Apa jadinya ketika orang tua sering sharenting, posting berbagai hal aktivitas anak di medsos? Lalu, populer hingga menjadi parentsfluencer? Mengedukasi dan mendapat banyak uang? Tentu tidak sesederhana itu.Â
Masa tumbuh dan kembang anak memang selalu membekas di benak orang tua, terutama momen golden age. Kerapkali pencapaian yang bertambah dari hari ke hari, dengan bangga direkam dan dibagikan melalui media sosial.
Praktik tersebut, awal mula dari fenomena sharenting, yang berasal dari kata share (berbagi) dan parenting (mengasuh). Sederhananya, yaitu kebiasaan membagikan momen pengasuhan anak kepada orang lain. Â
Saat anak mulai belajar tengkurap, mencoba satu-dua langkah, hingga dapat mengeja dan memanggil orang tuanya. Siapa yang tak gemas! Bahkan, beberapa orang tua terkesan "satu dunia harus tahu nih" bahwa dia bangga.Â
Nah, fenomena ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, dengan berkembangnya media sosial, kini sharenting menjadi lebih masif dan menciptakan sub-fenomena baru yang semakin kompleks. Â
Sharenting Lahirkan Serba-serbi Influencer
Media sosial memperbesar peluang bagi orang tua menunjukkan kebahagiaannya. Bahkan, banyak yang meningkat jadi parentsfluencer, yaitu orang tua influencer yang membagikan konten pengasuhan. Â
Kemudian, merambat pada berbagai jenis influencer lainnya, seperti momfluncer (influncer ibu), dadfluencer (influencer ayah), hingga kidsfluencer (anak influencer), yang dengan popularitasnya, dapat mempengaruhi khalayak ramai.Â
Pada dasarnya, kegiatan sharenting ini lebih sering dilakukan oleh para Momfluencer, dan dadfluencer terkesan jarang, karena peran ibu pada umumnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak dibandingkan ayah.Â
Di balik fenomena ini, Media sosial juga memudahkan akses untuk masyarakat belajar parenting. Seperti halnya metode Montessori hingga pola asuh anti-patriarki, semuanya bisa ditemukan melalui ujung jari.
Berkat kreativitas parentsfluencer, orang jadi semakin sadar pentingnya keterlibatan ayah dan ibu dalam pengasuhan anak, bahkan sekalipun pernikahannya gagal dan tidak tinggal serumah.Â
Seiring berjalannya waktu, parentsfluencer turut mengimbangi kasus-kasus kenakalan remaja yang marak, dengan menawarkan parenting untuk menurunkan angka anak-anak korban fatherless dan broken home.Â
Tentunya, fenomena ini juga menggambarkan bahwa pernikahan yang gagal, tidak selamanya merusak tumbuh kembang anak, menekankan bahwa gagal menjadi suami atau istri, tidak berarti harus gagal menjadi ayah dan ibu.Â
Di samping itu, para singel mom dan singel dad dengan pasangannya yang meninggal dunia pun, melalui sharenting turut mengedukasi audiens, bagaimana seorang ibu menunjukkan sisi maskulinitasnya demi anak, begitu pun sebaliknya.Â
Dengan kata lain, medsos memberikan peluang untuk belajar dan berdiskusi cara pengasuhan anak yang sesuai dengan kondisi keluarga, usia dan zamannya.
Di mana, dalam hal ini para parentsfluencer menjadi salah satu penggerak dalam perputaran edukasi ilmu parenting tersebut.Â
Tak jarang, hal ini memicu beragam pujian dari warganet, karena akses terhadap ilmu parenting berdasarkan best eksperience ini menjadi incaran. Baik para orang tua lama, baru maupun calon orang tua.
Bahkan, dengan segala konten yang dibuat semakin kreatif, adanya parentsfluencer ini sedikitnya menawarkan kesembuhan pada tren married is scary, waithood, childfree dan sejenisnya yang marak di kalangan masyarakat.Â
Namun, di balik fenomena tersebut, tersimpan kekhawatiran munculnya parentsfluencer yang terlalu fokus parents branding dan menjadikan anak sebagai mesin cetak uang. Sehingga kesannya "Parentsfluencer is scary".
Dalam hal ini, studi Child Mind Institute (2023) menunjukkan, sharenting berpotensi menjebak orang tua untuk menampilkan "kehidupan sempurna" di medsos, sehingga memicu kelelahan emosional dan merusak hubungan dengan anak.
Di lain sisi, melansir Pulsar, pada Minggu (22/12), para Momfluncer seringkali mencampur adukan urusan pribadi dengan profesional, karena objek utamanya adalah tumbuh kembang anak.Â
Dalam penelitiannya, seorang ibu yang menjadi influencer, sering kali terlibat isu rekayasa konten, pemalsuan, eksploitasi, dan kebohongan lainnya, demi memenuhi ekspetasi orang lain, engagment hingga endorse.Â
Fenomena ini juga melahirkan para kidsfluencer, di mana anak sejak kecil anak dibentuk untuk menjadi influencer, tanpa mengetahui konsekuensi dan potensi yang akan datang ke depannya.Â
Melansir Forbes, pada Minggu (22/12), Hal ini mengingatkan pada fenomena kidsfluencer seperti Ryan Kaji, yaitu sosok YouTuber anak yang pada 2020 sudah menghasilkan lebih dari $29 juta.Â
Pada saat itu, kidsfluencer tersebut masih berusia 9 tahun dan sudah menghasilkan pendapatan melebihi penghasilan orang dewasa pada umumnya.
