Bencana alam adalah peristiwa yang tidak terduga dan di luar kendali manusia, dengan dampak yang signifikan pada aspek pribadi, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan hidup (Tremblay et al., 2006; Goldmann & Galea; Townshend et al., 2015). Salah satu bencana alam adalah gempa bumi yang dapat merusak infrastruktur fisik secara masif dan menimbulkan dampak psikologis mendalam bagi penyintas, seperti meningkatkan risiko gangguan stres pascatrauma (PTSD) di kalangan penyintas (Tremblay et al., 2006; Goldmann & Galea; Townshend et al., 2015; Green & Lindy, 1994). Dalam menghadapi situasi ini, resiliensi menjadi kemampuan penting untuk membantu penyintas memulihkan diri dan kembali melanjutkan hidupnya. Salah satu faktor yang memperkuat resiliensi adalah religiusitas. Dalam esai ini, penulis berpendapat bahwa religiusitas memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan resiliensi penyintas gempa bumi. Religiusitas memiliki relevansi kuat dalam masyarakat Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai religius, terutama sebagai sumber dukungan emosional dan spiritual yang membantu penyintas mengatasi trauma dan memulihkan stabilitas hidupnya. Dengan karakter masyarakat yang secara tradisional mengandalkan keyakinan spiritual sebagai mekanisme adaptasi, penting untuk mengkaji kontribusi religiusitas dalam meningkatkan resiliensi penyintas gempa bumi.
Gempa bumi merupakan getaran sistemik akibat perpecahan atau pergeseran bebatuan di kerak bumi yang merambat melalui tanah dalam bentuk gelombang dan dirasakan manusia di permukaan bumi (Prager, 2006). Salah satu negara yang rentan terhadap gempa bumi adalah Indonesia karena terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia (BMKG, 2023). Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi gempa, dengan 11.920 kejadian tercatat pada tahun 2018 dan 11.588 kejadian pada tahun 2019. Gempa bumi menyebabkan kerugian fisik (Williams, 1995; Pristanto, 2010) dan memberikan dampak psikologis yang mendalam dan berlangsung lama bagi penyintas (individu yang terus bertahan hidup dan selamat dari peristiwa yang dapat mengancam nyawa). Dampak psikologis yang dirasakan penyintas berupa kecemasan, stres pascatrauma (PTSD), dan hilangnya harapan. Studi menunjukkan bahwa penyintas gempa bumi cenderung mengalami gejala PTSD, seperti kilas balik (flashback), mimpi buruk, dan kecemasan berlebih (Dewi, 2022; Lestari, 2024). Selain itu, perasaan kehilangan, baik itu orang terkasih maupun tempat tinggal, ketidakpastian masa depan, dapat memperburuk kondisi mental penyintas dan menyebabkan perasaan terasingkan serta tidak berdaya (Sherchan, 2018; Hawa, 2020). Jika dampak psikologis ini tidak segera diatasi, hal tersebut dapat mengganggu kemampuan penyintas untuk melanjutkan kehidupan normal mereka dan berpotensi menyebabkan disintegrasi sosial dalam komunitas yang terkena dampak. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan strategi yang efektif dalam membantu penyintas mengatasi trauma yang dialami, seperti melalui penguatan resiliensi. Studi menunjukkan bahwa individu dengan tingkat resiliensi yang tinggi cenderung lebih mampu mengelola emosi negatif dan membangun kembali kehidupan mereka setelah bencana (Retnowati, 2012).
Resiliensi (resilience) atau dikenal dengan istilah “bounce back” merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi dan bangkit kembali setelah menghadapi situasi sulit, seperti tragedi, trauma, atau tekanan hidup yang besar (Connor & Davidson, 2003; Rutter, 2012). Individu dengan tingkat resiliensi rendah cenderung membutuhkan waktu lebih lama untuk mengatasi tantangan hidup, sedangkan individu dengan resiliensi tinggi cenderung akan lebih cepat pulih dari keterpurukan dan aktif mencari solusi untuk memperbaiki keadaan (Fumagalli et al., 2022). Studi menunjukkan bahwa resiliensi berperan sebagai faktor protektif terhadap trauma, dengan korelasi negatif terhadap tingkat tekanan psikologis, depresi, dan kecemasan (Ahmad et al., 2010; Haddadi & Besharat, 2010; Pietrzak et al., 2011). Dalam konteks bencana alam seperti gempa bumi, resiliensi yang tinggi membantu individu dan komunitas untuk lebih siap menghadapi bencana (Ghafur, 2012). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiliensi penyintas adalah rasa syukur, keyakinan kepada Tuhan, serta dukungan moral dan emosional dari lingkungan sekitar (Safarina & Suzanna, 2021). Dalam masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius, religiusitas memiliki peran yang signifikan dalam membangun resiliensi. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana religiusitas dapat membantu penyintas gempa bumi dalam proses pemulihan dan menghadapi berbagai tantangan setelah bencana.
