Jadi perusahaan media harus memiliki strategi, melihat perilaku masyarakat yang sudah mulai berlomba-lomba mengunggah segala informasi di sekitarnya, perusahaan media dapat membuat berita dari “keributan-keributan” atau hal viral yang tersebar di internet, misalnya seorang jurnalis melihat potongan gambar atau informasi yang terpisah-pisah, tweetyang berbeda tetapi dengan topik yang sama, maka tugas jurnalis adalah mencari tahu urutan ceritanya dan mencari tahu apa yang terjadi, menyatukan semua pecahan informasi, dan menjadikannya sebuah berita. Cara kerja seperti ini salah satu strategi agar media tidak tertinggal dengan kecepatan penyebaran informasi dari jurnalis warga.
Kemudian ada satu hal lagi yang bisa dilakukan perusahaan media untuk bertahan. Ada satu hal yang tidak dilakukan oleh kebanyakan masyarakat. Hal tersebut adalah seperti menginvestigasi korupsi perusahaan multinasional atau politisi yang korupsi. Itu adalah pekerjaan jurnalis profesional yang memiliki banyak sumber dan jaringan, pengetahuan untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dan menemukan sebuah peristiwa kemudian mengungkapkan hal itu kepada publik.
Bagaimana media sosial mengubah jurnalisme?
Menururt Pusat Penelitian Pew dalam (TheLipTV, 2014), ada 3 media sosial utama yang menjadi sumber orang-orang untuk mendapatkan berita khususnya orang Amerika.
Pertama Facebook, kedua Twitter, ketiga Youtube.
Twitter dan Facebook adalah media sosial yang sangat membantu untuk mendapatkan informasi secara cepat, bahkan menemukan informasi dan membagikannya. Kita juga bisa benar-benar bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di kehidupan orang-orang. Tidak hanya itu penggunaan Instagram, Pinterest, Tumblr, LinkedIn, dan sebagainya dimanfaatkan oleh media-media yang ada agar tidak ketinggalan. Meski memilki sekian dampak positif, tetapi media sosial memiliki kelemahan. Kita harus memverifikasi informasi tersebut, dan itu membutuhkan keinginan yang kuat untuk melakukan pengecekan fakta. Kontrol terhadap aliran informasi ini harus ada.
Media sosial mengubah jurnalisme dalam banyak aspek. Ada sisi positif dan negatif. Khalayak tidak lagi tidak memiliki patokan siaran penerbit berita karena mereka memiliki banyak pilihan media untuk dijadikan sebagai sumber informasi, dan hal tersebut berarti bahwa wawasan khalayak bisa lebih luas dan terbuka karena mereka bisa mengakses informasi yang sama di berbagai macam media.
Melalui media sosial, media massa bisa menjangkau lebih banyak audiens karena ada sebagian orang yang hanya mencari berita dalam ruang digital. Facebook sendiri memilik dampak yang luar biasa dalam praktik dan bisnis jurnalisme ini. Internet adalah seperti aliran lalu lintas kenyataan, dan jika suatu informasi atau berita tidak sukses di Facebook, maka itu juga tidak akan sukses dalam aspek lain.
Twitter pun salah satu media sosial yang penting dan merupakan suatu wadah yang baik untuk membuat agenda dan memulai diskusi dengan khalayak, tetapi Facebook adalah tempat dimana orang-orang benar-benar mendiskusikan dan berbagi informasi tersebut.
Melibatkan jurnalis warga dalam perusahaan-perusahaan media merupakan suatu ide yang harus bisa di terima oleh perusahaan media untuk mengikuti perkembangan zaman. Media harus bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang baru. Hal yang dapat dipelajari oleh media tradisional dari media baru adalah agar terpacu untuk menjadi lebih cepat, membawa lebih banyak suara dalam diskusi, dan media tradisional harus menciptakan lingkungan dimana orang-orang percaya bahwa media tersebut bisa menyatukan semua orang.
Kini, media baru pun berkembang menjadi semakin profesional, jadi semakin terlihat seperti media yang lama, dan media lama pun mengikuti tren media baru dengan memiliki situs-situs sejenis blog atau memiliki web berita, dan hal ini dalam hal tertentu semakin mengaburkan batas antara media media tradisional dan media baru atau media sosial. Perubahan ini menggentarkan, menakutkan, karena konsumen memiliki lebih banyak tanggungjawab, dan konsumen bisa mencari tahu siapa yang bisa dipercaya.