Tentunya, saat ini jumlah kidsfluencer semakin masif yang terkadang tidak terlepas dari adanya campur tangan orang tua. Sementara, anak seringkali tidak paham konsekuensi besar setelah menjadi tokoh populer.Â
Sharenting dan Konsep 'Banyak Anak Banyak Rezeki'
Lantas apakah dengan fenomena sharenting yang dapat dimonetisasi dan melahirkan lapangan kerja baru ini sejalan dengan konsep 'banyak anak banyak rezeki'?Â
Nyatanya, di tengah maraknya parentsfluencer di Indonesia sendiri, tidak membuat angka pernikahan menjadi naik, bahkan tren childfree pun justru malah semakin naik.
Berdasarkan data BPS 2023, childfree semakin meningkat, 8 persen perempuan, usia 15-49 tahun di Indonesia memilih tidak memiliki anak. Dan masyarakat pun semakin sadar pentingnya KB (Keluarga Berencana).Â
Ya, seiring dengan perkembangan sharenting, orang semakin sadar bahwa memiliki anak bukan hanya perihal membesarkannya, dan tentu bukan soal kuantitas tetapi kualitas.Â
Jika zaman dulu sering ditemukan para orangtua yang memiliki banyak anak, bahkan mencapai 8-10 anak, sekarang rupanya sudah sangat jarang ditemukan.Â
Pada 2024 ini, sebuah keluarga yang memiliki anak banyak pernah viral di medsos, di mana jarak kelahiran yang tipis dengan ekonomi yang dapat dikatakan tidak baik-baik saja.Â
Pada saat itu, sang ibu berkali-kali ditawari KB, namun ia menolak dan tidak berencana untuk mengakhiri atau jeda punya anak, yang tentunya memancing pro dan kontra di kalangan masyarakat.Â
Sekalipun itu menjadi pilihan hidup seseorang sama halnya dengan childfree. Namun, yang menjadi perhatian yaitu sosok anak pertama yang masih usia belia.Â
Pada saat anak seusianya fokus belajar dan asik bermain bersama teman-temannya. dia harus sekolah sambil membantu mencari nafkah, mengurusi pekerjaan rumah hingga merawat adik-adiknya.Â
Hal tersebut menimbulkan sentimen tersendiri di kalangan pengguna media sosial. walaupun pada akhirnya, sang ibu bersedia untuk mengikuti KB atas kesadaran dirinya.Â
Ini menunjukkan, bahwa maraknya parentsfluencer, membuat orang sadar akan hak-hak anak yang seharusnya didapatkan anak pada masa pertumbuhan dan perkembangannya bukan hanya sekedar untuk konten.Â
Namun di lain sisi, sharenting memang bisa saja mendukung konsep 'banyak anak-banyak rezeki.' seperti halnya yang terjadi pada keluarga Halilintar, di mana banyak anak, terkesan menyenangkan dan banyak rezeki.Â
Tetapi, pada umumnya masyarakat sadar bahwa hal tersebut balik lagi dengan 'modal' alias kemampuan finansial dan background kesiapan lainnya.Â
Tanpa berkutat pada alasan bahwa setiap anak memiliki rezekinya masing-masing. Ya, tentu jika siap 'mencukupi' dan selama tidak membebankan orang lain, banyak anak mungkin akan menjadi baik.Â
Rentan Terjadinya Parents Shaming dan Parental Guilt
Sisi lain dari sharenting adalah parents shaming karena adanya perbandingan tumbuh kembang anak, pada saat parentsfluencer menjadikan anaknya sebagai contoh parenting yang baik dan memicu diskusi yang panjang.
Yang tentunya, tidak hanya bermuatan positif, tetapi terkadang juga mengarah pada komentar negatif.Â
Misalnya anak yang mengalami speech delay, "Kenapa anaknya belum bisa ngomong, padahal  usianya sudah 3 tahun, anak saya 1,5 tahun udah mulai mengeja kata, loh".
Atau bahkan melihat dari sudut parents yang lain, seperti "Kok rumahnya berantakan, padahal katanya stay at home mom, anak 2 saja susah ngurus rumah ya, apalagi banyak." Â
Walaupun menjadi influncer sudah resikonya mendapatkan pro dan kontra, tetapi kebebasan berkomentar yang disalahgunakan ini dapat membebani psikis orang tua.Â
Sehingga muncul parental guilt. Yaitu, perasaan bersalah orang tua karena merasa tidak cukup baik menjalankan perannya.Â
Studi dari Journal of Family Issues (2023) mencatat, 45% ibu yang aktif di medsos, memiliki kecemasan yang lebih tinggi akibat perbandingan sosial.