Religiusitas (religiosity) merujuk pada kualitas atau kondisi individu yang mencerminkan kedalaman perasaan dan pengabdian terhadap agama (Jawaid, 2021). Konsep ini mencakup perpaduan antara kepercayaan terhadap agama (aspek kognitif), perasaan terhadap agama (aspek afektif), dan perilaku terhadap agama (aspek konatif) (Brink, 1993; Rahmawati, 2016). Dengan demikian, religiusitas merupakan integrasi yang kompleks dari pemahaman agama, emosi keagamaan, dan tindakan beragama dalam kehidupan individu. Misalnya dalam agama Islam, religiusitas diekspresikan melalui lima rukun: syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji, yang mana sebagian besar dari praktik ini bersifat nyata dan terukur.
Menghadapi situasi sulit sering kali mendorong banyak individu untuk 'kembali kepada agama' sebagai cara untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Terlepas dari jenis stres yang dialami, individu cenderung memanfaatkan religiusitas mereka untuk menyerahkan nasib kepada Tuhan dan menerima pengalaman hidup sebagai 'kehendak Tuhan'. Pendekatan ini memberikan rasa aman, dukungan, dan ketahanan untuk bertahan dalam keadaan yang penuh tekanan (Simonic & Klobucar, 2017; Talik & Skowronski, 2018). Keberadaan religious coping ini tentu saja konsisten, mengingat kehadiran kepercayaan dan praktik keagamaan yang telah ada sepanjang sejarah peradaban manusia, mulai dari animisme, poli- dan monoteisme. Saat ini, diperkirakan lebih dari 80% populasi dunia terhubung dengan agama terorganisir (Vasile, 2013), sehingga manusia sering disebut sebagai ‘homo religiosus’ (Elliade, 1998).
Religious coping merupakan strategi yang digunakan individu dengan mengandalkan keyakinan agamanya untuk membantu mengatasi masalah dan mengurangi dampak psikologis yang menyebabkan tekanan atau stress, dimana religious coping berkontribusi dalam mengurangi tingkat stres dan membantu meningkatkan kualitas hidup individu ke arah yang lebih positif. Hal ini dapat memunculkan energi positif, seperti rasa percaya diri, yang mendorong individu untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana (Suhariningsih, 2021). Religiusitas menjadi aspek penting dimana individu akan mampu untuk membentuk religious coping atau menyelesaikan masalah menggunakan nilai-nilai dan pedoman agama, artinya semakin tinggi religiusitas individu, makin baik pula kemampuan coping stress-nya, termasuk dalam mengatasi tekanan dan stress akibat bencana alam yang menimbulkan trauma (Darmawanti, 2012). Di Indonesia yang mayoritas islam dan kaya akan budaya islami, religious coping yang dilakukan seperti membaca Al-Qur’an, berpuasa, mendengarkan ceramah, shalat tahajjud, dan bersedekah (Fatimah et al., 2023). Segala hal tersebut merupakan bentuk religious coping yakni menyelesaikan masalah menggunakan nilai-nilai agama.
