selandia Baru yang dilakukan oleh Brenton Tarrant sebagai aksi keji dan jahat dengan latar belakang anti imigran. Semua pihak harus menanhan diri dan waspada agar hal ini tidak dianggap sebagai sebuah aksi permusuhan. Kita perlu menyadari bahwa aksi ini merupakan aksi teror yang tidak berlatar belakang agama. Aksi ini adalah ketakutan terhadap keterdesakan wilayah dan budaya.
Masyarakat yang beradab harus menyadari dan kembali pada jalan yang benar yaitu kembali hidup dalam kerendahan diri, sederhana, menyadari kodrat (bukan menuju transgender dan sakit psikologis gay serta lesbian) serta menjauhi kehidupan yang hedonis, bukan mementingkan kepentingan kelompok dan kepentingan agama. Kehancuran harus dicegah.
(Sumber Rfeferensi: www.tempo.co 24 juli 2011; berdikarionline.com 24 Juli 2011; www.dw.com 28 Juli 2011; internasioanal.kompas.com 5 januari 2017; internasional.metronews.com 22 Maret 2017; seword.com; harian Kompas, Selasa 9 Januari 2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H