Selain itu, Â Dalam penelitian Padoa et al. (2018) menunjukkan bahwa perbandingan sosial di medsos berdampak negatif pada kesehatan mental ibu dan munculnya standar baru yang mengarah pada perfectionist.Â
Di lain sisi, parents shaming dan parental guilt juga seringkali muncul ketika anak remaja, anak mengetahui informasi parenting di media sosial dan cenderung menyalahkan konsep pengasuhan orang tuanya.Â
Bahkan, tak sedikit anak yang oversharing dengan pengasuhan orang tuanya yang dianggap keliru, Hal ini.karena paparan medsos tentang parenting, terkadang menciptakan Dunning-Kruger Effect atau dengan kata lain sok pintar.Â
Padahal, tidak setiap pesan parenting yang dibagikan influencer itu benar dan sesuai dengan apa yang seharusnya diterapkan, apalagi jika bersinggungan dengan nilai-nilai spiritual yang dianut.Â
Romantisasi Parental Burnout dan Humblebrag
Di sisi lain, media sosial sering kali merayakan parental burnout atau kelelahan dalam mengasuh anak, terutama saat anak usia toddler dan masa pencarian jati diri yang mulai banyak tingkah.
Atapun kelelahan orang tua karena beban ganda, seperti para ibu yang memiliki aktivitas dan profesi lainnya di samping menjadi orang tua, atau mungkin para ayah yang lelah dengan tugas lainnya, mencari nafkah.Â
Sering kali, ada orang tua yang mengunggah cerita atau keluhan tentang kelelahan dengan semacam me-list apa saja yang sudah dilakukannya, atau up story bernuansa humblebrag:Â
"POV: capek banget kerja seharian, pulangnya harus tetap ngurusin rumah dan dampingi anak belajar. tapi semua ini demi mereka."Â Â
Di samping maraknya konten drama, realitas sejenis ini meromantisasi burnout yang bisa saja berbahaya jika terus menerus dilakukan, karena mengabaikan kebutuhan sebagai manusia untuk beristirahat.Â
Menurut jurnal Pediatrics (2023), burnout yang terus-menerus dapat memengaruhi kesehatan mental orang tua dan pola pengasuhan yang kurang optimal.
Di sisi lainnya, humblebrag yang merendah untuk meroket ini, terkadang munculkan stigma, jika terus-terusan dilakukan dengan tujuan mencari validasi hingga mempengaruhi cara berpikir anak, bahwa dia adalah beban.Â
Beban? Namun, saat anak dikatakan sebagai beban, seharusnya orang tua pun sadar bahwa keputusannya, genetiknya dan pola asuhnya lah yang menjadi faktor utama dari hadirnya beban tersebut.Â
Bahkan, perspektif orang zaman dulu terkadang, di usia manusia produktif untuk memiliki anak, dituntut untuk terus memproduksi anak, dengan alasan "mumpung muda dan sekalian cape"
Secara tidak langsung, mereka sangat mendefiniskan anak sebagai beban dan tidak memberikan ruang untuk dirinya sendiri menikmati hidup dalam usia produktif.
Terkadang burnout semacam inilah yang berujung menjadikan anak sebagai investasi, sehingga ketika anak tumbuh dewasa dituntut untuk berbalas budi, bahkan menjadi sandwich generation.Â
Munculnya Kidsfluencer dan Eksploitasi Anak
Anak-anak yang menjadi kidsfluencer menghadapi risiko besar. Mereka kehilangan privasi dan terjebak dalam rutinitas 'kerja' yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka. Â
Contohnya, beberapa anak yang viral di medsos karena konten lucunya. Pada saat anak mulai merasa lelah, sang ibu tetap memaksanya dengan alasan 'followers menunggu' atau 'buat uang jajannya dia juga'
Bahkan pada beberapa kasus, banyak anak yang menjadi kidsfluencer mengalami penurunan kebahagiaan akibat tekanan konten.
Melansir laman Unair, pada Minggu (22/12), menurut Pakar psikolog anak Universitas Airlangga (Unair), Dr Nur AIny Fardana, eksploitasi anak berarti menghilangkan hak-hak yang semestinya mereka miliki.Â
Maka dalam pembuatan konten, penting untuk memastikan bahwa anak yang bersangkutan tidak tertekan dan merasa nyaman.Â
Kemudian, hal yang perlu dipertimbangkan lainnya, yaitu terkait privasi anak yang bisa saja disalahgunakan di kemudian hari, sehingga anak menjadi korban perundungan atau lain sebagainya.
Melansir Theweek.In, pada Minggu (22/12), dengan semakin meningkatnya kemampuan AI, sharenting yang memicu terbentuknya kidsfluencer ini akan berbahaya karena orang tua menyimpan galeri digital anak sejak kecil.Â
Bukan hanya perundungan, AI berpotensi disalahgunakan oleh para pelaku kejahatan, seperti halnya pelecehan seksual oleh para pedofil dan lain sebagainya.Â
Dengan demikian fenomena sharenting ini harus disikapi dengan bijak, agar di samping menghasilkan dampak yang positif, dampak negatifnya dapat diminimalisir. (cmiiw)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H