Hubungan antara religious coping dengan konstruk psikologis–yaitu resiliensi–perlu dimodelkan melalui strategi religious coping yang spesifik, seperti positive reappraisal dan positive religious coping (Cornish et al., 2017). Positive reappraisal merupakan strategi untuk mengatur emosi dengan menilai ulang atau mengubah sudut pandang terhadap pemikiran negatif guna memengaruhi kondisi emosional. Upaya ini membantu individu mengendalikan situasi negatif dengan cara yang lebih konstruktif (Gross, 1998). melindungi individu dari gejala-gejala distress, seperti kecemasan, depresi, dan stres pascatrauma (Llewellyn et al., 2013; Resick et al., 2013). Sementara itu, positive religious coping merupakan upaya untuk memahami dan mengatasi sumber stres dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui berbagai cara, seperti berdoa, mengikuti kegiatan keagamaan, dan berserah diri (Pargament et al., 2010). Strategi ini menunjukkan hubungan yang kuat dengan peningkatan kesehatan mental, seperti mendorong perkembangan emosional dan spiritual yang lebih baik (Park et al., 2017; Talik & Skowroński, 2018; Trevino et al., 2012), pertumbuhan pascatrauma (Cornish et al., 2017; Peres et al., 2007; Wallace & Shapiro, 2006), sehingga mendukung individu dalam menghadapi tekanan hidup dengan lebih resilien.
Dengan demikian, baik reappraisal yang positif maupun religious coping yang positif dalam religiusitas memberikan kontribusi signifikan dalam membantu individu mengatasi tekanan emosional dan meningkatkan resiliensi. Individu yang religius secara spontan terlibat dalam reappraisal positif di berbagai agama (Garssen et al., 2015; Vishkin et al., 2016), seperti sikap melihat situasi sulit sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk mendewasakan diri. Hal ini membantu individu menemukan makna positif dalam setiap tantangan yang mereka dihadapi. Keyakinan ini tidak hanya memberikan penghiburan dan harapan, tetapi juga menjadi mekanisme religious coping yang efektif dalam menjaga stabilitas emosional dan mengurangi beban psikologis di tengah tekanan yang dihadapi penyintas. Studi menunjukkan bahwa strategi religious coping dapat membantu individu mengurangi gejala kecemasan dan depresi, serta meningkatkan resiliensi mereka terhadap gangguan emosional dan meningkatkan kesejahteraan pascabencana (Dolcos et al., 2021).
Religiusitas sering dianggap sebagai salah satu sumber kekuatan yang membantu individu mengelola tekanan, termasuk trauma akibat bencana. Studi sebelumnya mendukung bahwa aktivitas keagamaan dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan yang mampu mengurangi stres dan menurunkan risiko depresi (McCullough & Larson, 1999; Koenig & Larson, 2001). Religiusitas memiliki peran penting dalam membangun resiliensi penyintas bencana alam di Indonesia. Safarina dan Suzana (2021) menemukan bahwa penyintas Gempa Tsunami Aceh 2004 mampu bangkit dari keterpurukan berkat praktik religius, seperti bertawakal kepada Allah SWT, melaksanakan ibadah bersama, berdoa, serta menerima keadaan dengan ikhlas. Penelitian serupa oleh Saputra et al. (2023) terhadap penyintas Gempa Lombok 2018 menyimpulkan bahwa resiliensi yang baik dipengaruhi oleh budaya, dukungan sosial, dan religiusitas yang diterapkan sebagai strategi coping. Meskipun demikian, tidak semua penelitian menunjukkan hasil yang konsisten. Krause (2009) menyebutkan bahwa efektivitas religiusitas dalam meningkatkan resiliensi dapat dipengaruhi oleh tingkat keimanan individu, jenis keyakinan, budaya lokal, dan dukungan komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan religiusitas dalam membentuk resiliensi bergantung pada berbagai faktor kontekstual, termasuk dinamika sosial, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat terdampak bencana.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan pada penyintas gempa bumi, dapat disimpulkan bahwa religiusitas berperan penting dalam membantu individu beradaptasi dan mengatasi tekanan pascabencana gempa bumi. Sebagai negara yang rawan bencana, Indonesia membutuhkan tingkat adaptasi dan resiliensi yang tinggi dari warganya, sehingga religiusitas menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Nilai-nilai agama, seperti kasih sayang, keikhlasan, ketabahan, ketenangan, dan pemikiran positif, membantu individu menemukan sisi positif dalam pengalaman negatif, termasuk bencana alam, yang pada gilirannya membentuk resiliensi dan memperkuat keyakinan mereka pada agama sebagai strategi pertahanan.
Daftar Pustaka: