April hampir habis berlalu,Â
Aku bersamanya pergi berkunjung ke pusat kota Osaka, Jepang
Melihat mekar bunga sakura yang mulai meninggalkan musimnya.
Merasakan sesuatu yang lebih dari sebelumnya
Hanya butuh seminggu setelah kelahirannya, jalanan pun berubah menjadi berwarna akibat desir angin yang meruntas bunga-bunganya.Â
Lalu, Aku tiba-tiba melankoli pagi itu,Â
rerumputan sekitar menciumi pergelangan kakiku,Â
Burung-burung terbebar dan bernyanyi-nyanyi ria, tapi, "apa yang mereka nyanyikan?"Â
Tanyaku, kau tak menjawab,Â
kau memang tak pernah menyadari ini,Â
Bahwasanya kita sedari tadi sedang berjalan di atas keindahan bunga-bunga sakura yang seketika berguguran mengucapkan sayonara.Â
Kau memang seperti biasanya, tidak pernah mencintai hal-hal seperti ini.Â
Di sepanjang perjalanan pulangÂ
Aku menemukan buah sakunrabo yang terjatuh sendiri ke tanah,Â
Ia remuk diinjak untuk kehidupan berikutnyaÂ
Dan kau melihat seseorang yang sedang membacakan "haiku" di dipan,Â
Kau berbisik pelan pada telingaku "dia nampak sepertimu, begitu rumit." Katamu.Â
Walaupun begitu, kau tetaplah diartikan "Reiwa" bagiku,Â
Baik didalam fiksi dan nyata adalah kita dan Aku yang berhasil hidup diantaranya.Â
Ataupun itu, kau jadilah "ikagai" bagiku di antara tanya besar akan eksistensi manusiaÂ
Kau hadirkan cinta sebagai sentral dalam sebuah relasiÂ
Sehingga "aku" dan "kau" menjadi satu komunio,Â
Aku dan kau menjadi berpadu hati sebagai "kami".Â
Maka Cinta adalah sesuatu (entitas) yang transendenÂ
Melampaui keakuan dan keengkauan.Â
Dengan cinta manusia keluar dari dirinya dan memeluk yang transenden, yang terlampaui olehnya.Â
Ucap seorang filsuf pada suatu ketika.Â
Ohoijang, 25 April